Dia diam. Kedua bibir indahnya mengatup rapat, tak memberikan celah untuk udara dingin memasukinya. Bibir indah itu mulai bergetar. Ku tatap mata biru lautnya. Sungguh aku tak kuasa ketika butiran-butiran itu jatuh tanpa permisi dari pelupuk matanya. Kupeluk saja tubuhnya. Sensasi hangat mengalir di antara tubuh kami. Dia menangis dalam pelukanku, menumpahkan semua kesedihannya pada tubuhku. Ia melepas pelukan kami. Mata kami saling memandang sekali lagi. Tuhan, dia sangat sempurna.
***
Sudah setahun aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia terlihat sempurna di mataku. Dia terlihat seperti seorang malaikat. Rambut kecokelatannya tersisir rapi, memberikan tambahan keindahan pada dirinya. Ia berdiri di tengah-tengah penonton, memamerkan deretan gigi putihnya. Dia sungguh sempurna. Dan aku berada di garis yang berbeda darinya.
Mata birunya begitu indah, seindah laut tenang kala matahari terbit. Matanya begitu biru, sebiru laut samudera, kau bahkan bisa tenggelam jauh di matanya. Matanya memang indah, namun aku tak memiliki nyali untuk menatapnya terlalu lama. Aku takut kalau semua ini salah. Aku takut jika semua perasaan ini salah.
"Kau memandangnya lagi, Harry." Jenn menepuk pelan pundakku, membuyarkan lamunanku padanya.
"Dia begitu sempurna, hingga kau tak akan pernah merasa lelah memandanginya." Aku kembali memandangnya.
"Beritahu dia, Harry. Kau tak mungkin memendam ini selamanya. Ungkapkan perasaanmu."
"Tak semudah itu, Jenn. Perkataan terlihat lebih mudah dibanding perbuatan."
"Terserah kau saja, aku hanya lelah melihatmu seperti ini?" Jenn meninggalkanku.
"Dan nyatanya aku lelah dengan keadaanku yang seperti ini." Aku hanya mendesah berat, membisiki diri ini dengan serangkaian kata-kata yang menunjukkan jika aku sangat menyedihkan.
Dan begitu seterusnya, aku hanya berani mencuri pandang. Aku tak pernah berani menyapanya. Aku tak pernah berani berpapasan dengannya. Aku tak berani menatap langsung mata biru lautnya. Aku hanya bisa diam-diam jatuh cinta padanya. Kubiarkan saja perasaan ini tumbuh subur dalam diriku, menyiksa diri ini dengan kecintaanku pada mata birunya. Aku hanya takut untuk sebuah kemungkinan buruk. Aku takut dia justru membenciku jika aku memberitahunya. Aku memang pengecut.
***
Dentuman musik keras memenuhi ruangan redup ini. Bau asap rokok dan minuman berakohol bersatu, menciptakan aroma nikmat tersendiri bagu pemujanya. Aku duduk di sebuah kursi kosong dekat bar. Aku memesan satu sloki tequila. Kujilat sekilas tanganku, membantu garam agar bisa melekat pada bagian yang kujilat tadi. Seiris lemon kupegang di tangan yang sama yang tadi kutaburi garam. Aku menghembuskan nafas, menjilati garam yang tadi menempel di tanganku. Kuminum pesananku dan mengigit lemon yang kupegang. Rasa panas dan nikmat membaur di tenggorokanku, menciptakan suatu sensasi yang menggelitik dan memaksaku untuk berdansa dengan gila.
Aku memberanikan diriku untuk membaur dengan keramaian yang ada. Gemerlap lampu membuat antusiasku bertambah. Gerakan erotis dan liar menjadi satu, aku seolah orang yang benar-benar tak bisa dikendalikan.
"Hai tampan," seorang gadis berambut merah mencoba merayuku. Tangannya membelai lembut lenganku, mencoba menyeretku dari hingar bingar menuju toilet wanita, mungkin sekedar memberiku kepuasan duniawi. Tequila memang membuatku liar dan seolah melupakan segalanya, tapi aku masih ingat akan cintaku yang salah ini pada si mata biru.
"Tidak, maaf. Mungkin kau salah orang." Aku melepas begitu saja belaiannya untuk segera keluar dari keramaian ini. Yang kubutuhkan saat ini mungkin adalah sebuah tidur nyenyak.
***
uhm ini ff serius pertama yang berani aku post disini. mungkin banyak salahnya, maafin masih banyak belajar.