40. Tembakan

12 3 0
                                    

Bayu dan Cahyadi akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor tempat Fyodor bekerja. Berharap dapat menemukan pria itu, namun spekulasi mereka tepat akan kosongnya kantor. Pria itu tidak ada dan mereka hanya disuguhkan oleh kantor yang awalnya sudah tampak terbengkalai kini tampak hancur nyaris ambruk. Bayu seharusnya mengetahui ketidakberesan ini saat pertama kali ditugaskan dan menginjakkan kaki disana. Entah koneksi apa yang Fyodor bangun hingga bisa merencanakan rentetan agenda yang dibungkus rapi oleh wajah ramah serta topeng kantor hampanya ini.

Bayu sontak mendongak ke bakang saat Cahyadi menumbuk meja menggunakan buku tangannya. Kepalanya menunduk, kedua matanya terpejam rapat dan seakan tak perduli akan aktivitasnya barusan.

"Aku sangat bodoh! Kenapa aku bisa mempercayainya?" Cahyadi mengerang frustasi disela napasnya yang tak teratur.

Bayu memutuskan untuk menjawab walau tahu pertanyaan itu tak ditujukan kepadanya, "Karena kau sama denganku."

Cahyadi mendadak mengangkat pandangannya membuat Bayu meneruskan kalimat sebab sudah berhasil merenggut fokus pria itu, "Jika saja kita tahu kejahatannya sedari awal, aku juga tidak akan diam dan hanya menuruti perintahnya saja."

Bayu menyingkirkan tumpukan kertas yang tersebar di lantai diikuti meja kerja mereka dulu kemudian berujar, "Kurasa kita bisa menelepon orang-orangku di kota untuk membantu kita. Kasus ini terlaku besar untuk kita berdua tangani," ujar Bayu yang sangat bertolak belakang dengan rencananya yang ingin melahap kasus ini seorang diri.

Cahyadi menghembuskan napas kasarnya, "Kita terlambat, mereka sudah pergi. Aku bahkan tidak tahu keparat itu pergi ke mana sekarang," ujar Cahyadi yang selanjutnya hening sebab Bayu juga tengah diserang kebimbangan. Ingin melakukan sesuatu namun tak tahu langkah apa yang harus ia ambil atau barangkali ia tersesat dalam pikiran berkecamuknya.

Kamuflase ini membuatnya hilang arah.

Bayu hendak berjalan ke arah meja kerja Fyodor, berharal dapat menemukan sesuatu sebelum getaran pada saku Bayu merenggut fokus keduanya.

Bayu mendongakkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan Cahyadi, "Sepertinya semua bergantung kepada ini," ujar Bayu sembari mengangkat ponselnya ke atas.

Tertera jelas nama pak de Teo pada layar ponselnya.

---

Dalam ambang kesakitan yang menjerat fisik maupun batin, tenaga Abi terkuras habis saat kesadarannya perlahan menguap keluar. Untuk sesaat, kegelapan yang menghampirinya saat itu membuatnya berpikir kalau hidupnya sudah berakhir. Balasan akan kejahatannya ia terima sebelum sebuah suara nyaring semacam decitan ujung benda tajam pada sebuah permukaan kasar. Bibirnya berkedut kaget saat suara itu mencapai klimaks diikuti kedua renanya yang mengerjap.

Semerbak aroma lembap kayu bercampur darah menyergap kuat indra penciumannya. Semacam bangunan ditengah hutan, dilingkari oleh jejeran pohon yang terikat oleh akar seluk belukar. Abi masih tidak tahu persisi dirinya berada dimana, namun satu hal yang pasti, ia tahu siapa orang yang menyekapnya.

"Kau menculikku untuk kedua kalinya?" dalam kesakitan, Abi berusaha mengeluarkan kalimatnya disertai nada mengintimidasinya.

Kegiatan mengobrol mereka di depan sana terhenti, mereka refleks mengalihkan fokus ke arah Abi yang ternyata sudah sadar. Walau matanya ditutupi kain hitam, dari suaranya Abi menebak ada sekitar empat orang disana.

"Ternyata kau, si tikus kecil yang berani menghambat rencanaku!" seorang pria mengeluarkan bentakannya tepat di depan wajah Abi. Dalam jarak yang cukup dekat, Abi dapat mencium bau rokok dari napasnya.

Abi tertawa singkat, "Berhati-hatilah, aku akan mendatangimu saat lengah untuk mengigit kaki kalian!"

Dengan emosi yang sudah membuncah, tahu-tahu Fyodor menendang Abi tepat pada perutnya membuatnya jatuh ke samping beserta dengan kursi yang terikat erat pada tubuhnya. Diantara deretan luka dan pukulan yang ia dapat hari ini, jatuh dari kursi tak memberikan pengaruh yang hebat bagi pertahanan Abi.

Desa Bunglon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang