17. Apa kata dunia nanti?

2 2 2
                                    

-
"Cintai dirimu apa adanya," Ucap orang yang dicintai banyak orang.
-

Eliza menggulung dirinya dalam balutan selimut. Sunyi, hanya ada suara detak jam. Gadis itu mengusap kasar wajahnya, ia bosan. Berdekam di bawah atap kamarnya seharian, lalu jadwal makan, jadwal tidurnya juga hancur.

"Bukannya sebelumnya kehidupan ku memang juga gini-gini aja?" Gumam Eliza. Merenungi naas nya lajur hidupnya setiap saat.

Ia ingin cantik, ia ingin semua orang menyukainya, ia ingin bisa berlari. Ia ingin merasakan pengalaman mendaki, ia ingin menari sebebasnya. Banyak hal yang dia inginkan.

Eliza menoleh untuk melihat lemari pakaiannya, di dalam lemari itu ada banyak sekali pakaian bahkan gaun yang indah. Eliza beranjak dari kasurnya dan segera mendekati lemari tersebut.

Ada satu pakaian yang menarik perhatiannya. Sebuah dress dengan warna yang sangat lembut, dan corak yang manis. Dress itu nyaris tak tersentuh olehnya, apakah akan cocok ke tubuhnya?

Tapi dress itu panjangnya saja tak sampai lutut.

Mungkin tidak, karena ia jelek, lagipula kaki palsunya tidak cocok dipadukan dengan dress ini.

Eliza menyambar dress tersebut lalu memakainya, ia mengakali kaki palsunya dengan stocking putih, meski tampak berbentuk. Dress ini terbalut indah di tubuhnya, gadis itu tak menyangka, karena ia pikir dress ini akan kecil untuknya.

Eliza melangkah mendekati cermin, senyum mengambang di wajahnya. Ada satu hal lagi yang menganggunya. Eliza mengurai rambutnya untuk menangkup salah satu bagian di wajahnya.

Sempurna. Dengan penuh percaya diri, Eliza melakukan beberapa pose. Tak lama dirinya terkekeh sendiri dengan tingkahnya.

Bisakah rasa percaya diri ini dia pertahankan setiap saat?

Eliza memangkas jarak antara dirinya dan cermin, kini dia mampu melihat wajahnya dengan keseluruhan. Tangannya perlahan terangkat dan meraba seluruh permukaan wajahnya.

Di satu bagian permukaan itu, wajahnya terasa sangat kasar, berlainan dengan sisi lainnya yang halus tanpa ada gradakan apapun. Namun berbagai bercak muncul disana. Permukaan kasar tersebut, adalah bekas luka yang dia dapat dari orang-orang yang berusaha merebut kesempatannya untuk hidup.

Tangannya pun beralih untuk melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kini hanya tersisa dirinya, dengan balutan pakaian dalam.

Eliza seketika meluapkan tangisan, tangannya tertangkup di wajahnya, menutupi pandangannya untuk melihat dirinya lewat pantulan cermin.

Ia terisak keras, mau sekeras apapun dia berusaha menutupi kekurangannya, Eliza tetap akan membenci dirinya dan hidupnya.

Tangisan nya mereda, menangis memang mustahil mengembalikan apa yang dia inginkan. Eliza menyeka air mata yang masih berjatuhan, Eliza sekali lagi melirik ke arah cermin.

Seluruh tubuhnya terpantul di bayangan cermin.

Tubuhnya, sudah tak pantas dikatakan berbentuk lagi. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bekas luka dimana akan membekas abadi di tubuhnya.

Eliza membelai salah satu lengannya, menyentuh kulit yang sudah bermuka kasar tersebut. Andai saja jika bajingan-bajingan itu berhasil membunuhnya saat itu, apakah dia akan terus tersiksa seperti ini?

Di saat orang lain berlomba-lomba memamerkan kesempurnaan tubuh mereka, Eliza justru melakukan sebaliknya. Coba pikir, apa yang mampu dia banggakan dari dirinya sendiri? Berprestasi tidak, cantik juga tidak, Kaya? Itu bukan berasal darinya melainkan dari ayah dan bundanya. Berhasil hidup hingga detik ini? Tidak, hidup hingga di detik ini bukan sebuah hal yang mampu dia banggakan, justru hal yang dia sesalkan.

Dia hanya hidup untuk menjadi parasit dalam kehidupan kedua orang tuanya. Kini dan kelak nanti.

Air mata kembali menggenangi wajahnya, Eliza merunduk sedih di saat yang bersamaan matanya terarah pada kaki kirinya. Kaki tersebut adalah kaki palsu.

Eliza beringsut bangkit dan mengembalikan pakaian tersebut ke lemarinya. Sayang sekali, pakaian tersebut tak akan dikenakannya olehnya lagi, sampai kapanpun tak akan pernah.

Bodoh. Sudah tahu ia tak akan pernah cantik dalam balutan pakaian apapun, tetap saja dicoba.

Eliza segera berpakaian selayaknya dirinya seharusnya. Eliza melempar tubuhnya ke kasur, kepalanya terasa pusing karena dirinya habis menangis. Eliza menelentangkan tubuhnya, wajahnya kini berhadapan dengan langit langit kamarnya, tatapannya berbinar redup.

Sampai kapan dia harus begini?

Sampai kapan?

Jika ada sihir yang mampu mengembalikan dirinya seperti 6 tahun yang lalu, apa mantranya?

Eliza menanti tibanya masa di saat dirinya yang sangat berani dan tangguh melawan apapun yang menghadangnya. Disaat caci maki orang, dan hinaan orangn termaksud tatapan rendah orang kepada dirinya tak lagi mempan padanya.

Eliza terkekeh geli, mustahil, masa seperti itu hanya mimpi tak berujung baginya. Apakah di saat dirinya dewasa, dia akan terus menerus seperti ini?

Menggantungkan hidup dan tumbuh menjadi parasitnya orang dewasa?

Bagaimana jika ayah dan bundanya lebih dahulu meninggalkannya? Dengan siapa lagi dia akan menggantungkan hidupnya? Haruskah dia mendahului kedua orang tuanya? Dengan begitu semua akan beres. Dia tak akan menjadi beban untuk siapapun lagi.

Eliza tertegun, apa yang barusan dia pikirkan? Pikiran untuk mengakhiri hidupnya? bisa-bisanya berfikiran seperti itu disaat emosi nya sedang tidak stabil.

Dia harus berjuang lebih kuat lagi, untuk bertahan melalui hitam putih kehidupannya. Sedikit lebih lama lagi, ia mohon, bertahan sebentar lagi saja.

Eliza beringsut bangkit, dia tak bisa membiarkan dirinya seperti ini setiap hari. Eliza membalut tubuhnya dalam dekapannya seorang diri, setetes air mata jatuh di susul oleh air mata lainnya.

Dirinya yang terlalu lemah,

Atau Tuhan yang begitu kejam padanya?

Membiarkannya hidupnya seperti ini?

Eliza menyeka kembali air matanya, sudahi menangisnya, dia harus melakukan sesuatu untuk mengalihkannya dari kesedihan. Eliza beringsut turun dari kasurnya, disaat dirinya melangkah menghampiri cermin. Kakinya tanpa sengaja menginjak topeng monyet yang tergeletak begitu saja di lantai, Eliza mengambil topeng tersebut dan tanpa pikir panjang langsung mengenakkan nya.

Ia berlari menuju meja riasnya untuk bercermin.

Bagaimana jika orang mengenalnya sebagai Eliza yang selalu mengenakan topeng monyet?

Apa kata dunia nanti?

BEAST AND YOU (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang