02. Rubah Nakal Tersesat ...

3 0 0
                                    

"Melihat air berarti air, melihat gunung berarti gunung," ujar Kaisar Bratadintara.

Dia menghempaskan tangannya ringan dan terpecahlah bola air berisi ikan kembali ke dalam danau di Istana Madya

"Pantas saja Cahya malas meladenimu."

Dewa Gaskar membersihkan air cipratan danau berisi ikan pada wajahnya, dia menyipitkan mata kesal atas sikap kekanakan Kaisar Bratadintara.

..

"Nona! apakah hari ini anda akan membawa kami berpetualangan ke Suku Iblis?" tanya salah satu murid Maa Ya kepada Haritala.

"Iya, apakah jadi?" tanya murid lainnya dengan antusias. Haritala yang mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan kepadanya sejak selesai pembelajaran hanya dapat mengernyitkan dahi bingung menanggapi mereka.

"Kak Haritala," panggil seorang anak remaja dari kejauhan. Haritala yang merasa terpanggil mencari sumber suara, dia pun memicingkan mata sejenak untuk melihat dan memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.

"Ehh .. Jakanara, mengapa kamu datang?" tanya Haritala heran. Seorang remaja bernama Jakanara pun berlari kecil menghampiri Haritala yang sedang bersama dengan murid-murid lainnya.

"Tuanku pergi mengunjungi Dewa Lingga dan kebetulan bunga persik sedang mekar. Mereka menyuruhku memanggilmu untuk ikut melihat bunga," ujar Jakanara memberitahunya.

"Hm .. setiap hari mereka berdua menikmati bunga dan minum arak, mengapa tiba-tiba menyuruhku ikut? Aku takkan tertipu. Pasti paman dan bibi sedang sibuk berpacaran, jadi menyerahkanku kepada paman kecil dan si Phoenix Tua untuk diceramahi, aku tak akan tertipu dan pergi untuk diceramahi mereka! Kau bilang saja kepada mereka, aku sibuk belajar dan tidak memiliki waktu luang," oceh Haritala menolaknya dengan tegas.

"Ayo semuanya!" ajak Haritala kepada murid seperguruan.

"Tidak bisa, jiejie tidak bisa pergi, Tuanku memerintahkanku untuk membawamu pulang, jadi aku harus membawamu pulang," pinta Jakanara menahan Haritala yang hendak pergi meninggalkannya.

"Xiao Nara!! Kamu jangan lupa bahwa kau hanyalah alat transportasi dari paman kecil sedangkan aku adalah calon Ratu dari Hu Yao, jika berani tangkap saja aku!" tantang Haritala kesal sembari memukul dada Jakanara menggunakan ranting pohon yang tidak tahu sejak kapan ada ditangan Haritala.

Haritala terdiam sesaat sebelum berkata, "Tahan dia untukku!" dan berlari pergi meninggalkan Jakanara yang terkepung oleh murid seperguruan Haritala.

"Jiejiie! Jangan pergi! Jiejie harus ikut pulang bersamaku," teriak Jakanara yang masih berusaha untuk lepas dari mereka.

Haritala tidak peduli dan terus berlari menggunakan wujud Rubah Birunya tanpa dia sadari telah semakin menjauh dari Negeri Hu yao.

Kaki Rubah Birunya yang kecil terpeleset hingga membuat dia terjun dari ketinggian yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia normal, 10 Km.

"Arrghhh .. pinggangku sakit sekali!" keluh Haritala yang terduduk manja ditanah dengan tangan kanan masih memegang pinggangnya menahan sakit. Dia melupakan fakta tentang teleportasi atau melayang di udara setelah sampai diperbatasan Hu yao tapi tidak lupa untuk mengubah dirinya kembali ke wujud manusianya.

Haritala melihat sekitar yang dipenuhi oleh rumput serta bunga yang terasa sangat cantik dipenglihatannya. Serba biru dan merah.

"Woaaahhh ... hihihi .. cantik sekali." Tawa riang Haritala melihat pemandangan secantik ini di Negeri Emo. Haritala berkeliling dengan riang dan menemukan sebuah danau luas, danau yang unik karena memiliki warna air merah muda.

"Ada buaya berwarna merah muda,"seru Haritala saat pandangan mata teralihkan kepada buaya yang sedang mengepung beberapa anggota dari salah satu Klan Suku Iblis.

"Mengapa para buaya cantik itu mengelilingi mereka?" gumam Haritala heran.

Haritala menghampiri mereka dan dia dengan santainya menarik ujung ekor ke enam buaya itu satu persatu dan melemparkannya kembali ke danau setelah membuat sepuluh putaran dilangit seperti ingin melemparkan tali kepada banteng.

"Kalian tidak apa?" tanya Haritala setelah berhasil mengejutkan mereka bersepuluh dengan tindakannya yang terlihat ringan dilakukan tapi kenyataannya membuat tangan Haritala terluka.

Meneteskan sedikit darah yang semakin lama sukar membeku, Hemofilia. Penyakit Hemofilia merupakan kelainan pembekuan darah, biasanya terjadi kepada anak laki-laki yang diturunkan oleh ibunya. Penyebabnya merupakan mutasi genetik yang diwariskan oleh kedua orang tua yang juga memiliki mutasi genetik. Tapi lain kasusnya dengan Haritala yang merupakan keturunan siluman dan seharusnya penyakit Hemofilia terjadi kepada manusia biasa.

"Kami tidak apa-apa, tapi siapakah Nona? Mengapa Nona berada ditempat yang seperti ini?" tanya salah satu dari mereka penasaran, kemungkinan dia adalah pemimpin kelompok dari mereka.

"Aku tersesat, bisakah kalian memberi arah jalan pulang?" ucap Haritala dengan wajah tertekuk kesal akibat kecerobohannya sendiri.

"Memangnya Nona sendiri dari negeri mana?" tanya salah satu dari mereka lagi dengan hati-hati, mereka takut menyinggung perasaan orang yang telah menolong mereka dari buaya merah muda mematikan. Walaupun mereka dan buaya itu sama-sama berasal dari Negeri Emo, tapi buaya abadi merah muda tidak bisa di ganggu akan keberadaannya.

'Jika aku mengatakan yang sebenarnya kepada mereka bahwa aku pertama kali tersesat disini dan aku berasal dari Alam Siluman, akankah mereka memberi jalan yang benar kepadaku untuk pulang?' batin Haritala bertanya-tanya.

"Aku berasal dari timur," jawab Haritala setelah beberapa saat bergulat dengan pikirannya yang tidak ingin berkata sebenarnya.

"Kalau seperti itu nona tinggal berjalan kearah timur saja, karena Negeri Emo terletak paling barat dari kelima Alam yang ada," ucapnya memberitahu. Salah satu dari mereka terkejut melihat darah terus mengalir dari tangan gadis yang telah menolong mereka.

"Terima kasih," ujar Haritala sedikit membungkukkan badan memberi salam melalui gestur tubuh sebelum pergi.

"Sama-sama," balas mereka bersama.

"Nona," cegah salah satu pemuda yang melihat linangan darah ditangan gadis penolong dengan menghadang langkahnya.

Haritala yang hendak pergi merasa bingung akan tindakan salah satu pemuda yang saat ini berada dihadapannya.

"Sembunyikan luka, Nona. Binatang di alam ini lebih ganas daripada alam lainnya," bisik pemuda itu.

"Terima kasih," balasnya Haritala pelan.

Haritala pun pergi meninggalkan mereka dengan melompat lewat udara menuju ke arah timur sesuai ucapan mereka.

..

Di sebuah tempat yang penuh dengan buah persik dari yang berukuran kecil, sedang, besar, bahkan lebih besar lagi yang bernama Pondok Persik.

"Xiao Tala-mu sulit sekali untuk diundang, ya?" tanya Dewa Lingga. Dia tahu jawabannya lalu untuk apa bertanya, seperti halnya guru yang bertanya kepada muridnya padahal sudah tahu jawabannya.

"Benar! karena dia adalah satu-satunya Rubah Biru Berekor Sembilan dan juga cucu perempuan satu-satunya di keluarga ini, seringkali bermain-main dan menyebabkan masalah, sudah menyebabkan masalah dia sama sekali tidak pernah bertanggung-jawab, saat dia berani mengolok-olok Dewa Nasib Mahadi. Jika ingin dia menurut, hanya bisa menggunakan Tali Pengikat Dewa."

"Sifatnya sangat riang, tapi kesukaannya malah sangat biasa. Dia ternyata mengagumi sosok Kaisar Bratadintara," ucap Dewa Lingga.

"Saat masih muda, siapapun pernah mengagumi sosok pahlawan. Tunggu dewasa nanti, dia juga akan tahu betapa sulit untuk menggapainya, lalu akan menyerah."

RATU SILUMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang