"Maka hukumannya... tanganmu harus dipukul." Prabu Gandarwidura telah memutuskan hukuman untuk Wulandari.
Dipukul? Menggunakan apa? Apakah tidak terlalu berlebihan? Wulandari meremas selendangnya, sangat takut.
"Kau harus menerima lima pukulan rotan."
"JANGAN!!" Prabaswara berseru, berdiri di depan Wulandari bagai membentuk tameng. Apalagi ketika seorang pria bertubuh kekar memasuki kamarnya membawa sebilah rotan.
Tidak boleh seorang pun menyakiti Wulandari. Tidak boleh! Prabaswara tidak ingin melanggar janjinya pada keluarga Wulandari.
"Kau berani membantah, pukulan untuk istrimu akan kutambah!" ancam Prabu Gandarwidura.
"Tidak apa-apa. Ini juga salahku," ujar Wulandari lirih menahan tangis.
"Letakkan tanganmu di meja, Wulandari!"
Wulandari berlutut, meletakkan kedua tangannya di meja tempat ia membaca tadi. Matanya mulai berkaca-kaca meskipun belum ada pukulan mendarat di tangannya. Ia belum pernah dipukul dengan rotan sebelumnya.
"Mundur, Prabaswara!"
CTAR! Sebuah pukulan telah mendarat di tangan Wulandari, diiringi suara rintihan. Prabaswara menatap jerih. Air matanya ikut menetes, tidak tega mendengar rintihan Wulandari.
Karena ia tahu, ini pertama kalinya Wulandari dipukul. Karena ia tahu, keluarga Wulandari menjaga dan membesarkannya dengan penuh cinta.
Suara rintihan disertai isakan terus berulang hingga lima pukulan. Gurat merah menghiasi tangan putihnya. Air mata tak henti membanjiri pipinya. Untuk pertama kalinya Wulandari dipukul.
"Nah, sudah selesai. Kuharap setelah ini kau tidak memiliki keinginan untuk menyentuh buku lagi, Wulandari." Demikian kalimat penutup dari Prabu Gandarwidura sebelum meninggalkan Puri Klawu. Diikuti sang ratu dan pelayan yang ditugaskan memukul Wulandari.
Prabaswara langsung menghampiri Wulandari yang masih dalam posisi berlutut di depan meja. Wulandari masih terisak menahan perih. Lima pukulan sebenarnya sedikit, tapi tetap berat bagi Wulandari yang belum pernah merasakannya sebelumnya.
"Maafkan aku, Dinda. Kau tidak seharusnya mendapatkan ini." Prabaswara memeluk Wulandari dari belakang, berusaha memberikan kenyamanan. Namun tangisnya justru semakin kencang.
"Kenangkali, bisakah kau memanggilkan tabib istana?"
"Maafkan saya, Kanjeng. Tadi sebelum meninggalkan Puri Klawu, Kanjeng Prabu berpesan pada saya agar tidak memanggil tabib istana."
Prabaswara mendesah kecewa. Bagaimanapun, Wulandari harus diobati.
"Baiklah jika tidak ada yang boleh mengobati. Biar aku yang melakukannya. Gati, tolong tenangkan Adindaku. Aku akan mencari bahan obatnya."
"Tidak perlu, Kanjeng. Biar saya yang mengambilkan bahan obatnya." Kenangkali menawarkan diri. Dia dilarang memanggil tabib, tapi tidak ada larangan untuk mengambilkan bahan obat. Toh dia juga tahu bahan yang digunakan untuk mengobati luka bekas pukulan rotan.
"Saya akan segera kembali, Kanjeng."
"Baiklah. Terima kasih, Kenang."
***
Tangan Wulandari sudah diobati, namun sepertinya ia tak ingin berhenti menangis.
Para dayang di Puri Klawu kewalahan menenangkannya. Prabaswara juga kebingungan mencari cara agar Wulandari menghentikan tangisnya.
Prabaswara keluar sejenak ke taman puri. Ia memetik setangkai mawar merah yang kemarin baru saja mekar.
"Lihatlah apa yang kubawa. Setangkai mawar kesukaanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomansaPrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...