28. Karip

6 2 0
                                    

Sekelebat bayangan hitam mengerubungi benak Abi, menenggelamkannya dalam kegelapan yang menyiksa batin. Bak melayang dalam angan ketidakpastian, tubuhnya seakan remuk saat detik-detik kesadaran yang terasa lambat, mendesak paksa kedua renanya untuk terbuka. Sebuah titik cahaya menunggunya di ujung sana, menyorotnya kian silau berakhir menyedotnya keluar dari tidur panjangnya.

Abi mengerjap pelan dalam ambang kesadarannya, mengeluarkan rengkuhan berat diikuti suara ringisannya yang setengah serak. Untuk sesaat, kepalanya berdenyut hebat seolah diremas, bersamaan dengan renanya yang terbuka sebab sinar matahari menerobos masuk.

Tangan Abi terangkat ke atas guna menjambaki rambutnya, berharap dapat mengurangi rasa sakit itu namun berakhir pada kesia-siaan. Berharap kesadarannya terkumpul cepat saat potongan-potongan memori datang silih berganti dan kembali menjerat benaknya dalam ketidakberdayaan.

Hal pertama yang Abi lihat adalah rupa kosong dinding kamarnya. Turun ke bawah, ia mendapati lantai kamarnya yang penuh dengan sampah. Amat berantakan seolah habis diterpa badai topan. Arus air yang mengalir keluar dari mulut cangkir, mulai dari atas meja hingga menetes ke lantai. Berkas desa yang ia pelajari untuk persiapannya menjadi wakil kades berhamburan si sekitar kaki meja hingga denyutan itu datang lagi, mengusik Abi dalam kegiatan pengamatannya. Abi benar-benar tidak ingat apa-apa dan bagaimana dirinya bisa berakhir dalam keadaan kacau seperti ini.

Abi tertidur—setengah badan di atas lantai—dengan kepala bertumpu pada sisi kasur. Berpegangan pada sisi kasur, Abi perlahan bangkit berdiri, hendak membaringkan diri ke atas kasur. Badannya terasa kaku akibat tidur dengan posisi yang tidak nyaman.

Saat hendak berdiri, tak sengaja lengannya bergesekkan dengan sisi sprei kasur menimbulkan semacam sengatan listrik yang spontan melumpuhkan kekuatannya. Abi terduduk kembali ke atas lantai, ringisan kembali keluar.

Menjatuhkan pandangan pada lengan kanannya, Abi membulatkan mata terkejut saat mendapati semacam tiga luka goresan cakaran kuku. Mengoyak permukaan kulitnya secara memanjang mulai dari area dekat siku hingga pergelangan tangan. Abi mendaratkan jarinya secara perlahan, bercak darah pada bagian pinggir sudah mulai kering—menandakan rentang waktu luka ini sudah kian lama—namun masih meninggalkan rasa sakit ketika tak sengaja tersentuh. 

Berusaha mengingat darimana luka ini datang, tahu-tahu napas Abi tertahan saat tak sengaja melempar diri untuk mengulang memori lalu. Matanya refleks terpejam erat, entah karena menahan rasa sakit di kepalanya atau karena efek dari reka ulang potongan-potongan memori yang kian menyatu meninggalkan kejadian yang terpampang jelas baginya.

Terkuak sudah bahwa semalam, Abi tidak jadi pergi menelusuri sebuah gua di area tengah hutan desa, tempat yang menjadi fokus utama dari arah cerobong asap mbak Dewi. Faktor pendorong lain yang memperkokoh persepsinya adalah saat Abi melihat seorang pria berjalan masuk ke gua. Dia adalah Karip. Sebenarnya itu adalah tujuan utamanya, sebelum terhenti tepat belasan langkah di depan sumur, dikelilingi oleh pohon rimbun di sekitarnya membuat keheningan tercipta dengan sendirinya dan Abi leluasa mendengar suara sekecil apapun.

Abi ingin meneruskan perjalanannya, namun disatu sisi obrolan mereka apalagi kalimat pertamanya, seakan menarik Abi untuk mendekat dan mengurung niatnya untuk melangkah. Abi menyerah. Berakhir menempelkan punggung pada salah satu sisi pohon, memastikan seluruh tubuhnya tertutupi oleh batang pohon.

"Perkembangan mereka belum menentu, tapi tidak ada yang mengarah kepada hal serius."

Pemilihan kata yang terdengar formal serta aksen bicaranya yang kental akan penegasan nada membuat Abi yakin kalau si penelfon bukanlah warga asli desa. Abi menajamkan pendengaran, sedikit memiringkan kepala, melalui ekor matanya Abi dapat melihat Karip yang berdiri diantara dua pohon besar.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang