Keluarga Bahagia
(Cerpen)Sorot lampu mobil menerangi jalanan yang gelap. Tanahnya tidak rata, bebatuan di mana-mana. Badan jalan hanya cukup untuk satu buah mobil. Dengan akar-akar dan ranting yang mengintip di kanan kiri, entah bagaimana jadinya jika berpapasan dengan kendaraan lain.
Mobil terus merangsek maju, seolah tenggelam ke dalam lubang hitam besar.
Ruas jalan itu memang tidak dilalui oleh banyak orang, bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari siapa saja yang berani melewati akses yang membelah HUTAN tersebut.
Berada di kaki Gunung Gelud, hutan rimbun yang ditingkahi dengan pohon-pohon besar seperti Jamuju dan Ki Puteri. Hutan yang begitu eksotis di pagi hari, namun mengerikan ketika matahari mulai berpamitan.
Laju mobil makin melambat. Kabut yang mulai menebal, sempurna menutupi pandangan.
"Kita berhenti di sini," putus Roy. Wanita di sebelahnya merintih, memegangi perut yang buncit dengan tangan gemetar. Keringat sebesar biji-biji jagung meluncur dari pelipis yang ditumbuhi rambut-rambut halus.
"Kenapa ke sini, Roy?" tanya wanita itu, bingung.
"Ikut saja. Ada temanku di dalam sana yang akan membantumu melahirkan."
Wanita itu mengedar pandang dengan raut tidak yakin. Mungkinkah ada orang yang tinggal di dalam sana? Rasanya mustahil.
"Tapi, apa tidak sebaiknya kita ke rumah sakit atau klinik?" Rasa sakit yang semula berkala, kini mulai terus-menerus dirasakannya.
"Makanya cepat keluar, Sri! Tidak ada waktu lagi. Ayo, sebelum bayi itu lahir di mobilku!" Roy turun setengah meloncat, memutari mobil dan membukakan pintu untuk Sri.
Percuma Sri memohon. Roy menariknya, lalu menyeretnya semakin jauh ke dalam hutan. Hawa dingin menusuk tulang sudah tak lagi ia rasa. Hanya rasa sakit dan takut yang menguasainya sementara Roy terus menerabas semak belukar bermodalkan cahaya senter dari ponsel.
Sesekali Roy mengizinkannya berhenti karena darah dan air ketuban yang mengucur deras.
Hingga di satu titik, Sri jatuh tersungkur, tak kuasa lagi untuk bangkit. Ia berteriak, merasakan dorongan kuat yang membuatnya gemetar hebat. Namun tak ada satu pun yang menolongnya. Alih-alih, telinganya justru mendengar langkah yang semakin menjauh.
"Roy!" pekiknya. Tapi Roy telah berlari meninggalkannya.
Kini Sri ada di tengah belantara. Sendirian, hanya berkawan kenyerian maha dahsyat yang terasa mematahkan setiap inci tulangnya.
Batin Sri dijejali penyesalan. Mengapa ia memercayai Roy begitu saja. Padahal jelas-jelas sebelum ini Roy menolak keras untuk bertanggung jawab atas kehamilannya.
***
"Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia. Serta muuliia .... Serta muuliia!" Tepuk tangan membahana. Api yang tersemat pada lilin berbentuk angka 10 itu seketika padam ditiup sang empunya. Kue besar yang indah, siap untuk dibilah.Roy bertepuk tangan riuh bersama dengan yang lain, kebahagiaan di dadanya membuncah.
"Ini buat ibu." Agatha menyodorkan potongan kue pertama pada wanita berbaju putih dengan motif bunga-bunga merah.
"Ini untuk Ayah." Selanjutnya, gadis kecil itu datang ke hadapannya, menyodorkan sepotong kue lagi. Roy berlutut, menerima kue itu lalu mencium gadis kecilnya dengan haru.
"Terimakasih, Sayang. Anak ayah sudah besar!" Roy menyibak poni Agatha yang menyentuh alis tebalnya.
Sri melempar senyum, membuat Roy menekuk leher dalam-dalam. Setiap melihat istri dan anaknya itu, rasa bersalah kerap melintas. Dan sejujurnya, perasaan itu memang masih mendekam di dasar sanubarinya.
Ingin sekali Roy berteriak, tapi tidak, ia kini telah bahagia bersama keluarga kecilnya. Keluarga kecil yang harmonis, yang sempurna. Lihatlah istana mereka, begitu besar dengan banyak kamar, taman megah dan bunga aneka warna. Sepatutnya ia bersyukur. Masa kelam pantang untuk dikenang.
Sri sudah benar-benar memaafkannya, kehidupan mereka kini sempurna.
"Selamat siang, Pak Roy." Seorang rekan bisnisnya tiba-tiba datang, membuatnya sedikit terkejut. "Hari ini sepertinya sibuk sekali, ya? Ada pesta atau bagaimana?"
"Wah, kebetulan, Pak Musri. Puteri saya berulang tahun. Tapi tidak masalah. Pak Musri mau membicarakan tentang proyek pembangunan pabrik kita yang di sebelah hutan sana, 'kan?"
"Betul, Pak Roy."
Roy sebetulnya agak terganggu dengan kehadiran rekan bisnisnya yang datang tiba-tiba. Entah mengapa, ia juga selalu memiliki perasaan kurang enak mengenai pria berkulit putih itu. Tapi biarlah. Bagaimanapun juga, Pak Musri adalah partnernya untuk saat ini.
Roy mempersilakan tamunya duduk di sofa empuk yang terletak di sudut ruangan.
"Maaf, ruangannya dipakai untuk acara. Agak berantakan."
"Tidak masalah."
Roy baru menyadari ada seseorang yang datang bersama Pak Musri. Seorang wanita tua dengan dandanan mahal, serta rambut digelung anggun meski telah separuh memutih. Entah di mana ia pernah mengenalnya. Atau hanya perasaannya saja?
"Mohon maaf? Ibu ini siapa?"
"Oh, ini ibu saya." Pak Musri yang menjawab. "Kebetulan beliau mau ikut. Mau jalan-jalan sebentar, cari angin, katanya."
"Oh, silakan duduk, Bu." Roy mengamati wanita itu diam-diam. "Saya jadi ingat dengan ibu saya. Agak mirip, tapi ibu saya memang jauh lebih muda."
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Tangannya menyeka ujung mata dengan gugup.
"Sebentar saya pamit sama istri saya dulu, Pak Musri." Roy menoleh, mencari sosok istrinya di antara para tamu undangan yang kebanyakan adalah anak-anak. Roy mengundang semua warga. Siapa yang mau datang dan makan gratis, dipersilahkan. Tidak masalah berapapun biaya konsumsi yang dikeluarkan, ia adalah seorang pengusaha sukses.
"Sri!" Roy berseru. Lalu menemukan istrinya masih duduk di tempat semula. "Ada tamu. Aku tinggal sebentar, ya?"
Sri mengangguk, lalu fokusnya kembali pada Agatha yang tengah bermain kejar-kejaran dengan anak lain.
"Bagaimana, Pak Musri? Pabrik kita kapan bisa beroperasi?" Roy membuka percakapan. Ia meraih cangkir teh yang entah dari mana, tiba-tiba ada di atas meja. Ia menyesap isinya dalam-dalam, lalu pikirannya mulai berkabut ketika Pak Musri bicara. Kantuk luar biasa menyerang.
"Sebentar lagi anak ibu akan tidur. Jangan khawatir." Samar, Roy masih dapat mendengar sebelum semuanya berangsur buram. Ia merasakan tubuhnya yang mendadak lemas dibaringkan di kasur. Satu orang perawat membantunya.
Saraswati menyeka ujung mata yang basah dengan sehelai sapu tangan. "Apa memang belum ada kemajuan sama sekali, Dok? Ini sudah 8 tahun. Apa Roy belum bisa pulang ke rumah?"
Dokter Musri menghela napas sesal, lalu menggeleng pelan. "Saya minta maaf, Bu. Kondisi Roy masih sama. Di rumah sakit ini lebih baik karena ada kami yang terus memantau perkembangannya."
Saraswati terisak. Kapan kegilaan ini akan berakhir? 8 tahun Roy hidup dalam halusinasi bahwa ia seorang pengusaha sukses dan memiliki keluarga bahagia! Bukankah itu semua bisa menjadi hal yang nyata asalkan Roy sembuh?
Saraswati sungguh lelah.
"Nenek ...."
Saraswati menoleh, terasa ada yang berbisik di telinganya. Bulu kuduknya meremang hebat, namun ia tak melihat apa-apa.