🌱 9. Adik 🌱

5.8K 480 15
                                    

Untuk kesekian kalinya, mulut kecil itu menguap. Mata bulatnya tampak sayu disertai tangan menggaruk pipi. Tepukan lembut di punggungnya membuat rasa kantuk kian kuat. Dipeluk oleh Aqilla, Haven mulai terlelap. Dapat ia rasakan kehangatan dari Aqilla, lalu alas tidur empuk, dan terakhir selimut nyaman. Haven tersenyum dalam tidurnya.

Rasanya damai bisa tidur dengan mudah. Apalagi tidak seorangpun berani mengusik bayi yang tidur. Namun, kedamaian yang Haven rasakan bertahan sebentar. Baru lewat beberapa waktu, sesuatu panas menjalar dari kepala hingga kaki. Itu sangat panas seperti berkeringat sekaligus dingin. Haven menggeliat. Tanpa sengaja mulutnya mengeluarkan erangan.

Aqilla terbangun. Kepalanya menoleh ke samping. Seketika gadis itu duduk karena terkejut. Tangannya menyentuh dahi Haven. "Panas," lirihnya. Ia semakin resah saat bayi di kasur menggeliat dan hampir jatuh.

"Huwee ... haa ...."

Kaki Aqilla turun dari ranjang. Gadis itu bergerak akan menggendong Haven, tetapi kemudiian urung. Dirinya berjalan mondar-mandir. Aqilla mencoba mengingat cara memperlakukan pasien demam. Sekian lama berpikir keras, muncul juga ide di pikirannya. "Kompres," lirihnya.

Pandangan Aqilla jatuh ke ranjang. Kasihan sekali melihat bayi mungil menangis kesakitan. Aqilla mengambil selimut, lalu dibungkusnya Haven. "Irfan tunggu sebentar, ya? Kak Qilla mau ambil air anget," pamit Aqilla dan berlari jinjit keluar kamar.

Dalam remang lampu tidur, Haven berteriak akibat panas yang memenuhi tubuhnya. Kepalanya sangat pusing sampai merasakan muntah sekarang juga. Dalam penderitaannya, Haven memaksa membuka mata hanya untuk mendapati dirinya seorang diri. Seketika dadanya serasa ditusuk. Dirinya dalam derita dan kini tidak ada seorangpun di dekatnya.

"Irfan, ini Kak Qilla."

Namun, ketika suara lembut memanggilnya, rasa sakit Haven berkurang. Tidak hanya itu, tubuhnya berhenti bergerak acak. "Ila," panggilnya lirih.

Aqilla memeras handuk kecil. Ia menempelkan tangannya ke handuk, memeriksa jika suhu air pada handuk tidak terlalu panas. Kemudian, ia meletakkan lipatan handuk ke dahi Haven. Dengan begitu, tangisan tadi mulai mereda. Haven lebih tenang. Lama kelamaan, kelopak matanya menjadi berat.

Melihat penanganannya bekerja, Aqilla tersenyum. Tangannya mengusap pipi merah Haven. Memandangi bayi yang terlelap, ia ketularan mengantuk. Aqilla berbaring kembali di sisi Haven. Gadis itu merelakan selimutnya dipakai Haven. Tidak lupa, menata bantal sebagai pagar penghalang. "Selamat tidur, Irfan," ucap Aqilla.

🌱🌱🌱

Bagaskara menyembul dari balik gumpalan putih. Bunda sedang memasak ketika menyadari putrinya belum terlihat pagi ini. Setelah menyelesaikan masakan, Bunda melangkah menuju kamar Aqilla. Tangannya terangkat mengetuk pintu yang tertutup. Di ketukan kedua, tidak juga ada sahutan. Bunda memutuskan masuk. Hal pertama yang terlihat adalah penampakan Aqilla tidur menyamping dengan satu tangan memeluk bayi.

"Aqilla, bangun, Nak." Bunda menggoyangkan bahu Aqilla. Pada waktu bersamaan, terasa panas dari tubuh gadis itu. Tangan Bunda pindah ke dahi.

Bunda menengok ke bayi yang tidur menghadap Aqilla. Terdapat handuk kecil di samping kepalanya. Bunda langsung tahu apa yang terjadi. Ditambah baskom berisi air di meja, semakin kuat dugaannya.

"Qilla belum bangun?" tanya Ayah yang sengaja lewat.

"Qilla sakit. Yah, buatin surat izinnya."

🌱🌱🌱

Sekali lagi, Mika mengecek jam tangannya. Lima belas menit sudah berlalu, tetapi orang yang ia tunggu belum jua kelihatan. Mika berencana memanggil nama Aqilla ketika Bunda keluar dari rumah. Bunda menghampiri teman dekat putrinya. Sambil memberikan amplop Bunda berpesan, "Mika, hari ini Aqilla sakit. Minta tolong ya surat izinnya Aqilla disampaikan ke wali kelas."

"Aqilla sakit apa, Tante?" tanya Mika.

"Aqilla demam, badannya panas. Udah dulu, ya. Tante mau ngurus Irfan."

Mika mematung melepas kepergian Bunda. Tangannya yang memegang surat, mengencang. Mika memandang jendela kamar Aqilla. Gadis itu mendengus. Padahal tujuannya adalah membuat Haven menderita, tetapi sekarang justru Aqilla yang kena. Mika memutuskan melanjutkan langkah. Dirinya akan mencari cara agar Aqilla bisa terlepas dari Haven.

Di depan, tidak jauh dari Mika, Farel sedang berjalan. Laki-laki itu langsung berlari saat melihat Mika. "Plastik Mika! Sendirian aja. Mana Qilla?" tanyanya.

Mika membuang muka, kemudian mempercepat langkah.

"Lah, dikacangin. Mika!" Farel mengejar langkah cepat gadis bersurai gelap.

"Jawab gue dong. Gue nggak transparan lho."

Mika tetap memilih tidak menjawab. Kakinya yang awalnya melangkah, berubah berlari akibat Farel tidak lekas pergi. Dua orang itu pun kejar-kejaran di lapangan sekolah. Murid-murid yang baru tiba, seketika berdiri diam menonton mereka.

"Mika!" teriak Farel,

"Berhenti lo! Ngapain ngejar gue?!" Sembari berlari, Mika menoengok ke belakang. Wajahnya sudah merah karena lelah.

Farel mencibir, "Lo yang berhenti! Gue cuma mau nggak dikacangin!"

Mendegar ucapan Farel, orang-orang mulai berdiskusi makna di balik kalimat itu. Mengherankan melihat Farel mengejar seorang gadis. Padahal, menjadi kawan dekat Haven membuatnya mengenal banyak perempuan. Meski begitu, Farel sama sekali tidak minat. Hari ini, menyaksikan Farel mengejar Mika, semua sepakat bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka.

Dari lantai dua, ekspresi Theo datar menemukan dua orang aneh berlari di lapangan basket. Belum lagi, mereka meneriaki satu sama lain. Theo akan pergi sebelum terdengar jeritan Mika. Gadis itu jatuh telungkup. Wajahnya menabrak tanah. Sementara itu, Farel yang tidak siap, berhenti mendadak. Alhasil dirinya jatuh di samping Mika. Gelak tawa pecah mengerubungi dua orang itu.

"Sakit!" keluh Mika tetap dalam posisinya.

Seseorang dari lantai dua berlari menuruni anak tangga. Dasinya berkibar seiring tubuhnya melaju cepat menuju lapangan basket. Kedatangannya menarik minta para penonton. Sedangkan Mika, melirik sepasang sepatu di depannya. Bibirnya melengkung cemberut. "Sakit!" serunya.

Theo mengulurkan tangan, membantu Mika bangkit. Ia juga menepuk pakaian Mika guna membersihkan debu. Matanya menyipit mengetahui lutut gadis itu tergores. "Ke UKS cepet." suruhnya.

Dengan raut kesal, Mika berjalan pelan ke arah UKS. Langkahnya terseok karena rasa nyeri pada lututnya. Sejenak, terdengar gumamannya yang mencemooh Theo. Setelah Mika menghilang ke pintu UKS, Farel berdiri. Pandangan bingungnya tertuju ke Theo. Mulutnya sudah terbuka hendak menuduh sesaat sebelum Theo angkat suara, "Berhenti ganggu adek gue."

Rahang Farel jatuh. Telunjuknya melayang di udara. "A-adek?" Suara gemetarnya mengisi keheningan halaman sekolah.

Mata Farel membola. Kedua tangannya memegang kepala. Dahinya berkerut mengingat-ingat bentuk wajah Mika, lalu membandingkannya dengan Theo. "Adek?! Nggak mirip!" bantahnya.

"Terserah. Sekali lagi lo ganggu Mika, kelar lo."

Setelah melayangkan ancaman, Theo berbalik badan. Matanya mengecek pintu UKS yang terbuka. Masih dengan eskpresi datar, ia mendatangi UKS, tidak mempedulikan banyak orang telah terkejut akan pengakuannya.

"Kalo adek, kenapa nggak mirip?!"

The Prince's CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang