Menepati janjinya dengan Arthur kemarin, pukul sembilan pagi ini Kaluna sudah mulai bersiap-siap. Ia membuka lemari dan memilih baju yang tidak terlalu santai tapi juga tidak terlalu resmi.
Setelah memilih pakaian, Kaluna duduk di kursi, menghadap cermin dan memulai rutinitas skin care-nya.
Sembari menepuk-nepuk wajahnya, gadis itu berpikir apa yang akan ia bicarakan dengan Arthur nanti. Ia bahkan tidak tau kenapa dengan mudahnya mengiyakan ajakan lelaki itu.
Kalau diingat lagi, sejujurnya Kaluna agak kesal dengan Arthur. Kenapa dulu harus super baik dan menyenangkan kalau akhirnya ia tidak diperjuangkan?
Kaluna tau LDR itu berat, repot, banyak risiko, tapi memangnya tidak mau diusahakan dulu? Tidak mau mencoba berjuang?
Gadis itu menghela napas panjang untuk meredakan kekesalan yang kembali muncul.
Sudah tidak diperjuangkan, tidak diberi penutup pula.
"Pamit kan bisa," omel Kaluna sambil menatap cermin.
Rasa-rasanya Kaluna ingin membuat reka adegan Cinta dan Rangga ketika bertemu Arthur nanti. Ia ingin berkata, "yang kamu lakukan ke saya itu jahat,"
Lalu gadis itu mendengus geli dengan pikirannya sendiri. Jangankan mengatai Arthur, bisa bicara lancar dengan laki-laki itu saja sudah menjadi satu hal yang luar biasa. Tidak dipungkiri rasanya meletup-letup. Kaluna sampai bingung sebenarnya ia ini merasakan apa.
Terlalu kesal dengan Arthur, atau terlalu senang akan bertemu lelaki itu, atau apa?
"Lun.." ketukan pintu dan suara ibu memecah keruwetan di kepala Kaluna.
"Iyaaa," jawabnya sambil beranjak membuka pintu. "Loh, ibu mau ke mana?"
"Mau layat sama bapak," jawab ibu sambil merapikan rambutnya. "Kamu mau pergi juga?" ujar ibu lagi setelah melihat pakaian tergeletak di kasur anaknya.
Kaluna mengangguk. "Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak papa, ibu sama bapak juga kayaknya sampai agak sore,"
"Oh? Siapa to bu yang meninggal?" tanya Kaluna.
"Temen kantornya bapak, tapi istrinya juga kenal sama ibu, terus anaknya juga dulu suka main sama Mas Leon," ucap ibu menjelaskan.
Kaluna mengangguk saja karena sepertinya ia tidak kenal. "Ya udah, hati-hati. Mau berangkat sekarang?"
Ibunya mengiyakan. "Kamu mau pakai mobil sendiri atau naik apa?"
"Ngikut aja, ibu sama bapak mau naik apa?" ujar Kaluna karena saat ini hanya ada satu mobil di rumah mereka.
Ibunya tampak berpikir sejenak. "Ibu pakai taksi online aja, pasti rame dan malah susah parkirnya. Nanti pulangnya bareng sama masmu,"
Kaluna kembali mengangguk. "Oke. Mbak Yati di rumah, kan?"
"Iyo. Nanti kamu pamit lho, biar dia tau rumah kosong," ucap ibu. "Wis ya, ibu berangkat," ujar ibu lagi.
"Hati-hati," ucap Kaluna sambil mencium tangan ibunya kemudian kedua pipinya.
Sesudah ibu dan bapaknya berangkat, Kaluna melanjutkan kegiatan make up-nya. Ia masih punya sangat banyak waktu luang sampai jam janjiannya tiba.
**
"Widih, wangi banget bro," celetuk Vika saat kakaknya lewat di sampingnya.
"Masa, sih? Perasaan biasa aja pakai parfume-nya," jawab Arthur.
Vika mengangguk. "Wangi banget, beneran,"
Arthur mengedikkan bahunya saja. "Ya bagus, deh,"
"Ciee mau clbk," ucap Vika menggoda kakaknya. "Baik-baik loh mas ngobrolnya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Empat Belas Hari
Short StoryCerita Kaluna dan Arthur selama empat belas hari di Yogyakarta. (ceritanya masih dilanjut, nggak discontinued, tp maafin author-nya lg dikerjain kerjaan🥹🙏)