10. Undangan Pernikahan

2.2K 137 1
                                    

"Lama bener lo di toilet? Nyabun lo?" tuduh Erik saking kesalnya pada Wira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lama bener lo di toilet? Nyabun lo?" tuduh Erik saking kesalnya pada Wira. Dia sudah menunggu sendirian selama setengah jam lebih di salah satu cafe di mall tersebut.

Mereka ada di mall ini karena menghadiri undangan grand launching produk kecantikan dari salah satu koleganya. Karena Wira tidak cocok dengan makanan yang dihidangkan di acara itu, ia mengajak Erik untuk makan di cafe mall ini.

"Gue ketemu Irene tadi," ucap Wira antusias menunjukkan wajah sumringah. Dia tidak menyangka akan  bertemu Irene dengan sendirinya tanpa harus susah payah membujuknya untuk bertemu.

"In your dream," ledek Erik. Ia yakin sahabatnya itu hanya membual.

"Yaudah kalo nggak percaya." Wira mengangkat bahunya. "Lo udah mesen?"

"Udahlah. Tapi punya gue doang. Gue gak ngerti selera lo apa," jawab Erik santai.

"Selera gue cuman satu. IRENE," ucapnya sambil tersenyum.

Pemandangan yang sangat horor sekaligus menjijikan di mata Erik.
"Bangsat! Geli anjir! Hush hush.. virus bucin jauh-jauh dari gue," ucapnya bergidik.

Mengabaikan celotehan sahabatnya itu, Wira memanggil pelayan untuk membuat pesanan. "Nasi goreng kampung 1, sama minumnya Caramel Cappucino."

"Ada lagi, Pak?" tanya pelayanan setelah mengulang pesanan yang disebutkan Wira.

"Itu aja. Tolong buat catatan nasi gorengnya jangan pakai bawang ya," pesan Wira. Sejak kecil dia memang tidak suka kalau ada aroma bawang dalam makanannya.

*****

Wira sedang berada di meja makan bersama kedua orang tuanya. Suasana rumah itu menjadi semakin sepi setelah adik perempuan Wira satu-satunya berangkat kuliah ke Australia seminggu yang lalu. Saat ada dia suasana meja makan pasti selalu ramai dengan celotehannya.

"Pah.. rumah sepi ya nggak ada Rachel. Makin bosan Mama di rumah, Pah," keluh Ira, mamanya Wira. Bowo dan Wira hanya menggut- manggut setuju sambil menyendok nasi ke mulut mereka.

"Coba aja kita udah punya cucu ya, Pah."

Uhuk..uhuk..

Wira tiba-tiba batuk lalu segera menyambar gelas berisi air putih di hadapannya.

"Dengerin tuh kata mama kamu, Wir. Kamu buruan nikah sana. Kasih mama kamu cucu yang banyak biar nggak kesepian di rumah", ujar Bowo mendukung permintaan istrinya.

"Kok malah minta cucu sih. Harusnya tuh Papa pensiun aja biar Mama nggak kesepian di rumah. Urusan perusahaan biar aku yang handle," tepis Wira.

Bukannya ia tidak mau menikah. Tapi ia sudah bertekad hanya akan menikah jika wanitanya adalah Irene. Antara optimis sama nggak tahu malu beda tipis memang.

"Emang kamu belum ada calonnya, Wir? Perempuan yang namanya Irene, yang sering kamu ceritain itu belum mau sama kamu?" tanya Ira.

Bowo yang mendengar pertanyaan Ira ikut menatap ke arah Wira menunggu jawabannya. Dia juga sering mendengar nama itu disebut di rumah ini tapi belum sekalipun dia melihat wujud perempuan itu.

"Masih diusahain, Ma. Makanya Mama doanya yang serius dong. Kalau perlu sampai nangis-nangis doanya, Ma biar Tuhan bikin hati dia luluh sama aku."

"Dari 7 tahun lalu Mama selalu doakan loh. Sampai Mama hapal namanya. Irene Trihapsari. Jangan-jangan usaha kamu tuh yang kurang," cibir Ira.

"Emang mama doanya kayak gimana?"

"Ya Tuhan, jika perempuan bernama Irene Trihapsari berjodoh dengan anakku Wira maka berilah petunjukMu untuk mereka. Gitu doanya," ujar Mama sambil melipat tangannya seperti sedang berdoa.

"Yah, Ma. Pantesan aja dia nolak Wira terus. Doanya yang spesifik dong. Ya Tuhan, buatlah anakku Wira berjodoh dengan Irene Trihapsari. Titik Tuhan. AMIN.”

"Mana ada doa kayak gitu. Doa itu meminta bukan memaksa."

Bowo hanya geleng-geleng kepala mendengar percakapan istri dan anaknya itu.

******

Sebelum tidur Wira mencoba menghubungi Irene—hal yang selalu ia lakukan setelah peristiwa di Qatar. Walaupun ia tahu kalau Irene tidak akan mengangkat telepon atau membalas pesannya, tapi ia selalu mencoba peruntungan. 'Siapa tahu’.

Selamat malam, Irene. Semoga mimpi indah, dan semoga penerbangan kamu besok berjalan dengan lancar. I love you.

Wira mengirim pesan itu setelah ia mencoba menelepon sebanyak 3 kali dan tidak diangkat.

Berpindah ke kamar sederhana yang didominasi warna biru langit berukuran seperempat dari luas kamar Wira, Irene sedang bersiap untuk tidur.

Ting!

Setelah mengabaikan 3 panggilan yang masuk ke ponselnya, sebuah pesan masuk ke aplikasi chat nya.

Selamat malam, Irene. Semoga mimpi indah, dan semoga penerbangan kamu besok berjalan dengan lancar. I love you.

"Brengsek! Sampai kapanpun aku nggak akan pernah masuk ke dalam perangkapmu," maki Irene sambil membanting ponselnya ke kasur.

*****

Jam 03.00 subuh, Irene menunggu Eliot di depan pagar rumahnya dengan mengenakan seragam pramugari dan koper di tangannya. Kebetulan hari ini jadwal penerbangan mereka sama jadi Eliot berinisiatif untuk menjemputnya untuk berangkat ke bandara.

"Pagi, Sayang," sapa Eliot sambil mengusap lengan kanan Irene, dan tangan satunya lagi mengambil alih koper untuk ia masukkan ke dalam bagasi. Irene masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kursi kemudi.

"Sayang bentar, aku mau nunjukin sesuatu sama kamu," ucap Eliot saat sudah duduk di kursi kemudinya.

"Apa, Mas?" tanya Irene penasaran.

Eliot lalu mengambil sebuah paper bag dari bangku belakang dan mengeluarkan isinya. "Ini!" ucapnya antusias.

Mata Irene berbinar dan tersenyum lebar menerimanya. "Udah jadi, Mas?" Cantik banget," serunya girang memandangi detail undangan pernikahan mereka.

"Undangannya cantik karena kamu," puji Eliot.

Irene mengalihkan pandangannya dari undangan itu ke arah kekasihnya lalu mengusap rahang pria itu dengan lembut, "Makasih, Mas," ucapnya penuh haru.

"Ini undangan buat kamu. Kamu bebas undang siapa aja yang kamu mau." Ucapannya dibalas anggukan oleh Irene yang masih terpana dengan undangan pernikahan mereka yang didesain dengan sangat indah.

"Oh iya, Sayang," ucap Eliot menggantung membuat Irene menoleh. "Kapan kamu mulai ambil cuti? Mas akan menyesuaikan sama kamu, biar kita bisa sama-sama bagi undangan ini ke kerabat aku sama kerabat kamu," tanya Eliot.

Irene berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tiga hari sebelum pernikahan kita aja gimana, Mas? Aku nggak mau ambil cuti cepat, biar waktu untuk honeymoon kita bisa lebih lama"

"Oke.. Mas setuju sama kamu," ucap Eliot dengan senyuman di wajahnnya.

Pasangan pilot dan pramugari itu lalu meluncur ke bandara untuk melaksanakan tugas mereka.

#

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponsel Irene saat ia mengaktifkan ponselnya di lounge Bandara Changi Singapura.

Pagi Ren..
● Mungkin pas kamu baca pesan ini udah siang. Jangan lupa makan siang ya.
● Ren, aku mau ketemu kamu hari ini, boleh?
● Ada yang mau aku obrolin berdua sama kamu
● Aku janji ini yang terakhir. Setelah itu aku gak akan ganggu kamu lagi

Irene menimbang-nimbang pesan itu. Apakah akhirnya pria itu mengaku kalah? Ataukah ini jebakan? Apakah aku harus menemuinya agar hidupku bisa lebih tenang? Berbagai pertimbangan itu berputar di kepalanya.

"Pesan dari siapa, Sayang?" tanya Eliot yang sedang duduk di kursi yang ada di depannya.

"Emm? Bukan dari siapa-siapa, Mas. Obrolan di grup alumni SMA aja," jawab Irene berbohong. Ia mengabaikan pesan itu dan menonaktifkan kembali ponselnya karena penerbangan mereka rute Singapura – Jakarta akan dibuka sebentar lagi.

Pukul 17.00 WIB, Irene bersama rombongan pesawat rute Singapura-Jakarta sudah tiba di Bandara Soekano-Hatta. Saat ia mengaktifkan ponselnya, sebuah pesan dari Wira kembali mengusiknya. Sepertinya hidupnya tidak akan pernah tenang selagi pria ini masih berkeliaran di sekitarnya.

Ren, aku tunggu kamu di parkiran ya.
● Aku jemput kamu 😁
● Ren, aku udah sampai ya
● Aku tunggu di parkiran dekat Alfamidi.

Lagi-lagi Irene mengabaikan pesan itu. Dia sudah sangat lelah. Menemui pria brengsek itu hanya akan semakin menguras emosi dan tenaganya. Lagi pula dia tentu lebih memilih pulang bersama calon suaminya.

Jam take off pesawat yang dinaiki Irene sudah mendarat 1 jam lalu, namun Wira belum mendapat balasan atas pesannya dan ia masih menunggu di parkiran bandara itu. Sementara Irene dan Eliot sudah berada jalan tol, melaju ke arah Jakarta.

Sebelum menjalankan mobilnya untuk pulang ke Jakarta dengan tangan kosong, Wira lagi-lagi mengirim pesan ke Irene.

Karena kamu nggak mau aku jemput, jadi aku temuin kamu di rumah aja ya.
● Aku jalan ke rumah kamu sekarang.
● Plis jangan kemana-mana.

Wajah Irene berubah tegang setelah membaca pesan itu. Tentu Wira tidak main-main dengan ucapannya. Dia pasti akan datang ke rumah jika dia sudah bilang begitu. Yang Irene khawatirkan adalah kalau Eliot sampai bertemu dengan Wira di rumahnya. Dia takut Wira akan berbuat nekat dan berkata yang tidak-tidak pada calon suaminya.

"Mas, nanti kamu langsung pulang aja ya. Badan aku capek banget mau langsung istirahat," ucapnya pada Eliot yang sedang fokus mengemudikan mobilnya.

"Iya, Sayang. Kamu kelihatannya memang lagi butuh istirahat. Muka kamu pucat," jawab Eliot tidak menaruh curiga sedikitpun.

'Maafin aku, Mas udah bohong sama kamu,' batin Irene dibalik senyumnya.

Bersambung

Jangan lupa VOTE kalau kamu sudah selesai baca bab ini ☆☆☆☆☆

Cara Terakhir Mendapatkanmu (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang