Sejak dahulu, Dewa dan Iblis berperang. Kaisar Bratadintara memimpin Shenxian dan tujuh puluh dua tentara dewa lainnya untuk melawan Suku Iblis. Mereka membunuh untuk menghentikan pembunuhan, juga bertarung untuk menghentikan pertarungan agar seluruh dunia damai. Ia menjadi pemimpin dari langit dan bumi serta mengatur kematian dan kehidupan di Enam Alam. Puluhan ribu tahun kemudian, muncullah seorang Raja Iblis, Ismaya yang tidak menerima posisi Bratadintara sebagai pemimpin dan kemudian menyerang langit dan bumi, sehingga terjadi peperangan.
Ledakan energi dari dalam diri Ismaya membuat sekumpulan bola api raksasa terbentuk di belakangnya, dia melemparkan bola api raksasa untuk menyerang Kaisar Bratadintara.
Melihat banyaknya bola api raksasa yang akan menghantam dirinya, Kaisar Bratadintara membuat perisai pelindung di ujung pedang birunya. Dia bertahan dengan sekuat tenaga untuk mencari celah melesatkan pedang biru miliknya ke jantung Raja Ismaya.
Setelah mendapatkan sedikit celah Kaisar Bratadintara pun menghunuskan pedang birunya menembus jantung Raja Ismaya hingga tanpa sadar dua tetesan darah yang berasal dari jantung Raja Ismaya terjatuh di dua tempat yang berbeda.
"Apa gunanya pedangmu yang tajam?"
"Apa gunanya kau memimpin langit dan bumi?"
"Aku adalah Raja Iblis, kau tidak dapat membunuhku!" Semua perkataan Raja Ismaya tidak membuat Kaisar Bratadintara mengurungkan sedikit niatnya untuk mengurung Iblis di depannya.
Kaisar Bratadintara mengeluarkan Giok Pengurung Roh di tangan kirinya, dia akan mencoba sesuatu untuk mengunci makhluk didepannya
"Kau menggunakan Giok Pengurung Roh untuk mengunciku," ucap Raja Ismaya sedikit meremehkan, lalu Ia tertawa terbahak-bahak menyadari adanya aliran kekuatan dalam pembuluh nadinya yang bersifat mengikat serta mengutuk.
"Hahahahahahah ...."
"Bratadintara, kau menggunakan kekuatanmu untuk mengutuk diriku?" tanya Raja Ismaya marah. Dia berusaha untuk melepaskan kuncian dari Giok Pengurung Roh.
"Bratadintara, kau tunggu saja!!! Setelah aku bebas dari kutukanmu, hari itu juga kau mati bersama dengan tempat ini. Aku mau kau menatap langsung, seluruh hal kesayanganmu akan berubah menjadi neraka."
Bertepatan dengan akhir perkataannya penyegelan terhadap Raja Ismaya pun berakhir sempurna.
Di tempat lain, Petir menyambar dengan elegan disertai gemuruh hujan yang lebat.
Seorang wanita berjuang keras melahirkan satu kehidupan baru di Dunia langit, tepatnya di Negeri Hu yao dimana para siluman rubah tinggal.
"Arrgggghhhhh," jerit wanita itu menahan sakit terpatahnya kurang lebih dua puluh tulang secara bersamaan tiba-tiba disetiap kontraksi terjadi, itu jika manusia normal. Yang kita bicarakan saat ini adalah seorang wanita siluman putih berekor tiga merasakan sakit berkali-kali lipat dari manusia normal melahirkan.
"Dorong, nyonya!" seru tabib wanita yang membantu persalinan. Dia panik, dia juga cemas sebab pendarahan terus terjadi.
"Cepat! Dorong!" seorang wanita yang tengah berjuang untuk melahirkan begitu sangat mencengkram dengan erat selimut ranjang batu yang dia tempati.
"Dorong lebih keras lagi, nyonya. Kalian cepat! Ganti airnya!" serunya kepada para pelayan yang juga membantu persalinan. Pelayan yang diperintahkannya pun melaksanakan tugas sesuai perintah dengan cepat.
"Dorong, nyonya! Dorong!"
"Xiangli! Cepat beritahu Tuan untuk mengambil keputusan!"
"Keputusan atas apa?" tanya pelayan bernama Xiangli khawatir.
"Untuk menyelamatkan ibunya atau bayinya. Jika ada keadaan darurat!" Mendengar pernyataan dari sang tabib wanita membuat Xiangli dengan cepat berlari keluar dari tempat proses persalinan terjadi.
"Nyonya dorong!"
"Arrrghhhhh .... !!!!" Sebuah teriakan yang menjadi akhir dari proses melahirkan yang membawa wanita itu melepas wujud asli Rubah Putih berekor tiganya.
Bayi Rubah berwarna biru itu masih meringkuk dengan damai tanpa terganggu oleh suasana bahagia disekitarnya, tertidur dengan lelap tanpa tangisan terdengar di pendengaran.
Dan tanpa mereka semua sadari saat mengangkat bayi perempuan Rubah Biru ke atas langit dengan kedua tangan ayah kandung bayi itu, setetes cairan mengenai kening bayi tersebut.
Kehidupan yang terlahir kali ini adalah sebuah kehidupan sang pemilik nasib. Dia merupakan satu-satunya Rubah Biru berekor sembilan, dia menjadi kesayangan semua orang, dia berkuasa karena dia akan menjadi Ratu Muda dari Negeri Hu yao, negeri para siluman.
-
-
[ Tiga puluh ribu tahun kemudian ]
Seorang gadis terlihat menulis menggunakan sebuah kuas bertinta hitam pada secarik kertas. Simbol pelangi dikeningnya telah menjadi ciri khas dari Ratu Muda Hu yao.
"Cantik sekali lukisanku," serunya gembira.
"Nona Haritala! Kamu benar-benar ..."
"Maa Ya," ujar Haritala pelan takut-takut sembari melihat keberadaan gurunya yang berubah suram aura.
"Selain pelajaran kepemimpinan yang memiliki nilai bagus, apa kamu tidak ingin mempelajari hal lain dan main-main saja?"
"Itu karena ..." Haritala berpikir sebentar untuk mencari sebuah alasan yang tepat.
"Itu karena pelajaran yang diajarkan Maa Ya ini menarik sekali, sehingga aku terlalu fokus dan tidak ingat kalau kali ini sedang membahas ..." Pikiran Haritala dengan cepat mencari jalan keluar, dia melihat buku yang telah dia buka sejak tadi.
"... ajaran Buddha. Mungkin pelajarannya sudah sampai di bagian konsentrasi, aku mempelajarinya dengan sungguh-sungguh," ucap Haritala penuh keyakinan.
Seorang pria paruh baya yang sejak tadi dipanggil dengan nama Maa Ya kembali menghela napas lelah mendengar alasan klasik yang selalu saja dilontarkan oleh Ratu Muda Hu Yao.
"Nona Haritala karena kamu begitu sungguh-sungguh mempelajarinya, maka dipelajaran ajaran buddha hari ini, kamu salinlah bait di Kitab Buddha ini sebanyak dua puluh kali!"
"Dengar-dengar Kaisar Bratadintara paling menguasai pelajaran ini. Jika kamu sangat mengagumi Kaisar Bratadintara, mengapa kamu tidak rajin belajar?" lanjutnya berkata.
Haritala yang mendengarnya lantas menaruh lukisannya dimeja batu dan berkata, "Baik, Maa Ya. Tunggu saja, besok akan kubawakan hasilnya."
"Sudah! Pelajaran hari ini berakhir sampai disini. Pelajaran selesai!"
"Salam Maa Ya," ucap serempak para pelajar ditempat.
Sedangkan di Istana Madya, Kaisar Bratadintara meluangkan waktunya hanya untuk menikmati pemancingan yang alami.
"Kaisar," panggil salah seorang Dewa saat telah berada di samping Kaisar Bratadintara setelah melihat keadaan Kaisar sebentar, antara bersemedi atau memancing.
"Apakah kau mendengar kalimat ini? Air—"
"Air yang terlalu jernih tidak akan ada ikan di dalamnya." Kaisar Bratadintara memotong perkataan Dewa Gaskar dalam posisi duduk bersandar meja kayu.
"Kaisar memang sehati dengan diriku. Di danau bersih ini sama sekali tidak ada ikan, tidak ada umpan, dan juga tidak ada kail. Apakah Kaisar menyukai memancing atau bermeditasi?"
"Dengan kemampuanmu, kamu pun hanya memahami permukaan saja, sama sekali tidak memahami keanekaragaman di dalamnya."
Dewa Gaskar mengedipkan kedua matanya cepat, dia tidak menyangka perkataannya akan dibalas dengan mudah. Dia menunduk sedikit dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada seperti memberi salam seraya berucap, "Kaisar telah bertapa selama puluhan ribu tahun, kemampuan Kaisar meningkat pesat, memang sulit mengerti pemikiran Kaisar."
'Bapak tua yang aneh,' batin Dewa Gaskar terheran seraya beranjak pergi.
Kaisar Bratadintara mengeluarkan sedikit kekuatannya membawa bola air berisi ikan dari dalam danau untuk ditunjukkan kepada Dewa Gaskar bahwa di dalam danau masih ada ikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATU SILUMAN
FantasyHaritala Gantari merupakan satu-satunya Rubah Biru berekor sembilan di Dunia Langit ketika terlahir di Negeri Hú yāo. Dia secara tidak sengaja tersesat di tanah penuh bunga di Dunia Langit sebelah barat, yakni Negeri Èmó. Di sana dia diserang oleh b...