TUJUH

2.2K 204 23
                                    

Freya refleks berdiri, melihat seseorang berjalan di lorong ke arahnya. Dadanya mulai berdebar tidak karuan. Ini pertama kalinya Freya bertemu dengan Pak Hadi setelah dia memulai affair dengan anak lelaki itu.

“Selamat pagi, Pak!” sapanya sambil tersenyum.

“Selamat pagi, Freya, sudah lama kita tidak bertemu.” Balasnya ramah. Senyum cerah selalu menghiasi wajah Pak Hadi dan keramahan itu diturunkan pada Arsen. “Kamu tambah cantik, ya, auranya beda gitu.”

“Masa sih, Pak?” satu tangan Freya mengelus lengan lainnya. Merasa agak canggung dengan pujian tersebut.

Mata Pak Hadi menyelidik sebentar pada Freya yang sedang menunduk. “Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Saya mau ketemu Arsen.”

“Silahkan, Pak. Pak Arsen sudah datang.”

“Iya, tadi sudah whatsapp-an juga kami.” Pak Hadi melanjutkan langkahnya menuju ruangan Arsen.

Freya berusaha mengenyahkan gelitik halus ketidaknyamanan dari hatinya. Insting Pak Hadi sebagai pengusaha yang sudah bertahun-tahun terasah pasti kuat. Dia pasti bisa membaca situasi hanya dengan melihat. Tapi mungkinkah dia curiga hanya harena melihat Freya nampak berbeda?

Di ruangan Arsen, kedatangan Pak Hadi langsung membuat Arsen berdiri dan menyambut lelaki itu.

“Papa sudah datang?” tanyanya basa-basi.

Mereka duduk di sofa, dan langsung membicarakan masalah yang lewat pesan singkat sudah mereka rencanakan untuk dibahas.

Arsen menyerahkan berkas yang langsung Pak Hadi periksa.

“Kita tidak melakukan pembelanjaan bahan-bahan, tapi kita merekomendasikan bahan-bahan yang bagus. Tim kita hanya mengerjakan sesuai dengan rancangan yang telah disetujui.”

“Jadi kita tidak tau menau tentang anggaran?” tanya Pak Hadi masih memeriksa isi dari perjanjian kerja sama dengan Mentri yang belum ditandatangani.

“Iya. Tapi bukannya bagus, jadi kalau ada masalah tentang anggaran, kita bisa lepas tangan?”

Pak Hadi tidak langsung menjawab, dia terus membaca perjanjiannya dengan teliti sampai selesai, kemudian menutup berkasnya dengan helaan nafas panjang.

“Jika kamu meminta pendapat Papa, Papa rasa kita tidak harus mengambil kerjasama ini.”

Arsen menatap ayahnya bingung. “Kenapa? Fee nya lumayan, lho, Pa. Udah gitu kita bisa menaruh nama di patung selamat datangnya. Bayangin berapa banyak orang yang akan lihat, menjadikan ini promosi yang bagus untuk perusahaan kita.”

“Jangan tertipu, Arsen. Kita bisa jadi merekomendasikan, tapi pada akhirnya mereka yang membeli bahan-bahan. Dan untuk menekan budget, mereka pasti membeli dengan harga yang jauh lebih murah dari yang kita rekomendasikan. Kalau bahan-bahannya sudah jauh di bawah standart, sebagus apapun pengerjaan kita tidak akan membuat bagunan itu kokoh. Karena pada dasarnya pengerjaan dan bahan harus sama-sama baik. Dan kalau sudah begitu, bukan mendapat nama yang bagus, justru kita akan dipertanyakan.”

“Tapi Pak Mentrinya sendiri yang berjanji akan membeli bahan sesuai yang kita rekomendasikan.”

Pak Hadi tersenyum. “Ternyata kamu masih terlalu naif. Mereka mungkin membuat laporan dengan rekomendasi kita, tapi kenyataan dilapangan kita tidak pernah tau. Terlalu beresiko. Dan mereka memakai nama perusahaan kita untuk bersembunyi dari mata publik. Mereka akan bilang kalau memakai perusahaan swasta untuk menghindari KKN, tapi nyatanya, kita bahkan tidak pernah tau mengenai anggaran.”

Arsen menyandarkan bahunya ke sandaran sofa, memikirkan apa yang dikataan ayahnya. Benar memang, tapi rasanya sayang sekali jika tidak mengambil kesempatan ini. Lagi pula, lelah-lelah Arsen melobi Pak mentri. Jika tidak mengambil proyek ini, semuanya jadi sia-sia.

FREYA (Simpanan Sang CEO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang