26. Penyesalan

5 2 0
                                    

"Kenapa aku harus memberimu tumpangan?" tanya Abi sembari mendudukkan bokong pada dahan pohon yang roboh, barangkali tersambar petir.

Airini memainkan kuku jarinya, dilanda kebingungan membuatnya mengambil jeda sebelum kembali berbicara dengan nada pelannya, "Karena kau pria yang baik?" nada tak yakinnya membuat pernyataan itu lebih mirip seperti sebuah pertanyaan dan akhirnya gadis itu berhasil memancing kekesalan Abi.

"Kenapa aku harus berbaik hati padamu?" tak rela melepaskan gadis itu dengan mudah, Abi terus melayangkan pertanyaan. Sementara kakinya terjulur ke bawah, membiarkan kecipak arus air membasahinya.

Airini menghembuskan napas kasar, Abi sepertinya hanya ingin mempermainkannya tanpa berniat memberinya pertolongan. Disisi lain Airini ingin menyerah pada tingkah sok jual mahal pria itu, namun ia tahu selain Abi tidak ada siapapun yang bisa ia minta bantunannya.

Angin berhembus pelan, mentibakkan ekor rambut Airini. Menyelimuti mereka dalam sejuknya senja, diikuti terik matahari yang mulai redup berganti dengan datangnya gelap malam. Jika Airini tidak menentukan tujuannya sekarang, ia akan berakhir tidur di padang rumput liar malam ini.

"Aku tidak punya tujuan dan aku tidak kenal siapapun," terang Airini secara jujur.

Abi memijat pelipisnya, tidak masalah dengan tindakan Airini yang kabur dari gubuk atau lebih tepatnya ia tidak perduli. Tapi setidaknya sebelum kabur, ia sudah memikirkan matang-matang konsekuensinya bukan berakhir menyusahkan orang seperti ini.

Kini Abi menjuluki Airini sebagai gadis yang gigih, saat gadis itu mendadak mengambil tempat disamlingnya kemudian meraih pergelangan tangannya.

"Aku percaya kepadamu," ujarnya menatap lurus kedua rena Abi, memaksa pria itu untuk menatapnya balik. Abi mengerjap pelan saat dirasa sebuah gejolak aneh meletup-letup tak terkontrol dalam dirinya. Abi merasa asing dengan dirinya. Gejolak batinnya bertentangan dengan akal sehatnya, serta merta meruntuhkan tembok waspadanya, membuantnya memaksa diri untuk menyingkirkan persepsi tak beralasan itu.

Airini menyipitkan matanya, memohon kepada Abi dengan terus merapalkan dalam hati, rentetan kelakuan baik yang akan ia lakukan jika Abi menyetujui permintaannya dengan memberi Airini tempat tinggal. Hanya malam ini. Airini terus menatapnya, berakhir pada Abi yang menahan napas dengan tatapan mematung.

Abi jatuh sebab tak kuasa menahan diri.

"Percaya?" setelah sekian lama terdiam, Abi melontarkan pertanyannya.

Rena Airini bergetar untuk sesaat saat dirasa suara Abi berubah berat dan tidak tengil seperti diawal, dengan ragu ia menangguk pelan.

"Kita banyak melewati hal bersama," Airini berujar dengan nada lemahnya, entah kenapa ia gugup sekarang.

Abi melepas tautan tangan mereka kemudian membuang wajah ke samping.

"Kenapa kau bisa percaya padaku? Bagiku kita adalah orang asing dan aku bisa berbuat buruk kepadamu sekarang," ujar Abi, nada bicaranya terlalu santai dan tenang bebreda dengan pikiran Airini yang mulai awut-awutan. Gadis itu menggeleng singkat berusaha membuyarkan kesan-kesan negatif dalam dirinya.

Airini terdiam untuk sesaat namun tak mengurung niat mengepalkan tangannya, ia menarik napas dan berujar cepat," Karena aku menyimpan rahasiamu, jadi kau tidak akan bisa menolak permintaanku sekarang."

Tepat sasaran, Airini berhasil menarik fokus Abi dengan cepat, "Apa maksudmu?"

Tapi setelah ditanya, Airini malah berakhir membisu. Pandangannya refleks mengarah ke bawah, untuk sejenak keraguan menggerogoti dirinya.

"Jawab aku!" Abi mengeluarkan bentakkannya lantaran tak sabar membuat Airini tersentak kaget. Jantungnya berpacu dengan cepat, sepertinya kalimatnya mengundang amarah pria itu. Keberanian Airini padam seketika.

Masih dengan tatapan yang menghindari rena Abi, Airini berujar dalam sekali tarikan napas, "Aku tahu kau yang membunuh pak de Kusno."

Hening. Keadaan disekitarnya terasa mati rasa. Bersamaan dengan gelap malam yang memblokir pandangan Airini untuk meneliti lebih lanjut raut yang Abi tampilkan. Entah sebuah keberuntungan atau tidak, ia penasaran namun juga takut apabila hanya raut murka yang pria itu berikan. Hembusan napas Abi ia rasakan-menerpa wajahnya berakhir pada dirinya yang menahan napas. Dalam remang-remang cahaya, Airini merasa Abi cukup dekat dengannya.

Airini memberanikan diri untuk mendongak, namun belum sempat mereka bersinggungan mata, Abi tiba-tiba melingkarkan lengannya pada leher Airini guna mengikir jarak. Tangan kirinya meraih pipi Airini dan menabrakkan bibirnya secara kasar.

Airink membulatkan matanya, refleks meronta dalam ambang kesadaran yang tidak pasti. Apa ini hanya sebatas mimpi atau realita? Airini memukul dada Abi beberapa secara beruntun namun sebab diserbu napsu amarah, pria itu menolak untuk menggunakan logikanya. Tenaga Abi yang kian kuat tidak bisa Airini tepis.

Kendati terlena dalam ironi perasaan, akal sehat Airini bangkit untuk melempar dirinya agar kembali menapak pada realita. Ini tidaklah benar. Ini tidak seharusnya terjadi. Airini menginjak kaki Abi dengan sekuat tenaga membuat pria itu berjengit, berakhir menjauhkan wajahnya dan mengeluarkan rintihan kesakitannya.

Airini memanfaatkan kesempatan, mendorong bahu Abi menjauh kemudian melayangkan lengan kanannya dan menampar Abi dengan keras.

"Berengsek!" umpat Airini kemudian mengusap kasar bibirnya.

"Sejak kapan kau tahu?" tanya Abi, mempertahankan tatapan tajamnya, membuat Airini merasa asing. Abi yang dihadapannya kini bukan lagi Abi yang ia kenal.

"Kau wanita yang aku lihat waktu itu?"

Airini terdiam dan tanpa sadar air matanya mengalir keluar, otaknya masih berusaha memproses saat Abi dengan rakus terus melempari pertanyaan yang menyiksa fisik dan batinnya.

"Sejank kapan!" teriakan Abi bergema menghancurkan keheningan malam.

"Sejak pertemuan pertama kita!"

Airini masih ingat betul, saat itu Abi mengigau dalam mimpi singkatnya. Sekonyong-konyong memuntahkan segepok realita tak berlatar belakang itu. Menaikkan rasa penasaran Airini hingga mendorong wanita itu untuk bertindak sejauh ini. Awalnya, Airini kira itu hanya sebuah gumaman tak penting, namun semakin memikirkannya semakin mengulang kejadian itu dalam benak, semakin dirinya tertarik dalam pusaran bayang-bayang rasa penasaran. Berakhir mencari tahu yang sebenarnya, petunjuk Airini minta selama ini tidak sepenuhnya karena ia penasaran dengan larangan 'Tidak diperbolehkan anak peremluan di desa', faktor lain adalah karena mimpi Abi. Setiap ada kesempatan, Airini akan membuntuti Abi dan mencatat semua aktivitas pria itu yang terkadang mencurigakan baginya. Mulai dari rasa penasaran semata yang membuatnya terguling dalam jurang curam tanpa akhir. Seperti ada rahasia dibalik rahasia.

"Aku hanya mengigau waktu itu. Kau sangat yakin dengan persepsimu hingga bertindak bodoh seperti ini?" Abi tidak mengerti dengsn jalan pikiran Airini.

"Aku mencari tahu dan membuktikan semuanya sendiri."

"Kau bilang ingin menuruti kemauan ibumu?" tanya Abi membuat Airini berdecih singkat.

"Kau pikir aku sejujur itu?"

Ternyata selama ini Abi salah dengan penilaiannya terhadap Airini. Abi tiba-tiba tertawa keras, lebih tepatnya menertawakan kebodohan dan kelalaiannya sendiri.

"Seharusnya kau tutup mata dan telinga akan permasalahan ini jika tidak ingin menyesalinya. Penyesalan selalu datang terlambat Airini," ujar Abi berskhir pada bisikan namanya tepat pada telinga Airini, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

Mempertahanlan posisinya dengan pipi mereka yang nyaris menempel, Abi meneruskan kalimatnya, "Atau aku yang harus turun tangan untuk membungkammu?"

Kewaspadaan diri Airini melonjak drastis, ia sudah ingin berbalik sebelum menyadari keterlambatannya dalam bereaksi sebab Abi keburu menarik lengannya. Mendorong tubuhnya ke bawah, Airini meringis saat kepalanya menapak pada tanah basah. Membiarkan rerumputan liar memeluk tubuhnya dari belakang. Airini berusaha melawan namun Abi tak segan-segan meningkatkan kekuatannya jika Airini menolak. Menangis dan memohon tidak ada guna, menyerah pada keadaan adalah satu-satunya cara.

Tempat pertemuan pertama yang membuat Airini berani keluar dari dunianya hanya untuk meraih penyesalan hari ini.

-A.W-

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang