Sudut pandang Adam
"Hah?! Di mana aku?!"
Aku tersentak bangun dan mendapati diriku berada di sebuah ladang bunga berwarna putih yang sangat luas. Saking luasnya, sampai-sampai, sejauh mata memandang hanya ada hamparan bunga putih yang sangat indah ini, tidak ada yang lain.
Dengan tubuh yang terasa sangat fit, kuhirup aroma bunga putih yang sangat wangi. Benar-benar menenangkan. Wanginya seperti lavender, namun ada wangi lain yang membuatnya jauh lebih segar. Sebenarnya, bunga apa ini?
Kupetik salah satu bunga dan lalu kuhirup aromanya lekat-lekat. Sungguh, aku suka wangi ini. Sampai akhirnya, aku baru sadar kalau kini, aku mengenakan pakaian yang terbilang cukup aneh. Baju dan celana serba hitam, beserta jubah dengan warna yang senada. Sebuah kain berwarna merah pun melingkar di pinggangku, persis seperti sebuah sabuk. Kenapa aku mengenakan pakaian seperti ini? Dan lagi, di mana aku? Kenapa aku bisa sampai di sini?
Kuingat-ingat lagi apa yang terjadi padaku terakhir kali. Ruang perpustakaan dan siluet Mas Zayn terlihat di dalam ingatanku. Namun, baru saja semuanya akan kembali teringat, suara berat seseorang seketika mengalihkan perhatianku. Suara yang cukup aku kenal.
"Adam. Kamu sudah bangun?"
Sontak, aku membalikkan tubuhku dan mendapati sosok Mas Aldebaran sedang berdiri di sana. Tapi, ada yang aneh. Ia bukanlah sosok Mas Aldebaran yang aku kenal. Dia tampak jauh lebih muda dengan tubuh yang tidak sekekar yang aku kenal. Lebih tepatnya, ia kurus, dan wajahnya terlihat sangat baby face. Seperti remaja yang baru mengalami pubertas.
"Mas," panggilku.
Mas Aldebaran yang berjalan mendekatiku seketika mengernyitkan dahinya. Seakan-akan, ada yang salah dengan panggilanku.
"Mas? Kenapa kamu memanggilku dengan sebutan Mas?" tanya Mas Aldebaran dan lalu melemparkan sebuah roti gandum ke arahku. "Kita 'kan seumuran," lanjutnya.
Kebingungan. Itulah yang aku rasakan sekarang. Jelas-jelas umur kita terpaut jauh.
Mas Aldebaran kini duduk di sebelahku. Ia menatapku sembari tersenyum, sebelum akhirnya menyantap roti gandum miliknya sendiri.
"Makanlah. Ini enak," ucapnya.
Aku pun mengangguk dan lalu menyantap roti gandum yang diberikan tadi. Benar. Ternyata rasanya sangat enak. Aku pun langsung menghabiskannya, begitu juga dengan Mas Aldebaran. Setelahnya, kami berdua hanya terdiam. Kami menikmati embusan angin yang sangat sejuk. Entah mengapa, tempat ini terasa sangat nyaman bagiku.
"Dam."
Di tengah ketenangan, Mas Aldebaran tiba-tiba saja memanggilku. Aku pun menoleh dan lalu merespons panggilannya.
"Ya, Mas?"
Tersenyum aneh, Mas Aldebaran kemudian menyentil keningku. Rasanya cukup sakit.
"Jangan bertingkah aneh begitu. Panggil aku seperti biasanya," ucapnya yang seketika aku angguki.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUKMA
FantasyKalau suka sama ceritanya, jangan lupa klik vote/like-nya ya. Terima kasih *** Pertemuan Adam, bocah berusia sepuluh tahun dan Aldebaran, pria berusia dua puluh lima tahun memang tidak berkesan baik. Namun, semuanya berubah saat Aldebaran mulai meng...