__________________
Seperti orang-orang pada umumnya yang membenci hari senin karena harus kembali sibuk menghadapi realita setelah satu hari berleha-leha, Disi juga sangat nggak suka hari senin, terlebih hari senin ini.
Mood baik yang berusaha ia kumpul sukses hancur berantakan gara-gara satu orang, siapa lagi kalau bukan Monita.
Gimana enggak? Karena Papi harus berangkat pagi-pagi sekali, Iresa ada deadline yang mesti dikumpul jam setengah tujuh, sementara dua sopir mereka bertugas mengantar Mami dan Kak Sera, satu-satunya orang yang bisa Disi harapkan untuk mengantar dia pergi sekolah adalah Kak Dara, tapi ternyata sang kakak perlu mengantar Monita ke tempat gladi lebih dahulu.
Awalnya Disi nggak masalah dan mau sedikit lebih sabar. Namun menyaksikan Monita terlalu santai bahkan terkesan lelet dalam bersiap, dia jadi kesal juga. Berulang kali ia meminta cewek itu lebih cepat, tapi ucapannya sama sekali nggak digubris. Semakin ia mendesak, Monita semakin sengaja berlama-lama. Kak Dara juga bukannya menegur cewek itu agar berhenti main-main, malah terus menyuruh Disi tetap sabar. Alhasil, ditambah dengan terjebak macet hampir satu jam, dia baru tiba di sekolah pukul setengah sembilan, dan yap, ia terpaksa berdiri terpanggang matahari pada barisan siswa terlambat.
Sudah, sampai situ saja? Enggak.
Sebagai sanksi, Disi bukan hanya mendapat poin dua puluh. Namanya juga tercatat di buku pelanggaran, lencana OSIS dia dicabut sementara karena dianggap nggak menjadi teladan bagi siswa lain, dan yang terparah, dia nggak diizinkan masuk kelas serta mengikuti ulangan Kimia, sebab sudah terlanjur ditulis alpa dalam daftar hadir.
Sederhananya, segala kerja keras Disi selama setahun untuk menjadi murid teladan kini tercoreng karena satu kesalahan, dan semua itu akibat ulah Monita.
Disi sangat kesal. Saking dongkolnya sampai-sampai lebih dari sepuluh menit ia berada di toilet untuk menangis.
Ini bukan pertama kali Monita bersikap begitu, tapi nggak ada yang menegur. Papi, Mami, juga kakak-kakaknya selalu mewajarkan kelakuan dia dan menganggap itu bukan hal yang terlalu buruk untuk dilarang. Mereka nggak pernah tahu, semuanya berdampak pada Disi.
Monita yang sering buat onar, suka bolos, pernah ketahuan lompat pagar, rajin masuk ruang BK, dan kerap mendapat surat panggilan, bikin Disi ikut-ikutan terseret. Ketimbang dikenal sebagai murid teladan yang pintar akademik dan rajin mengumpulkan piala, penghuni sekolah termasuk para guru lebih cepat mengenalnya sebagai 'adik dari Monita,' atau, 'nah ini dia, yang kakaknya suka bikin ulah'.
Bahkan ketika Disi berhasil membuktikan bahwa dia dan Monita berbeda, dalam arti nggak seperti cewek itu yang taunya bikin masalah, dia ini berkelakuan baik, punya nilai akademik dan non-akademik di atas rata-rata, dapat diandalkan untuk mengharumkan nama sekolah, juga terlahir jenius, guru-guru hanya sejenak memberikan pujian dan setelah itu kembali menyebut nama sang kakak.
"Coba saja Monita sepintar kamu."
"Monita itu ada bakat, hanya terlalu banyak main sama komplotannya."
"Monita anaknya santai. Biar nilai ulangan dia anjlok pun pasti hanya nyengir. Beda sama Daisy."
"Tapi belakangan ini, Monita serius dalam kelas. Ada sedikit peningkatan karena teman-temannya juga jadi ikutan serius."
"Semua punya porsi masing-masing, tapi kalau Monita sejenius Daisy, orang tua kalian pasti bangga."
Monita. Monita. Monita.
Segala hal yang Disi lakukan, selalu bermuara pada Monita. Entah baik atau buruk, cewek itu yang akan menjadi sorotan, sementara dia seperti anak bawang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Defenders ✔️
Fiksi Remaja• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _____________________________________ de·fend·er /dəˈfendər/ (noun.) a person who defends someone or something from attack, assault, or injury. • • • Tentang Monita yang merasa tidak pernah m...