BAB I

10 1 0
                                    

Sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang menjadi seorang mahasiswa disebuah top PTN dinegeri ini. Perkenalkan nama ku Melody Abila, sebuah lagu yang sangat cantik artinya. Aku merupakan seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang dibesarkan di sebuah kota bernama Jakarta. Aku merupakan seorang mahasiswa baru sebuah PTN top sepuluh dinegri ini. Bisa melanjutkan pendidikan disebuah Universitas terbaik dinegeri ini sudah menjadi keinginan banyak orang, termasuk aku. Bukanlah sebuah hal yang mudah untuk bisa menaklukan hati universitas ini, banyak sekali perjuangan yang harus dilewati agar bisa menaklukan hatinya.

PRANG!!!

Suara keras yang berasal dari lantai bawah itu seketika memecah kesunyian di kamar Abila. Dengan sigap, ia meraih bantal dan menutup telinganya sebisa mungkin. Ia sangat hafal bunyi itu, bunyi yang sudah tak asing lagi baginya. Konsentrasinya sudah buyar, ia tak ingin terus berdiam diri dikamar, namun rasa takutnya membuat ia bertahan di kamarnya.

PRANG!!! PRANG!!!

Bunyi itu kembali masuk kedalam indra pendengarannya, kali ini diiringi dengan suara teriakan dan tangisan yang saling bersautan.

BRAKKK!!!

Gebrakan meja yang cukup keras membuatnya kaget dan bergegas keluar dari kamar. Ia berlari menyusuri seisis rumah, mecari darimana suara tadi berasal. Diperhatikannya dapur, tak ada seorang pun disana. Indra pendengarannya bekerja sangat ekstra, dalam kebingungan ia mendengar suara tangis Ibunya, Suara itu berasal dari kamar depan.

Langkahnya terhenti kala pintu kamar itu terbuka menampilkan seorang peria tua dengan raut wajah marah dan terdapat potongan pas bunga ditangannya. Matanya merah padam, tersirat amarah dari tatapannya. Perlahan namun pasti ia mendekat dan mendapati sosok Ibunya meringkuk diatas lantai. Abila berjongkok mensejajarkan posisinya dengan Ibu lalu memeluknya. Matanya nanar menatap Ibu, air mata yang mengalir melalui kelopak mata, pipi yang lebam, darah yang keluar dari sudut bibirnya, dan tangan yang mulai melemah.

Hening, tak ada yang berbicara satu pun diantara mereka. Hanya suara jarum jam yang mengisi kesunyian diruangan ini.

PRANG!!!

Pas dibanting.

" Salah Ibu apa? Kenapa Ayah pukul Ibu lagi?"

" Ayah punya hak untuk itu!" Beliau berbalik dan berkacak pinggang.

" Ayah gak berhak nyakitin Ibu hanya karena wanita murahan itu! Disini tuh yang salah Ayah bukan Ibu!" Kecam Abila.

" YANG KAMU BILANG WANITA MURAHAN ITU ISTRI SAYA!" Ujarnya sembari mencengkram rahang Abila.

" DAN YANG AYAH LUKAI INI ADALAH IBU KU!" Jawabnya tak mau kalah.

Abila berjalan mendekat kearah Ayahnya, ia memberanikan diri menggenggam tangan Ayahnya. Berharap hati Ayahnya mau melunak. " Kemana Ayah yang sellu aku banggakan dulu? Kemana Ayah yang setiap perlakuannya membuat iri teman-temanku dulu? Apa semua itu hanya rekayasa semata? Kemana Ayah yang selalu bilang kalau hanya Bila dan Ibu yang mengisi hati Ayah? Apa semua itu bohong, Yah? Semua itu hanya bualan semata untuk menutupi keberengsekan Ayah? Jawab, Yah JAWAB!!!"

Tangan Abila dihempas secara kasar pandangan Ayahnya kini tak tertuju lagi padanya. ' Kamu harus tahu, Bila! Orang dewasa punya masahnya sendiri. Setiap manusia itu punya rasa bosan, begitu pun dengan Ayah. Bertahun-tahun hidup dengan perempuan cacat memangnya tak bosan? Kamu masih terlalu kecil untuk memahami semuanya."

PLAK!!!

Abila menatap tajam Ayahnya. Kata-kata yang keluar dari mulut peria tua itu menyulut kembali emosinya yang tadi sudah mulai padam. Emosi yang sedari tadi tak tersalurkan berubah menjadi air mata. Tamparan keras mendarat di pipi peria tua yang dipanggil Ayah tersebut.

" Menjadi cacat seperti itu bukan keinginan ibu, Yah semua itu musibah. Gak ada satu pun orang yang mau cacat. Bukannya Ayah sendiri yang bilang kalau laki-laki yang baik adalah ia yang mampu setia pada satu wanita. Lalu Ayah? Menjilat ludah sendiri"

PLAK!!!

" Anak kecil sepertimu tau apa? Kamu dan Ibumu sama saja, sama-sama tidak berguna. Yang kepala keluarga disini itu Ayah. Semua terserah ayah. Kalau kalian masih butuh Ayah maka harus mengikuti langkah yang Ayah ambil."

Raut wajah Abila berubah, ia tertegun mendengar pernyataan yang baru saja Ayahnya ucapkan. Ayahnya meninggalkan kamar berjalan dengan langkah penuh emosi lalu membanting pintu kamar dengan sangat keras.

" Mana yang sakit, Bu?" bisik lembut Abila sambil memeriksa sekujur tubuh Ibunya.

" Engga ada. Ibu gak papa kok, sayang. Terima kasih, ya." Jawab Ibu dengan seutas senyum tercetak dibibirnya.

Abila memeluk Ibunya dengan sangat erat dan penuh kasih sayang. Punggung Ibu yang mengeluarkan sedikit darah dirabanya dengan perlahan. "Maaf karena Bila gak bisa berbuat banyak untuk Ibu."

" Aya yang kamu lakukan sudah jauh lebih dari cukup, sayang."

" Ibu kenapa gak mau ninggalin Ayah?"

" Tidak semudah tu, sayang."

" Apa rasa cinta Ibu untuk Ayah jauh lebih besar dari pada rasa sakit yang selama ini Ibu terima? Engga kan, Bu?"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Ibunya. Ia hanya tersenyum getir. Abila tak mengerti dengan jalan pikiran Ibunya. Kenapa bisa-bisanya bertahan padaha sudah jelas banyak luka didalamnya. Ibu belum terlalu tua, parasnya juga masih cantik diluar sana pasti banyak yang suka sama Ibu dan pastinya lebih baik dari Ayah.

Setelah merawat Ibunya dan membersihkan bekas keributan tadi abila beranjak kekamarnya untuk beristirahat. Ia membaringkan tubuh dengan diselimuti rasa cemas.

"Kenapa jadi seperti ini, Tuhan?" Ujar Abila sembari menatap langit-langit kamarnya.

Mengapa hal yang seharusnya membuat ia betah untuk tinggal dirumah malah menjadi sebaliknya? kenapa keluarganya berbeda dengan keluarga yang lain? Katanya rumah ternyaman adalah keluarga? Hal itu hanya omong kosong belaka ternyata. Setiap hari kedua orangtuanya selalu berdepat, ada saja hal kecil yang harus diperdebatkan.

Abila tak tahu sindrom jenia pa yang menyerang keluarganya sederastis ini. Perubahan yang tak pernah ia duga. Mereka yang dulu pernah terlihat mesra dan bai-baik saja , sekarang menjadi dua orang dengan kepribadian yang berbeda. Ayah yang dulu ia bangga-banggakan kini menjadi sosok yang ia benci. Ayah yang dulu berucap akan selalu setia kini malah mendua.

Seringkali Abila bertanya pada Tuhan mengenai hidupnya. Katanya sebelum manusia dilahirkan mereka sudah ditanya 77 kali oleh malaikat, tentang kesiapan dan keyakinan manusia untuk lahir kedunia lalu diberikan gambaran kehidupan seperti apa yang kelak akan dijalani, sehingga memutuskan untuk dilahirkan, Tapi abila tak pernah tau apa yang membuatnya yakin untuk lahir kedunia. Padahal baginya dunia semenakutkan ini. Bahagia seperti apa yang Tuhan janjikan untuk hidupnya sehingga ia sebegitu yakinnya untuk dilahirkan.

Bagi Abila cinta hanyalah omong kosong yang dipercayai oleh orang-orang bodoh. Cinta hanya memunculkan ketakutan-ketakutan yang berlebihan. Rasa takut yang manjadikan semuanya nyata. Cinta hanyalah mimpi semata yang kapan saja bisa berakhir.


------------------------------------------------------------------------------------------

Aku gak berharap banyak tentang cerita ini, semoga kalian suka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Politik KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang