Tied - 21

1K 170 22
                                    

Rasa gelisah terus membayangi otak Sasuke. Pemuda itu serasa tak memiliki apa pun untuk membuktikan cintanya pada pasangannya. Ia merasa tak berdaya akan keadaan. Ingin berusaha, namun Izuna tak ada yang menjaga. Tak mungkin ia meninggalkan Izuna begitu saja tanpa pengawasan darinya. Meski gelisah, namun kebaikan selalu mengiringi setiap doanya untuk Naruto dan Menma.

Menghela napas kecil, tubuhnya berbaring miring, satu tangan berada di bawah kepala. Bibirnya tersenyum tipis melihat Izuna tidur tenang tak seperti biasanya. Sebenarnya ia lelah kekurangan tidur selama beberapa hari ini. Selain tubuhnya masih merasakan ngilu di beberapa bagian, Izuna juga sering merengek akibat demam. Sekarang keadaannya sudah berangsur membaik. 

Lama memperhatikan wajah manis putranya membuat Sasuke perlahan ikut terlelap, tak kuasa menahan kantuk yang mendera. 

Beberapa menit terlelap, seseorang memasuki kamar. Melangkah perlahan menghampiri ranjang. Rasa rindu begitu menggebu, namun berusaha untuk tidak mengganggu. Duduk miring di belakang tubuh besar Sasuke, orang yang ternyata Naruto itu memperhatikan wajah penuh warna lebam yang mulai memudar dengan perasaan bersalah. Pasti pamannya tak tanggung-tanggung menyiksa Sasuke atas penculikan dirinya. 

Tubuh Naruto membungkuk, tangannya terulur ke arah wajah Sasuke, kemudian mengelus lembut pelipis pemuda itu dengan ibu jarinya. Dadanya sesak akan rasa rindu dan bersalah secara bersamaan. Tak tahan dengan rasa rindunya, Naruto memeluk tubuh Sasuke. 

"Naruto."

Dan saat Sasuke menggumamkan namanya, ia tak lagi kuasa menahan suara isak tangisnya hingga membuat tubuh yang dipeluknya sedikit melakukan pergerakan.

Sasuke yang sayup mendengar suara isak tangis, serta merasakan beban di atas tubuhnya, perlahan membuka mata. Aroma yang tercium tak mungkin ia lupakan. Menahan napas, tangannya meraih tangan yang melingkar di tubuhnya, menjauhkan dari tubuhnya, kemudian tubuhnya bergerak memutar hingga ia bisa melihat helaian pirang di atas dadanya. Tanpa berucap apa pun, tangannya melingkar di bahu si pirang dengan erat. Kepalanya sedikit terangkat mencium pucuk kepala Naruto berulang kali. Rasa syukurnya tak mampu lagi tergambarkan oleh perasaannya. 

***

Ruangan kerja Nagato terlihat mencekam dengan adanya dua alpha sedang berseteru. Meski satu lainnya adalah bocah ingusan menuju remaja, namun sebagai keturunan alpha yang terkenal akan sifat mendominasinya, tak diragukan lagi bocah itu akan menjadi alpha hebat kelak seperti marga yang akan disandangnya nanti, itulah anggapan Nagato yang tak mungkin akan meleset. "Aku hanya asal berbicara waktu itu."

"Orang akan berbicara kebenaran jika dihadapkan dengan situasi panik, Paman." Sepasang mata biru menatap tajam pria yang duduk di seberang meja kayu kecil di depannya. Ia tak akan melepaskan sepasang mata sang pria sampai rasa dahaga akan keingintahuan hubungan antara dirinya serta Naruto. Ia bukanlah bocah manis yang bodoh seperti yang terlihat. Memang ia sangat penurut jika dihadapkan dengan Naruto, tapi jika dihadapkan dengan orang lain maka ia tak akan segan melawan. "Jadi … kenapa Paman mengatakan jika Naruto-Nii itu ibuku. Aku sadar benar meski terkurung beberapa hari, tanpa makanan memadai, tapi itu tak akan cukup membuatku tak menyadari sekitarnya. Jangan mengecewakanku, Paman, karena aku tidak suka dikecewakan."

Membuang napas kasar, Nagato memutus pandangan. Kepalanya menggeleng melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Manma. "Paman akan katakan kebenaran, tapi jangan menyalahkan siapa pun di sini, oke."

"Itu tergantung pada persepsiku, Paman."

Lagi Nagato hanya bisa mendengar ucapan Menma. "Mereka berdua korban. Korban politik kejam yang terjadi di dalam lingkup klan Uchiha."

"Mereka siapa?"

"Ibumu, Namikaze Naruto, serta ayahmu, Uchiha Sasuke. Mereka korban yang berakhir dengan mimpi buruk. Kau terlahir di antara ketidaktahuan keduanya." Nagato menceritakan awal mula bencana yang menimpa ibunya yang dulu bermarga Namikaze hingga alasan mengapa mengubah marganya menjadi Uzumaki. Itu hanyalah sebagian kecil dari sesuatu yang direncanakan untuk menghindari mimpi buruk itu kembali ke dalam ingatan Naruto. Masalah Karin, serta semua yang berhubungan dengan kehidupan omega di negara ini yang dilarang hidup bebas dan hanya bisa hidup di daerah Ame saja, berusaha Nagato sampaikan pada Menma. Bocah yang masih tergolong sangat dini untuk mengetahui suatu urusan politik negara.

Namun hal ini tak membuat Menma kebingungan. Bocah itu mencerna setiap kalimat yang diungkapkan oleh paman yang sebenarnya berstatus kakek baginya karena Nagato adalah adik dari neneknya. "Suatu saat, aku akan mengubah semuanya."

"Berjuanglah, dan jangan menyerah dengan keadaan."

Menma bangkit meninggalkan ruang kerja nagato. kakinya menyusuri lorong lantai dua menuju kamar orangtuanya. Langkah kakinya sempat terhenti di sebelah tangga turun. Kepalanya menoleh sejenak ke luar jendela, di mana rintik hujan terus membasahi tanah Ame. Intensitas hujan di daerah ini begitu tinggi, sampai-sampai tanah belum mengering, hujan akan kembali membasahinya. Rasanya ia merasa kasihan pada orang-orang yang tak lagi mampu menikmati mentari pagi, maupun indahnya senja yang menghangat.

Melanjutkan langkahnya, Menma sedikit memberanikan diri untuk membuat kedua orangtuanya mengatakan apa yang diinginkan oleh mereka. Menghirup napas dalam-dalam, mengeluarkan perlahan, tangan Menma terangkat, mengetuk beberapa kali pintu kayu di depannya. 

"Masuk!"

Membuka, tutup perlahan pintu kamar, Menma berjalan menghampiri keduanya yang sedang duduk berdampingan di pinggiran ranjang. 

Sasuke yang melihat kedatangan Menma berusaha mati-matian menahan rasa bahagianya yang membuncah. Ia berusaha bersikap seperlunya sebagai seorang kakak yang baru saja menemukan adiknya kembali, bukan seorang ayah yang baru saja mendapatkan anaknya kembali. Kedua tangannya memeluk erat tubuh bocah itu dengan posisi duduk. "Syukurlah kau baik-baik saja, Menma. Niichan sangat khawatir padamu."

"Bagaimana rasanya melihat anakmu kembali, Ayah?"

Sasuke melerai pelukan. Diperhatikannya wajah kacau Menma dengan seksama.

Naruto sendiri sangat terkejut dengan pernyataan Menma. "Menma dari manaー"

"Paman Nagato memberitahuku siapa kedua orangtuaku."

Sasuke meraih kedua sisi kepala Menma, sedikit menariknya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Sasuke. Berkali-kali Sasuke menciumi wajah Menma dengan air mata yang sedari tadi tertahan kini mengalir dengan bebasnya. "Maafkan aku, maafkan aku, aku tidak berguna." Sasuke kembali memeluk tubuh Menma erat. 

"Setidaknya Ayah menjaga Izuna dengan baik. Aku merindukan Izuna." Suara tangis Menma mulai terdengar ketika merasakan kelegaan di hatinya. Sebenarnya ia juga merasa takut di tempat itu. Ia takut tak bisa menikmati waktu berharganya bersama keluarganya lagi. Namun demi Naruto-Nii yang sekarang ia ketahui sebagai ibunya, ia berusaha kuat dan tak banyak mengeluh di sana agar sang ibu tak terlalu mengkhawatirkannya secara berlebihan. Meski ia kelaparan kehausan, ia tak ingin merengek.

Naruto ikut memeluk dua tubuh di sampingnya. Ia merasa bahagia dapat kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya. 

TBC.

  

Tied to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang