30: PERASAAN YANG MENGGEBU

398 57 31
                                    

Pada rabu sore setelah menemui perusahaan penerbit yang memintaku untuk menjalin kerja sama untuk desain ilustrasi kover buku, aku melipir sebentar pada musolla yang tidak sengaja kutemui untuk solat ashar. Sebab ashar sudah berkumandang dari satu jam yang lalu dan aku baru berhasil keluar setelah pertemuan panjang tadi. Inginnya aku solat di perusahaan itu, tetapi musolla yang disediakan tidak menyediakan mukena, jadi mau tidak mau aku mencari musolla lain.

Begitu selesai dan aku juga selesai berdoa, aku keluar dari musola tersebut. Berjalan menuju tangga tempat dimana sepatuku dilepas. Aku duduk pada anak tangga pertama dan mulai mengikat tali sepatu tersebut sampai beberapa orang juga keluar ramai-ramai. Kebanyakan yang solat disini pria, mungkin karena wanita tidak diwajibkan untuk solat di masjid atau musola, hingga tadi aku solat bersama-sama, barisan untuk wanita pun kosong melompong.

"Maaf," seru seorang pria yang berat suaranya.

Tangannya melintas tepat didepanku sebab sebelah sepatunya ternyata terapit oleh sepasang sepatuku. "Oh, iya," jawabku kaku.

Tidak ada lagi dari kami yang saling bicara setelah itu, tetapi diam-diam kulirik pria yang duduk disebelahku pada anak tangga yang sedikit lebih tinggi dariku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya tangan yang masih mengikat tali sepatunya yang bisa kutangkap. Namun, hanya sekadar firsat atau bagaimana, aku merasa pria tersebut juga memperhatikanku dari belakang.

Sampai aku memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Pria itu tersenyum. Sementara aku terperanjat. Membeku dan membatu, seperti aliran darahku yang tiba-tiba berhenti. Bibirnya, senyumnya, hidungnya, matanya, wajahnya, sosoknya semuanya tentang dirinya. Aku ingat dan oleh sebab itu pelupuk mataku memanas. Aku bertemu lagi dengannya.

Dengan Bone. Setelah dua puluh tahun lamanya.

Pria itu terlihat jauh lebih berwibawa dari Bone yang kukenali dulu. Tapi lepas dari itu semuanya masih sama. Bahkan senyum jenaka pada bibirnya. Kadang aku sering berpikir, apa aku masih dalam keadaan waras, atau aku sedang diambang kegilaan? Sejak kapan aku mulai berhalusinasi begitu jauh, atau ini mimpi. Sampai Bone menyapaku aku terbangun dari lamunanku yang masih memandangnya.

"Apa kabar?" tanyanya membuat jantungku berhenti berdegub.

Aku menarik napasku dalam-dalam, takut mati ditempat karena kehabisan oksigen. "Baik, kalau lo?"

"Alhamdulillah, selalu baik," jawabnya.

Suaranya berubah pesat, tidak seperti dulu suaranya yang selalu mengundang tawa pada logatnya. Kini suara Bone jauh lebih memberat. Aku hanya ber-oh panjang lalu kembali mengikat tali sepatuku.

"Ketemu lagi kita, ya, Dek," kata Bone yang duduknya sudah berpindah disampingku.

"I-iya," ujarku singkat sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandangi bola matanya, takut perasaan yang dulu pernah ada kembali mengembang besar dan mengambil alih jiwaku.

"Lo kerja daerah sini?" tanyanya mencari celah pembicaraan.

Aku menggeleng. "Enggak, baru ketemu klien."

Bone ber-oh panjang. "Klien lo kantornya daerah sini?"

"Iya," jawabku. "Kalau lo?"

"Baru pulang kerja."

Kami kembali diam setelah aku yang bergumam -oh lagi, jeda mengambil alih waktu kita. Sembari memandangi langit lembayung dengan kendaraan yang berhilir mudik. Masih dalam anak tangga yang sama dalam lamuanan yang sama aku meberanikan diri untuk bertanya.

"Lo kerja daerah sini?"

Bone menoleh begitu pula aku, saling menatap satu sama lain. "Iya."

"Kerja dimana?" tanyaku lagi dengan gugup sebab Bone yang masih terus memandangiku.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang