Ael sakit.
Itu kesimpulan pertama yang aku dapat setelah membaca pesan dari Tante Arumi, mama Ael. Menjalin hubungan hampir empat tahun dengannya membuat hubungan kami juga terjalin. Tante Arumi meminta aku untuk memanggilnya mama, sama seperti yang Ael lakukan.
Tapi sepertinya empat tahun itu bukan apa apa karena aku baru tau Ael mempunyai sesuatu yang ia sembunyikan. Mikael Ragasa tidak pernah sekalipun menunjukkan dirinya lemah. Ael selalu memperlihatkan sosoknya yang kuat dan ceria, di depanku.
Namun saat ini rasanya aku hampir kehilangan akal. Melihat mama Arumi yang menangis di depan sebuah ruangan rumah sakit, ruangan sakral berisi orang yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Sialnya yang sedang berjuang di dalam sana adalah Ael.
"Mama, maaf Tara sedikit terlambat. A-Ael kenapa ma?" Ucapanku terbata kala melihat mata sembab mama.
"Maafkan Ael ya nak, Ael sedang berjuang di dalam sana. Anak mama sakit, Tara."
Tanganku bergetar saat mama menarikku ke dekapannya. Aku masih mencerna semua ini. Ael? Ael kenapa? Ael sakit apa? Separah itukah sampai harus melakukan operasi?
"Tara, doakan Ael ya nak. Ael butuh doa kita semua."
"Iya ma, anak mama pasti kuat, Ael pasti sembuh."
Bisa bisanya aku menguatkan orang lain di saat kakiku lemas. Mataku tertuju ke ruangan itu. Aku berdoa sekuat mungkin, meminta kesembuhan dan yang paling terbaik untuk Ael.
Suara decitan pintu membuatku mendongak. Seorang dokter dengan seragam hijau keluar dari sana. Aku juga melihat mama menghampiri dokter itu.
"Ibu, maaf. Sepertinya tuhan berkehendak lain. Mikael Ragasa tidak bisa kami selamatkan. Ginjal pendonor malah membuat infeksi di tubuh Mikael, sekali lagi maaf."
TIDAK
Apa maksudnya Ael tidak selamat? Ael pasti baik baik saja. Semua ini mimpi. Ingin berjalan ke arah mama namun kakiku terlanjur lemas dan penglihatanku hitam seketika.
"Sayang, Tara pacarku yang cantik."
Itu Ael, itu suara Ael. Sial. Mataku sangat sulit dibuka. Ael, aku ingin melihat Ael.
"Sayang, ayo buka mata kamu. Lihat aku sebelum aku bener bener pergi."
Ael gaboleh pergi.
"Aku sedih nih, kamu gamau lihat aku ya?"
"Hei, kamu kenapa nangis? Aku masih di sini, sayang."
Bukannya membuka mata, aku malah merasakan buliran air mengalir di pipiku. Ayolah mata, terbuka. Pasti semua ini mimpi.
"Kayaknya kamu emang gamau lihat aku ya. Yaudah gapapa, yang penting aku masih tetep bisa lihat kamu. Aku pamit ya? Maaf selama ini kesannya malah nutupin. Maaf aku ngelanggar janji kita untuk selalu terbuka. Kamu mau maafin aku, kan? Kamu baik baik di sini ya. Jaga kesehatan kamu, jangan sampai sakit. Kamu raih cita cita kamu, buat bangga mama sama papa kamu, pasti nanti aku juga bangga sama kamu. Aku selalu bangga sama apa yang kamu capai. Karena kamu pacar aku. Aku selalu ngedukung apapun yang kamu lakuin, walaupun aku ngga berada di sisi kamu. Temuin bahagia kamu setelah aku ya sayang. Aku sayang kamu, walaupun kita udah jauh."
Ael mau kemana, engga, Ael harus sama aku. Aku mau Ael.
"Sekarang waktunya aku pergi, bahagia selalu, Tara pacar aku."
Enggak Ael, enggak. Nggak boleh pergi. Ael tunggu. Ael, Ael...
"AEEELLLLLL!"
"Tara, sayang, ikhlas ya nak. Ael pergi sambil senyum, Ael pasti bahagia pernah kenal kamu."
"Enggak ma, enggak. Ael gaboleh pergi Ma!"
"Ikhlas sayang, ikhlas. Lihat mama Arumi, dia pasti lebih kehilangan anaknya sayang."
Dan malam itu, menjadi malam terakhir aku melihat wajah Ael. Wajah yang selalu menjadi penyemangat hari hariku sebelumnya. Senyumnya masih sama, hanya saja rona wajah itu hilang, memucat.
"Ael, aku sayang kamu. Selalu." Menjadi kalimat terakhir yang aku bisikkan kepadanya sebelum kami benar benar berpisah. Aku tidak bisa melihat Ael lagi. Tapi sepertinya Ael masih bisa melihatku dari tempatnya sekarang. Tempatnya adalah sisi terbaik Tuhan.