Aku menajamkan mata ku ke setiap jalan, lapangan, dan kelas-kelas. Aku mencari seseorang yang tidak aku tahu jelas identitasnya. Sial! Kenapa kemarin itu aku sama sekali tidak ada membahas jelas tentang profil kami berdua dengan laki-laki itu. Aku tidak bisa menanyakannya pada siapa pun sedangkan aku tidak mengetahui nama lengkapnya dan jurusan kuliahnya. Ah lagi pula untuk apa aku mencarinya, ada apa dengan ku ini. "nyari siapa sih?" suara Beny tiba-tiba mengagetkan ku. Aku hanya menggelengkan kepala sembari menyelipkan rambut ku yang menutupi wajah ke samping telinga."Bitah, cowo yang ngasih kamu minum berapa hari yang lalu waktu seminar itu ganteng juga yaa." Ucap Dilla sembarangan.
"biasa aja sih." Balas ku singkat.
"ah kamu ini semua cowo ganteng di bilang biasa aja." Cetusnya sebal.
"kalo kamu suka, sana ambil."
"ih ngapain. Aku gak jomblo ya say." Balasnya meninggi.
Aku dan Beny setia mendengarkan Dilla bercerita tentang kekasihnya, Beny sebagai sahabat yang baik selalu menanggapi dengan sigap. Kami biasa berlima, namun dua sahabat ku yang laki-laki sedang pulang kampung menemui keluarganya. Aku tidak bisa fokus mendengarkan curhatan Dilla, mata ku terus mencari seseorang sampai seketika aku di kagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba menyodorkan es cream valina ke depan wajah ku "panas gini enak makan es cream" laki-laki itu langsung duduk di sampingku. Aku memandanginya bingung. Bagaimana bisa laki-laki ini datang tiba-tiba, apa dia tahu aku sedang mencarinya sedari tadi.
"kamu suka kan rasa vanila?" lamunan ku buyar mendengar pertanyaan Adam.
"iya suka banget" jawabku sembari melontarkan senyuman.
Adam langsung membaur kepada dua sahabat ku, ia langsung memperkenal kan diri. Dan di saat itu aku baru tahu bahwa Adam Djayaleksana mengambil jurusan hukum di universitas yang sama dengan ku ini. Aku melihat tatapan Beny curiga, entah apa yang sedang di pikirkannya aku tidak tahu.
Aku senang hari ini akhirnya aku bisa tersenyum melihat orang yang ku cari seharian ini. Aku tak bosan memandangi gaya bicaranya yang khas, seperti ada wibawa yang tegas namun santai. Kedua tangannya berpangku di ujung lututnya di ikuti punggungnya yang sedikit membungkuk. "kamu Bitah, gimana hari ini kuliahnya?" tanya Adam sembari memandangi wajah ku. "lancar" singkatku sembari menganggukkan kepala dan tersenyum. "hari ini mau gak pulang bareng aku?" tawarnya. Aku melirik ke arah Beny dan Dilla lalau mengangguk setuju kepada Adam "boleh"
**
Malam ini tugas ku menumpuk lagi, kerja rodi lagi, begadang lagi, melelahkan. Penggaris 30 cm yang biasa aku gunakan untuk mengukur patah, menyebalkan. Aku menelentangkan tubuh ku di atas kasur, menatap ke atas plafon putih dengan pikiran yang entah ke mana. Baru saja aku berniat untuk memejamkan mata sejenak, aku di kaget kan oleh dering handphone ku pertanda panggilan masuk, dengan sangat malas aku bangkit dan mencari handphone ku yang lupa aku taruh di mana. "kenapa Dill?" jawab ku setelah menyentuh layar handphone ku. "kamu lagi sibuk?" tanyanya balik kepada ku.
"gak juga, kenapa?"
"Bit perasaan mu ke Gilang gimana?" tanya Dilla mengagetkan ku
"hah maksudnya?"
"kamu peka gak sih sama tindakan dia ke kamu?"
"gak ngerti ah" balasku tak peduli.
"Bit dalam beberapa minggu ini dia sudah berusaha buat ngambil hati kamu, tapi kamu kok gak ada respon gitu sih?"
"jadi ceritanya ini kamu lagi bantuin dia, di bayar berapa emang?"
Dengan nada agak kesal "apaan sih Bit sembarangan banget. Kasian itu orang kamu gantungin gitu, kalo emang gak suka jangan di respon."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Sadness
Teen FictionBanyak orang mengatakan bahagia itu sederhana, namun banyak juga orang yang cukup sulit untuk mencari kesederhanaan itu. Beberapa orang harus merasakan jatuh berkali-kali untuk benar-benar mendapatkan setitik kebahagiaan. Mungkin ini akan menjadi k...