Sesuai yang ku janjikan, hari ini ku update dua chapter. Semoga senang(?)
Ah di sini, tepat di sini awal keyakinan Kinan ke Pak Bara. Langkah pertama (benar-benar langkah) mereka dimulai setelah ini! Psst! Sisa 4 chapter terakhir dari sini!
Oke. Selamat membaca! Semoga senang!
🐨🐨🐨
“Kakak cantik!”
Suara itu gua dengar dari arah tangga di rumah besar ini. Rumah yang kali keduanya gua kunjungin. Rumah keluarga pak Bara.
“Tante, Zo.” Ralat pak Bara duduk di samping gua.
Di depan kita, papa dan mama pak Bara duduk dampingan. Mereka adalah salah satu pasangan yang menurut gua formal. Dalam artian mereka keliatan serius setiap saat walaupun kenyataannya gak gitu.
Pakaian yang mereka pakai keliatan jauh dari kata santai setiap ketemu gua. Meskipun papanya pak Bara cukup simple—kemeja dan celana bahan—tapi tetep, kesannya serius di mata gua.
Begitu juga dengan tante Amanda. Beliau pake satu set sederhana dengan brand yang sama dengan yang dia pakai waktu kita ketemu di rumah sakit.
“Kakak, pah. Bukan tante,” Kenzo yang udah duduk di samping gua ralat omongan pak Bara. Ini terjadi juga di pertemuan pertama kita di rumah pak Bara.
“Kinan masih cocok di panggil kakak.” Komen Om Indra—papanya pak Bara.
“Abang sama Kinan cuma beda lima taun.”
Ini yang bikin gua aneh pas pertama datang ke sini. Pak Bara dipanggil abang. When in fact, dia anak bungsu. Dia cuma dua bersaudara dan kakaknya perempuan.
Gua tanya waktu pertama datang. Pak Bara jawab, katanya dia iri sama beberapa temennya waktu kecil yang punya adik dan dipanggil dengan sebutan abang. Berakhirlah dia dengan sebutan itu.
Gua sempet tanya lagi, apa dia pengen punya adik makanya minta dipanggil abang? Jawabannya, ngga. Dia sama sekali gak mau punya adik. Katanya, dia gak mau perhatian orang tua dan kakaknya kebagi nantinya. He said itu pikiran dia waktu kecil. Tapi kayanya kebawa sampe sekarang.
“Dan abang dipanggil bapak sama Kinanti.” Balas tante Amanda. “Zo, sini duduknya sama oma.” Tante Amanda signing dengan tangan yang melambai.
Kenzo geleng. Dia meluk gua dari samping. “Mau sama kakak cantik.” Tolaknya yang bikin gua ketawa karena cara ngomongnya yang lucu. “Kak, nanti ikut Zo ke playground, ya!” ajaknya dengan penuh keceriaan.
Ini yang sedikit beda. Waktu pertama kali banget gua ketemu Kenzo which is di mall itu, cara ngomongnya masih kurang lancar, ada beberapa huruf yang belum bisa dia ucap dengan jelas. Sekarang, semua kata dan susunan kalimat yang keluar dari mulut kecilnya udah sangat jelas. Bahkan pengucapan kata di bahasa inggris pun kedengeran fasih.
“Aduh maaf Kinan, Kenzo abis mandi langsung minta turun dia denger suara kakak cantik.” Suara perempuan dewasa dari arah tangga kedengeran—arah yang sama dengan Kenzo datang. Kak Aster—kakak perempuan pak Bara.
“Gapapa, kak.” Jawab gua setengah ketawa dengan tangan ngusap kepala Kenzo. “Kapan Kenzo ke playground?” tanya gua sambil sedikit nunduk untuk liat Kenzo.
“Ga tau. Papa gak bilang kapan. Tapi papa udah janji mau ajak Kenzo ke playground,” jawab Kenzo sambil nunjuk Pak Bara.
Apa kalian masih bingung kenapa pak Bara dipanggil papa? Katanya, gini ceritanya.
Kenzo manggil ayah-bunda ke orang tuanya. Di lingkungan dia—sekolah usia dini—jarang yang manggil orang tuanya dengan sebutan itu. Kak Aster ngasih usul ke anaknya dengan manggil papa ke omnya Kenzo—pak Bara. Itu lah kenapa waktu pertama kali gua tanya tentang mama ke Kenzo, dia bilang dia gak punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus [END]
Teen Fiction"Kalo saya bilang, saya lamar kamu, kamu kaget ga?" Ya kaget lah anjir! batin Kinan. "Ngga, ga mungkin juga," Kinan menjawab. "Ada kemungkinan. Dan sekarang kejadiannya. Saya lamar kamu. Gimana? Jawaban kamu apa?"