Chapter 11: Kecanduan

80 9 0
                                    

Aku mendengarkan detik jam yang begitu monoton, ada suara langkah kaki yang mendekat di luar pintu. Dengan cepat aku segera  mengipasi wajahku, mencoba mengeringkan air mata dari mataku yang bengkak. Tanganku segera  kuturunkan ke samping saat pintu terbuka. Ivan melangkah masuk, tampak sesempurna saat dia pergi.

"Apakah sudah sepuluh menit?" tanyaku, berusaha agar suaraku tidak terdengar bergetar.

"Sudah satu jam."

Mataku terbelalak kaget. "Kau bilang shift kerjamu akan berakhir dalam sepuluh menit. Kenapa lama sekali?"

Dia melepas jaketnya. "Ada pelanggan yang makan malam lebih lama dari yang kami perkirakan."

"Oh."

Kenapa aku merasa bahwa dia sedang berbohong?

"Apakah masih sakit?"

"Tidak," jawabku bohong. Ivan menyandarkan pinggangnya ke meja dan menyilangkan tangan di dada bidangnya. Dia memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kau terlihat seperti akan menangis," ucapnya datar.

"Bayangkan saja jika kamu dipukuli secara bersamaan oleh lima orang." Sebenarnya enam, tapi Rick sudah tidak aku anggap.

"Sekarang, mengapa kamu melakukan hal sebodoh itu?" dia merenung, suaranya tampak menggunakan nada geli dan ejekan. Aku menatap nya marah, tapi dia tetap acuh tak acuh.

"Apakah kamu masih bisa berjalan?"

"Tentu saja aku bisa," dengusku.

"Aku tidak berpikir bahwa kamu masih bisa berjalan." Aku menahan untuk tidak memutar bola mata, karena untuk sekedar menggerakkan pupil saja itu masih terasa sakit.

"Apakah itu urusanmu?Kamu yang bertanya dan kamu juga yang mengarang jawabanmu sendiri?" balasku.

"Apakah bertindak keras dan menutupi perasaanmu dengan kebohongan yang mengerikan adalah kebiasaanmu?"

Tersentuh

"Jika kamu sudah selesai berkelahi dengan pria yang tangguh, ayo bangun. Kita pergi dari sini," katanya, sambil mengambil tasku yang pasti dia ambil dari gang.

"Ke mana?"

"Ke rumahku. Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini. Beberapa saat lagi restoran akan segera ditutup. Jarak aku tinggal hanya beberapa blok dari sini. Kamu tidak perlu berjalan jauh untuk segera sampai rumah."

Untuk sesaat, aku hampir berpikir dia bersikap baik, tetapi sesaat kemudian aku ingat bahwa dia adalah Ivan dan dengan cepat aku mengusir pikiran tidak masuk akal itu.

"Dengar, aku berterima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untukku, tapi ini sudah larut. Aku bisa pulang naik taksi."

"Apakah kamu punya uang cash?" tanyanya datar.

Aku meremas kedua tanganku. "Um tidak, tapi aku bisa jalan kaki. Mom pasti akan khawatir jika aku tidak segera kembali ke rumah sekarang."

Sebenarnya, aku tidak berencana untuk pulang, tidak setelah pertengkaran yang terjadi lewat telephone tadi. Aku tidak tahu ke mana aku akan pergi. Mungkin aku bisa menemukan bangku yang nyaman untuk tidur di taman.

"Dan menurutmu muncul dengan luka baru dan memar akan menenangkannya?"

Aku menunjuk ke perban yang terpampang di bawah mataku, yang kutemukan di saku bajuku sebelumnya.

"Aku sudah menutupinya." Aku mencoba untuk meyakinkannya.

"Jangan bilang kamu berencana untuk tidur di jalanan."

Mataku melebar. "Bagaimana bisa kamu mengetahui apa yang ada dalam pikira ku?"

"Aku tidak tahu," katanya dengan senyum tenang. Mulutku menganga lebar sambil memperhatikannya.

"Kamu selalu  memanipulatif-"

"Ayo pulang," dia memotong pembicaraanku lalu berjongkok di depanku, ia melirik dari balik bahunya. "Naik."

Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan tindakannya itu.

"Aku tidak bisa melakukan ini," kataku.

Dia memutar bola mata indahnya. "Naik ke punggungku, atau aku akan menggendongmu ala bridal-style. Pilih."

Mataku melirik ke arah pintu, tapi ini bukan sedang bercanda? aku akan jatuh tertelungkup begitu aku mencoba berdiri. Aku menimbang-nimbang pilihan. Pilihan ke satu, aku bisa pulang dan harus menghadapi Mom. Tidak. Pilihan ke dua, aku bisa menghabiskan waktu semalaman di luar yang gelap lalu mati kedinginan. Tidak, itu terdengar seperti ide yang buruk. Dan untuk pilihan yang terakhir tapi tidak kalah pentingnya, aku bisa bermalam di tempat Ivan. Seolah aku ingin menghabiskan satu detik lebih lama dengan si brengsek ini.

Apakah aku harus melakukannya?

Aku menggelengkan kepala, merasa terkejut dengan pemikiran yang tiba-tiba itu.

"Jadi?" dia bertanya dengan tidak sabar.

Awalnya aku ragu, tapi perlahan aku naik ke punggungnya, melingkarkan tanganku di lehernya dan menempatkan kakiku di pinggangnya. Dia mulai berdiri dengan gerutuan kecil, menahan lengannya yang kuat di bawah lututku. Ada aroma keringat dan pinus, dan bau maskulin yang aku suka.

Demi tuhan, aku tidak hanya mengakui bahwa aku sangat menikmati saat mencium aromanya, tapi sepertinya aku telah kecanduan mengendus aroma tubuh dari pria ini.

Aku mengerang, menempelkan dahiku ke bahu Ivan, dan mencium lebih dalam aroma tubuhnya. Siapa yang membiarkan pria berbahaya ini berkeliaran di sini? Siapa yang akan berpikir ini adalah ide yang baik untuk pergi ke neraka lalu membawa kembali iblis yang menggoda ini?

"Apakah ini sangat menyakitkan?" nada khawatir terdengar di suaranya.

"Jangan jatuhkan aku! Aku akan menuntutmu jika kamu melakukannya."

Aku tidak akan pernah bisa menuntut siapapun hanya karena orang itu menjatuhkan pantatku, tetapi dia tetap tertawa. Dan kali ini, aku yakin aku tidak sedang berhalusinasi.

"Tentu saja, Yang Mulia."

The Class Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang