NUMPANG
#repost"Pak, sampai kapan keponakanmu itu nebeng di kontrakan kita? Apa gak lebih baik pulang saja ke kampung kalau belum juga dapat kerjaan?" Bu Ratni bicara dengan suara lantang, sengaja agar terdengar hingga ke telinga yang bersangkutan.
Hari itu adalah hari ke-lima ia harus menyiapkan makanan ekstra. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk Rini, keponakan suaminya yang menumpang sementara di rumah minimalis mereka sampai dapat pekerjaan. Padahal daya makan Rini tak begitu besar. Dan Rini sengaja menekan nafsu makannya hingga ke titik terendah. Bu Ratni tak peduli meski Rini mengutarakan niat baiknya untuk mengganti semua kerepotan bibinya setelah nanti dapat pekerjaan.
"Sabarlah sedikit lagi, Bu. Kabarnya Rini ada interview besok di Petamburan. Kalau ia diterima, insyaallah akan ngekos di sana," jawab Pak Asman pelan, iba membayangkan keponakannya yang pasti sedih mendengar kalimat istrinya barusan. Padahal Rini rajin membantu pekerjaan rumah sehingga istrinya itu hampir tak melakukan apapun.
"Ya sudah! Semoga saja kali ini diterima. Sudah 3 kali gagal terus. Kalau yang besok masih gagal juga, mending pulang kampung saja, atau cari suami supaya hidupnya ada yang nanggung! Habis jatah mie instan kita buat keponakanmu, Pak!" Bu Ratni berbalik badan, menghentak langkah satu persatu menuju ruang depan.
******
"Bagaimana, Rin? Kamu diterima?" tanya Pak Asman keesokan sorenya ketika Rini pulang dengan wajah kusam. Dua kali naik Kopaja, dan satu kali naik angkot, membuatnya lelah luar biasa.
"Belum, Mang. Besok dikabarin sama orang HRD-nya."
"Oh, begitu. Ya sudah, semoga kamu diterima ya, Rin ...."
"Iya, Mang ..."
"Kamu makan dulu kalau begitu. Siapkan tenaga untuk mulai bekerja."
"Rini sudah makan di jalan, Mang," jawabnya. Gadis manis berusia 22 tahun yang tak mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA itu tersenyum riang meski agak pucat.
"Oya? Dari mana kamu dapat makanan? Bukannya ongkos yang Mamang berikan tadi sangat pas-pasan?"
"Alhamdulillah ada nasi Padang gratis yang dibagi-bagikan tadi. Rini istirahat dulu ya, Mang ..."
"Ya sudah kalau begitu."
Rini berlalu ke dalam kamarnya. Yang sebenarnya tidak bisa di bilang kamar, tapi gudang yang dibenahi agar sedikit lebih nyaman untuk ditiduri. Bu Ratni menolak keras ketika suaminya mengusulkan agar Rini tidur di ruang depan, pada sofa yang menghadap TV. Ia merasa terganggu jika hendak bersantai ria sementara Rini ada di sana.
Sambil memegangi perutnya yang lapar, Rini menjatuhkan diri ke atas kasur. Uang sisa ongkos sebanyak 2 ribu perak dikeluarkannya dari dalam tas. Perih di perutnya masih bisa ditahan. Tapi dengan 2 ribu ini ia akan mencari gorengan saja ke warung depan. Ia terlalu takut untuk mengambil makanan di dapur.
******
Esok harinya, kabar kurang menggembirakan datang dari kantor tempat Rini melamar pekerjaan. Ia ditolak lagi karena tidak memiliki ijazah atau pengalaman apapun.
"Ya ampun, mau sampai kapan ditolak terus?" keluh Bu Ratni yang kali ini menyatakan keberatannya secara terang-terangan di depan Rini. "Mending kamu kawin aja lah! Daripada nyusahin orang!"
"Bu! Kok gitu ngomongnya?" tegur Pak Asman. Bu Ratni hanya melengos tak acuh.
"Ma ... maaf, Bi. Rini besok pulang ke kampung saja kalau gitu .... Maaf sudah merepotkan Bibi ...." Air mata Rini hampir saja jatuh, hanya saja ia tahan sekuat tenaga.
"Ya, bagus kalau gitu. Bukannya apa-apa .... Tapi rumah ini 'kan kecil sekali. Gak cukup kalau kamu terus di sini." Suara bibinya melunak.
"Iya, Bi. Rini ngerti ...."
Sementara Pak Asman menatap Rini prihatin. Kakaknya, yang adalah bapak dari Rini sudah sering sakit-sakitan. Sementara Rini satu-satunya anak yang menjadi tumpuan. Jangan ditanya perihal kehidupan ekonomi. Mereka bisa dikatakan hidup hanya dari belas kasihan orang. Terkadang Rini menjadi kuli cuci, atau membantu siapapun bagi yang memerlukan tenaga tambahan. Tapi itu pun ia seringnya hanya digaji dengan beras, atau uang yang tak seberapa.
Keesokan paginya ketika matahari baru saja mengintip malu, Rini berangkat ke terminal berbekal ongkos pas-pasan dari pamannya.
"Rini?" Seorang lelaki menyapanya. Lelaki itu berwajah bersih membawa ransel dan berpenampilan rapi.
"Kang Herman?" Rini terkejut bertemu dengan kakak kelasnya sewaktu SD di tempat yang tak terduga seperti ini. Desir halus di dadanya semakin menggemuruh kala Herman menghenyakkan diri di sebelahnya. "Sedang apa di sini, Kang?"
"Saya mau pulang ke kampung, mumpung bisa libur."
Mereka bercakap sepanjang perjalanan. Tentang kehidupan masing-masing, dan tentang perasaan di masa lalu yang masih terpendam hingga sekarang ....
*****
5 tahun kemudian ....
"Assalamualaikum ..." Seseorang mengetuk pintu rumah disertai salam. Rini yang sedang duduk menonton televisi di ruang depan, bergegas ke arah depan.
"Waalaikumsalam ... Mamang? Bibi?" Ia terkejut luar biasa. Sebuah tas koper besar yang diletakkan di lantai menambah keheranannya. Di depannya, Bu Ratni tersenyum canggung sekaligus malu.
"Masuk, Bi ...Mang ..." Rini mempersilakan. Paman dan bibinya mengikuti, masuk ke dalam ruang tamu yang lumayan besar dan tertata sangat rapi. Mereka duduk di sebuah sofa besar nan empuk, dengan kue-kue cantik berjejer di atas meja. Lemari pajangan menghiasi sudut ruangan, menguatkan kesan mewah pada rumah ini.
"Apa kabar, Mang?" tanya Rini senang sekaligus cemas. Sang paman hanya tersenyum getir sebelum meminta izin tinggal sementara di rumah Rini karena biaya kontrakan yang menunggak 3 bulan membuat mereka terusir dari sana.
"Boleh sekali, Mang, Bi. Anggap saja ini ruma Mamang dan Bibi. Mamang dan Bibi adalah orang yang menampungku sewaktu aku datang ke kota ini. Hingga akhirnya aku bertemu jodohku pada perjalanan pulang kampung .... Ingat 'kan? Waktu itu Bibi mendoakanku agar menikah saja? Alhamdulillah doa bibi terkabul. Aku bertemu Kang Herman di jalan," ucap Rini penuh rasa terimakasih.
Bu Ratni terus berlinang air mata. Penyesalan mengoyak batinnya. Inikah balasan Tuhan untuk hamba-hambanya?
-TAMAT-