gemericik suara air..
menyentuh bumiku yang dirundung lara..
langitpun meraung karena sedih..
dia curahkan ribuan bulir air mata..
air mata..
yang beri kami kehidupan..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Suara tawa mengiringi turunnya hujan di pagi ini. Dapat kulihat dengan jelas mereka saling berkejaran dan tertawa bersama. Menyenangkan bukan. Tapi yang dapat kulakukan hanya berdiam dirumah. Hanya melihat. Sesekali kulihat mereka melambai kepadaku. Andai mereka tahu. Aku ingin sekali ikut dengan mereka. Menikmati masa kecil dengan sewajarnya. Bermain hingga lelah dan menangis karena bertengkar dengan temen. Dan bukannya dikurung dirumah seperti ini. Orang tuaku terlalu paranoid jika aku keluar rumah tanpa pengawasan. Apalagi di siang hari. Yah, lamunan akan ingatan ketika aku berusia belia kembali terngiang.
Saat ini aku sudah memasuki masa ‘remaja’. Waktu kebebasan bagiku hanya di malam hari. Ketika semua yang kusebut teman tengah terlelap dalam buaian mimpi. Aku harus mengikuti langkah panjang kakakku. Malam ini sangat dingin, jaket tebal yang kukenakan seolah hanya selembar kain tipis.
“Percepat langkahmu Near”
Lagi-lagi kakakku berbisik. Ya hanya berbisik, tapi terdengar sangat jelas meski dia berada 50 meter jauhnya di depanku.
“Iya, aku segera menyusul”
Kakakku bernama Tendra. Usia kami tidak terpaut begitu jauh. Hanya fisik kami yang membuat kami begitu berbeda. Kakakku berambut coklat, dengan mata sayu yang mengerikan, tinggi besar. Namun sangat lincah untuk ukuran tubuhnya. Berbeda denganku, aku kecil. Aku anak terkecil di keluargaku yang rata-rata bertubuh besar laki-lakinya. Kalian pasti berfikir aku ini anak pungut karena saking berbedanya aku. Sangat berbeda.
Padang ilalang luas di tepi hutan. Disinilah kami biasa ‘bermain’. Kukeluarkan belati pemberian kakekku. Sejak kecil aku sudah bermain dengan belati ini. Dan luka di antara mataku tercipta karena kecerobohanku saat berlatih melemparnya. Kakakku sudah terlebih dahulu pergi. Entah apa yang membuatnya sangat bersemangat malam ini.
“Near, aku duluan. Di sebelah sana sepertinya ada yang besar”
“Cepat kembali dan jangan habiskan sendiri”
“Hahahaha, carilah milikmu sendiri. Bukankah untuk itu yang diajarkan kakek padamu?”
Senyum kecil mengakhiri ucapannya dan segera ia menghilang di balik bayang-bayang hutan. Segera setelah kepergiannya, baru kurasakan kehadiran para binatang yang sejak tadi menghindari kami. Kehadiran kakakku ibarat aura kematian bagi makhluk lain. Seekor kelinci putih keluar dari lubang tak jauh dari tempatku berdiri. Diatas sebuah batu besar. Disinilah aku berlatih mengunakan belati. Untuk berburu. Dan juga untuk kesenangan. Kugenggam belatiku di ujungnya. Dan dengan sedikit melompat kuayunkan lenganku secepat mungkin. Sepersekian detik lebih cepat dari biasanya. Belatiku melayang jauh kearah mangsaku. Sial, lemparanku meleset. Sepertinya kelinci itu menyadari sebelum aku melemparkan belatiku kearahnya. Segera aku pergi ke arah belatiku menancap di tanah. Aku cukup kesulitan saat mencabutnya karena terbenam jauh di dalam tanah. Sayup ku dengar tawa kakakku. Sial, dia sudah dapat. Tiba-tiba sekitar tempatku berdiri menjadi gelap. Seolah ada yang menghalangi cahaya bulan. Kesempatan, dengan situasi seperti ini akan sangat mudah untuk kembali mengincar mangsa yang terlepas. Kulihat di kejauhan sepasang mata menyala dari ukuran dan tingginya sepertinya malam ini aku akan dapat buruan besar. Dan, darah segar membasahi rerumputan setelah belatiku menancap tepat di lehernya. Awan telah berlalu, kembali menyirami padang rumput dengan cahaya bulan. Menampakkan dengan jelas nasib mangsaku, seekor rusa betina. Masih mengejang, dan menendang-nendang tanah. Kulihat mulutnya menganga dan meringik kesakitan. Segera ku akhiri penderitaannya dengan mengujamkan belatiku yang lain ke jantungnya. Bukannya kejam atau tidak berperikehewanan tetapi akulah yang akan mati jika tidak mencari makan. Hatiku bergetar hebat ketika seekor rusa kecil menghampiri tubuh tak bernyawa di hadapanku. Rusa kecil itu menatapku, dan bersuara lirih yang ku artikan sebagai makian karena aku telah membunuh induknya. Sial. Jadi rusa ini punya anak. Kami percaya kesialan akan datang pada kami jika memburu dan membunuh induk hewan. Aaaah, lalu mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur.