IKATAN DARAH
#CerpenMD"Stop! Bisa gak sih kalian ini gak ribut sehariiii aja?" Suaraku sudah berada pada level tertinggi, tapi kedua anakku masih terus baku hantam.
"STOOP!!" Aku memukul pintu. Bunyinya berdebum, berhasil membuat mereka terbengong. Sudah habis rasanya stok sabar. Masa hanya karena rebutan komik, anak-anak ini jadi tidak terkendali. Jangan ditanya bagaimana keadaan benda yang diperebutkan itu, sudah babak belur sobek sana-sini.
"Keluar kalian! Berantem sana di lapangan!" Aku kembali meninggikan suara. Setelah itu, tubuh rasanya limbung, pandangan berkunang-kunang.
***
"Bu, ibu gak apa-apa?" Wajah suamiku langsung tampak ketika pelupuk mataku membuka. Gurat kecemasan menghiasi wajah yang tampan pada masanya itu.
Aku menyandarkan punggung, sebelum memindai sekitar.
"Pada kemana anak-anak?"
"Main di ruang tengah, Bu. Katanya tadi ibu pusing, ya? Apa anak-anak berantem lagi?"
Aku menghela napas lelah. "Iya, Pak. Capek rasanya kalau tiap hari seperti ini. Tiga orang anak, gak pernah ada yang akur."
"Ah, apa iya gak pernah? Buktinya sekarang mereka baik-baik saja."
"Nanti pasti berantem lagi."
"Ya jangan ditunggu tho, Bu. Itu sama saja dengan ibu menghakimi mereka duluan. Lagipula, jangan terlalu diambil serius. Mereka kan masih pada kecil-kecil. Wajar kalau sesekali bertengkar."
"Sesekali apa, Pak? Bapak 'kan gak ada di rumah, mana tahu kondisi yang sebenarnya seperti apa? Bisa-bisa ibu darah tinggi kalau begini!"
"Lha terus mau gimana, Bu? 'Kan gak mungkin dimasukkan ke dalam perut lagi ...." Suamiku itu tersenyum. Ia tahu, bagaimanapun kesalnya aku, rasa sayangku pada mereka jauh melampaui semuanya. Ya, tanpa ditenangkan oleh beliau, entah bagaimana aku menghadapi semua ini.
Otomatis aku ikut tersenyum. Merasa lucu jika mengingat kejadian beberapa jam lalu. Wajah-wajah polos itu langsung bengong dan serempak berlari ke arahku ketika aku terduduk pusing di lantai.
Ah, sejatinya mereka anak-anak yang manis.
Seketika, ada sesuatu yang terasa mengusik hati. Rasa yang sejak lama datang, membuat tidurku kian tak tenang.
"Pak, aku harap anak-anak kita saling menyayangi ketika dewasa nanti. Aku tidak ingin ada yang bermusuhan."
"Aamiiin .... Tentu, Bu. Salah satu yang membahagiakan orangtua 'kan melihat anak-anaknya saling menyayangi."
"Iya, Pak."
Aku menarik napas, coba berdamai dengan rasa bersalah yang kerap membombardir hati.
****
Anak-anak kecil berlarian, saling berteriak satu sama lain dan kejar-mengejar. Dengan gugup, aku melintas sambil berusaha menghindari mereka. Sesekali bersenggolan di gang yang memang sempit itu.
Sekali lagi, aku menelaah sederet tulisan pada secarik kertas yang sudah berkali-kali kuremas. Sebuah alamat yang kudapatkan dari sepupu yang kebetulan rumahnya pun tak jauh dari sini. Google maps hanya bisa mengarahkan hingga mulut gang, selanjutnya aku harus berjalan kaki menyusuri rumah demi rumah.
Aku memerhatikan keadaan sekeliling. Deretan rumah yang berbaris rapat, dengan got keruh pada bagian depannya.
"Bu, tahu rumah Bu Rika?" tanyaku pada ibu-ibu berdaster yang tengah mengayun bayinya di teras rumah.
"Bu Rika yang tinggi kurus, ya? Mamanya Azrin?"
"Eeh ... I-iya ..." Aku gugup, tak tahu apakah memang ia kini kurus dan memiliki anak bernama Azrin.