Apartemen Nomor 29
#CerpenbyMD
Siang yang dingin membeku, aku sukses menjejakkan kaki di Bandar udara Tokyo Narita. Kurapatkan sweter tebal yang membungkus tubuh ini, berjuang menyesuaikan diri dari suhu Jakarta yang terik.
Saat ini bulan Desember. Cuaca di Jepang sedang berada dalam puncak musim dingin.
7 jam berada dalam pesawat terasa amat lama. Sebelumnya, aku menghabiskan banyak waktu di bandara Soetta dengan duduk diam dan mati gaya karena penerbangan yang delay akibat cuaca tak bersahabat. Kondisi tubuh yang lelah, membuatku gontai melangkah menuju pintu keluar setelah checkout. Sebuah taksi berhenti di depanku.
"Bisa antar saya ke Apartement Sakura?" tanyaku pada sopir taksi, dalam bahasa Inggris.
"Sure," ia mengangguk, lalu bergegas turun membuka bagasi dan dengan cekatan membantuku menaruh trolley bag di sana. Satu menit kemudian, taksi melaju meninggalkan Bandara Tokyo, membelah jalanan yang basah dengan bangunan-bangunan tinggi khas perkotaan di kanan kiri, tak beda jauh dengan Jakarta.
Melintasi stasiun Shibuya dengan patung Hachiko yang terkenal, lalu menara Skytree yang memesona. Lengkap dengan lalu lalang manusia mengenakan sweter setebal mungkin. Aku tersenyum membayangkan akan menjelajah tempat-tempat terkenal yang sebelumnya hanya kulihat di televisi.
Sekitar satu jam kemudian, taksi berhenti di depan sebuah apartemen tinggi berdinding bata yang klasik.
"Arigato gozaimasu!" ujarku setelah memberikan ongkos. Taksi berwarna kuning itu pun berlalu, meninggalkanku yang kini tertegun menatap bangunan berlantai 5 yang terlihat cukup bersahabat. Apartemen ini yang paling dekat dengan stasiun Ueno, transportasi paling mudah untuk mencapai kawasan Ginza dengan waktu tempuh sekitar 30 menit untuk sampai di tempat kerjaku.
Berjuang meredam perasaan sedih dan sepi di tengah negeri orang sendirian, aku mencoba mengembangkan senyum selebar mungkin. Bertekad tak boleh terlihat murung, di hadapan dengan orang-orang yang pastinya akan menilaiku untuk kesan pertama. Kakakku bilang, orang-orang di sekitar sini cukup ramah. Meski cenderung individualis, seperti rata-rata orang Jepang pada umumnya.
"Kon'nichiwa," sapaku pada gadis manis berponi yang duduk di belakang meja, tak jauh dari pintu masuk.
"Kon'nichiwa. Ada yang dapat saya bantu?" tanyanya dalam bahasa Jepang. Dengan wajah orientalku, mungkin ia berpikir aku adalah penduduk asli.
"Sumimasen, saya warga negara Indonesia, bolehkah berbahasa Inggris saja?"
Wajahnya terlihat agak terkejut, sebelum menyuguhkan kembali senyum ramahnya.
"Oh, sure!" ujarnya seraya membungkukkan badan. "Ada yang bisa saya bantu?" Kali ini dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah.
"Saya penghuni baru kamar nomor 27, menggantikan kakak saya, Nona Novi, yang enam minggu lalu pulang. Bisakah saya langsung mengisi kamarnya?" tanyaku sambil menyerahkan kartu pengenal.
"Oh, sebentar." Ia memeriksa komputer yang ada di hadapannya.
"Ya, kakak anda telah berpesan pada saya perihal ini. Silakan. Tangganya berada di ujung lorong, dan kamar Nona berada di lantai 3." Ia memberikan kunci dengan nomor kamar tergantung. Aku menerimanya dengan penuh terimakasih. Bayangan tempat tidur dan selimut hangat menari-nari di pelupuk mata.
Berada nun jauh di negeri orang, menggantikan sang kakak untuk bekerja di sebuah perusahaan produksi makanan instan, dengan gaji yang memang sangat sayang untuk ditinggalkan. Kakakku Novi, tak bisa kembali ke sini karena telah menikah satu bulan lalu. Dengan tabungan yang telah ia kumpulkan selama dua tahun bekerja di kota ini, kakakku memutuskan untuk tak perlu lagi khawatir akan persoalan finansial. Wacana membuka usaha sendiri di Jakarta, sepertinya akan segera terealisasi.