Namanya Dimitra, umurnya baru 16 tahun hingga suatu hari harus mendapat kabar pahit yang membuatnya berlarian di koridor rumah sakit, tak acuh menabrak beberapa orang. Seolah tuli akan teguran perawat. Hilang akal, cukup menggambarkan keadaannya.
Dadanya sakit bak puluhan belati tertancap di sana. Liquid dengan lancangnya jatuh, semakin kesulitan bernapas. Berhenti ketika melihat ruangan yang menjadi saksi bisu siksaan Ibunya. Ragu, belum bisa menerima kenyataan pahit. Dimitra juga terlalu takut untuk masuk.
Pintu terbuka, menampakan sang Kakak yang langsung memeluknya erat, tubuh mereka bergetar hebat seolah saling menguatkan. Sama-sama tidak bisa berbohong atas sakitnya ditinggalkan.
"Di, sekarang cuma gue yang bisa lo jadiin tumpuan. Jangan ragu buat minta sesuatu," Damar mengelus surai lawan bicaranya. Bagian terlucu adalah adiknya baru merasakan bahagia setelah sekian lama tersiksa di rumah ayah mereka yang sudah menikah lagi setelah perceraian. "I will try to make you happy."
Dimitra tertidur di pangkuan Damar, sebelum benar-benar terlelap, diungkapkannya isi hati yang lebih ke arah meracau. "God is not that good, even though I always pray for my health to move to my mother. Tersenyum ketir, Enggak ada yang terkabul."
-
Damar kira ucapan adiknya hanya amarah sesaat, tidak menyangka memberi efek besar. Sejujurnya, mulai angkat tangan menangani ulah Dimitra di sekolah. Apalagi tatkala mendengar hal berbau agama, komentar menyebalkan keluar begitu mudah.
Oke, keluarga mereka bukan yang menjunjung tinggi nilai agama. Namun, Dimitra sudah melewati batas.
Dilirik siswi SMA di sampingnya yang ikut melotot, si Pembuat Onar yang terkenal. Damar berdecak, kenapa prestasi Dimitra selalu tidak menyenangkan? Ngomong-ngomong, sekarang tepat delapan kali dipanggilnya ke sekolah.
1.Dimitra membolos setiap pelajaran agama.
2.Berani menjawab, Mana saya tau. Bapak gurunya, kan. Kenapa malah nanya coba? Tidak waras memang, padahal gurunya baru saja selesai menjelaskan hal dia tanyakan tiga menit sebelumnya.
3.Membawa kecoak ke kelas hingga menghebohkan semua orang.Seminggu setelahnya, suara jeritan terdengar seisi rumah. Netra berwarna cokelat itu membelak, didapatinya surat izin pindah sekolah. "SHIT, WHAT ARE YOU DOING?!" Dimitra masih mencerna sesaat, tersadar dia cepat mendekat ke arah Damar sembari memperhatikan raut wajahnya. "Your face doesnt have to act like you said yes."
"Exactly, your guess is right," Damar terbahak-bahak.
Panik, jelas saja! Masalahnya Damar mengatakan bukan sekolah negeri atau swasta, tapi pesantren. "This is a joke, right? My birthday is still a long way off, so no kidding!" Dimitra mengacak rambutnya kesal.
Sudah sepekan, tetapi Damar belum memberitahu kalau ini lelucon, mungkin saja, terlebih sekarang bulan April. Sampai pemberitahuan keberangkatannya tiba. Dimitra kabur. Namun, belum satu hari berada di vila Bianca sudah ditemukan. Sial, baru teringat sahabatnya menyukai Damar, pasti mudah baginya membocorkan informasi.
Jari tengah Dimitra terangkat tinggi di udara. "FUCK! DASAR PENGKHIANAT!" Serapahnya tidak tahu malu di halaman kediaman orang lain.
Bianca menjulurkan lidah seakan mencemooh, "Makanya kalau gue nagih hutang tuh dibayar." Jangan lupakan, wink yang diberikan pada Damar. Senang di atas penderitaan Dimitra merupakan tujuannya.
"Dasar, Nenek Lampir centil. Sampai mati pun, enggak bakal gue restuin!" Kutuknya. Raut wajahnya menunjukkan jijik sekaligus kesal. Walau tau kakaknya akan menikah sesuai keinginan diri sendiri sih, tetapi untuk kini ia ingin berlagak bisa mengendalikan Damar.
YOU ARE READING
CERPEN
Kısa HikayeKumpulan cerpen dengan berbagai genre. Copyright August © All right resedver Published 13/08/2022 By NajdahKh