10. Pria kecil Arland

1K 48 2
                                    

"Paman, aku minta maaf, ya?"

Arland mencebikkan bibirnya. Matanya memicing. "Tidak mau."

"Paman, aku mohon. Aku sudah di marahi ibu. Lihat."

Mata Arland seketika membulat. Kepalanya kembali dipenuhi amarah. "Dia memukulmu!" Ucapnya dengan suara tegas.

Musa yang melihatnya memejamkan mata ketakutan. "Paman, jangan marah."

"Siapa yang memukulmu?"

"Ibu."

"Hah!"

"Hiks, aku di larang berteman denganmu. Sejak pertama melihatmu, ibu memang sudah melarangku. Tapi aku tetap menemuimu. Kemarin ibu marah besar. Dia memberikanku hukuman."

"Memangnya kenapa! Memangnya aku tidak pantas mendapatkan teman!"

Musa lantas memeluknya. "Maafkan aku paman. Setelah ini jangan menemuiku lagi, ya?"

"Tidak."

"Aku tidak mau di hukum ibu lagi."

"Aku akan menemui ibumu."

"Tidak, paman. Aku tidak mau membuat ibu sedih lagi."

Arland tidak memperdulikannya. Ia lantas membawa Musa untuk pergi.

"Mau kemana, paman?"

"Kerumahmu."

"Tidak, paman. Jangan."

"Memangnya kau tidak mau berteman lagi denganku?"

Musa menggelang pelan. Pria kecil itu akhirnya menurut dan bersedia di antar pulang oleh Arland.

"Kenapa kau tidak membawa roti?"

"Ibu tidak membuat roti semalam."

Sekiat 4 kilometer, mobil Arland berhenti di salah satu rumah yang Musa tunjuk. Rumah itu terlihat kecil dengan bangunan yang terlihat tua. Meski begitu, rumah itu terlihat hidup dengan berbagai tanaman bunga di depannya.

"Tunggu dulu, paman. Orang itu datang."

"Siapa?"

"Tunduk paman." Musa lantas membawa Arland untuk tunduk hingga kepala keduanya tidak terlihat dari luar.

"Memangnya siapa?"

"Aku tidak suka paman itu, dia ingin menikahi ibu."

"Hah!"

"Stt. Paman."

Arland lantas menyembulkan kepalanya. Ia penasaran. Matanya terbelalak. Ia tidak menyangka dengan sosok yang ia lihat. "Hanif," ujarnya ketika melihat sekilas sosok yang ia kenali.

"Dia sudah pergi, ayo kita temui ibu, paman."

"Mungkin lain kali. Aku ingin mengejar orang tadi."

"Baiklah paman."

Setelah menurunkan Musa, mobil hitam itu melaju mengejar mobil Hanif yang hampir hilang dari pandangannya.

"Hanif!"

"Hanif!"

Hanif yang menyadarinya menepikan mobil ketika Arland meneriakinya di jalanan.

"Eh, Arland. Ada apa?"

"I, itu, sedang apa kau di rumah Musa?"

"Musa?"

"Iya, Musa. Rumah yang tadi kau datangi."

"Memangnya kenapa?"

"Ada hubungan apa kau dengan anak itu?"

Hanif tersenyum kecil. Ia lantas menepuk bahu Arland. "Memangnya cuma kau yang ingin menikah?" Hanif terkekeh pelan. Pria itu menggeleng pelan melihat Arland yang terlihat bingung.

"Jadi, kau.."

"Sebaiknya kau jangan mendekati Musa dan ibunya. Berikanlah aku kesempatan sedikit, hahaha."

****

"Abdi, apa saya cemburu?"

Abdi yang mendengarkan cerita Arland membungkam mulutnya guna menakan tawa. Pria yang lebih tua dari Arland itu memegangi perutnya yang sakit akibat menahan tawa.

"Kenapa kau tertawa, Abdi?"

"Gus, hahhah. Gus jatuh cinta? Ya Allah, gus. Hahahah."

"Tidak lucu, Abdi."

Abdi lantas terdiam. Wajah Arland nampak tidak bersahabat.

"Saya tidak jatuh cinta, Abdi. Saya hanya tidak rela saja, lagian anak itu tidak suka dengan Hanif."

"Jadi? Gus akan menikahi ibunya?"

Arland mengerjab. Ia bahkan tidak pernah befikir untuk melakukan itu. "Saya hanya tidak tega saja jika anak itu punya ayah tiri yang tidak dia suka."

"Memangnya kenapa to Gus, Hanif kan sudah seperti saudara Gus."

"Tapi sungguh, saya tidak pernah menyangka pria kecil yang saya temui ternyata memiliki hubungan dengan Hanif."

"Bisa saja to Gus. Dunia mah sempit."

Hari itu, ternyata benar-benar menjadi hari terakhirnya bertemu dengan pria kecilnya. Sudah beberapa hari Arland menunggunya di tempat biasa mereka bertemu namun nihil, pria kecil itu tidak pernah datang. Ia bahkan sering menyururi taman berjam-jam hanya untuk menemui pria kecil itu. Pria itu bahkan sudah berulang kali mendatangi tempat tinggalnya, rupanya bagunan itu telah kosong. Di tempat tidurnya, Arland terbaring dengan perasaan hampa. Arland menatap langit-langit kamarnya, tidak ada apapun di sana. Hidupnya kini kembali hampa setelah di warnai oleh pria kecil iu, rasanya perpisahan ini terlalu cepat.

"Arland, nak. Persiapkanlah dirimu. Bulan depan, aku akan melamar Safiyyah untukmu. Pergilah berguru pada Ustadz Ihsan, Arland."

"Aku tidak ingin menikah, Baba." Tidak ada suara lantang di sana. Arland berujar lemah. Tatapannya kosong. Ia benar-benar hampa sekarang. Ia pikir, Musa adalah cahaya barunya, nyatanya cahaya itu sirna sebelum Arland menikmati hari-hari bersamanya.

"Gus Arland."

"Saya mohon."

"Lalu mau sampai kapan, Arland?"

Arland terdiam. Ia tidak ingin menikah. Kiai Husen hanya bisa menggeleng. "Mau tidak mau, kau harus tetap menikahi Safiyyah," ucap Kiai Husen. Setelah itu, ia beranjak pergi meninggalkan Arland yang hanya terdiam.

****

****

Assalamu'alaikum,hari ini aku update dua part sekaligus,dan aku harap kalian meninggalkan jejak karena aku ngambek dan tetap update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Assalamu'alaikum,hari ini aku update dua part sekaligus,dan aku harap kalian meninggalkan jejak karena aku ngambek dan tetap update.Hiks,aku nangis.

Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang