80 - Day One

756 92 3
                                    

"Pagi-pagi kau sudah tidak ada di kamar. Ke mana saja?"

Suara Alby membuatku kaget. Aku tidak melihatnya tadi, mungkin baru keluar dari kamar mandi di saat yang sama aku berbalik menutup pintu.

"Ke dapur karena haus dan mengobrol dengan Jeff sebentar."

"Aku bangun tadi kau sudah tidak ada, lalu kembali setelah aku selesai mandi. Menurutmu itu sebentar?"

Dia itu sedang cemburu atau apa?

Kamar ini memang jauh lebih hangat dari ruangan lain--mungkin efek dari perapian yang tampaknya ditambah kayu bakar lagi oleh Alby, aku sampai lekas-lekas melepas mantel dan menggantungnya ke tiang gantung. Setelahnya aku mulai membuka koper dan ingin merapikan bajuku, tetapi sekarang isinya sudah kosong. Aku ingat saat mengeluarkan piyama dan mantel tadi malam, isinya masih penuh. Dan aku juga belum memindahkannya ke lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang lancang membongkar koperku selain Alby, dan itu valid.

Tatapanku tertuju padanya sekarang. Dia sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk di depan cermin. Aku tidak mengerti bagaimana konsepnya memakai jubah mandi karena bagian atasnya tidak terpasang dan jubah sepanjang lutut itu menggantung dari pinggang. Bagian lengannya dibiarkan menjuntai menyapu lantai saat berjalan. Dan aku memaksa otak agar tidak memikirkan apa yang dia kenakan di balik jubah itu. Apalagi tato di punggungnya itu membuatku sulit untuk bisa fokus.

"Apa kau memindahkan isi koperku?" Aku menatapnya dengan mata menyipit melalui cermin dan dia membalasnya.

"Kau tidur terlalu nyenyak. Aku sampai tidak tega membangunkanmu untuk makan malam. Dan ketika aku sedang memindahkan isi koper, aku sekalian merapikan milikmu. Aku berencana membantumu kalau sedang merapikannya, tapi aku tahu kau akan menolak. Punyamu ada di pintu paling kanan." Alby menunjuk lemari tiga pintu di sisi kananku.

Bahkan untuk hal sekecil itu, Alby memikirkannya. Seperti inikah rasanya menjadi sebenar-benarnya kekasih Alby? Perhatian-perhatian kecil seperti itu sukses membuatku tersipu. Suhu ruangan ini tiba-tiba terasa naik sampai harus mengipasi wajahku sendiri. Namun, di samping kebaikannya, aku tetap tidak bisa terima dia sudah membongkar koperku.

"Aku tidak memintamu melakukannya." Aku melangkah lebar-lebar mendatangi lemari untuk memastikan hasil pekerjaannya.

Oh, semua yang kukemas dalam koper ada di sana, lengkap sampai dompet alat rias dan produk perawatan diri. Dia melakukannya dengan baik persis seperti ketika aku yang menatanya. Celana, atasan, mantel, baju setelan, ditata menjadi masing-masing satu tumpukan. Semuanya dilipat sangat rapi, termasuk pakaian dalamku. Menyadari bahwa dia menyentuh bra dan celana dalam milikku membuat wajahku panas, mungkin sudah merah padam.

Alby mendekat dan berhenti tepat di belakangku. "Barangku lebih banyak, tapi menata punyamu membutuhkan waktu lebih lama. Aku pernah memeriksa lemari di kamarmu dan begitulah caramu menyusunnya. Kuharap aku tidak melakukan kesalahan. Kau sangat teliti untuk urusan menata lemari."

Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Aku ingin sekali marah karena dia sudah lancang, tetapi dia terlalu berdedikasi untuk seseorang yang bermaksud membantu, sampai-sampai rasanya akan sangat keterlaluan kalau aku marah-marah padahal sudah dibantu.

"Yah ... kau melakukannya dengan sempurna." Aku berbalik pelan-pelan menghadapnya, sebelum akhirnya melayangkan kepalan tanganku ke perutnya yang padat-dan aku tidak yakin kalau dia menyimpan lemak di sana. "Tapi aku tidak tahan ketika kau menyentuh pakaian dalamku."

Jeritan kesakitan Alby cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih baik. "Apa kau pernah belajar tinju sebelumnya?" Dia masih meringis dan membungkuk sambil menekan-nekan perutnya. Dia berakting terlalu berlebihan, padahal aku yakin tinjuku tidak semenyakitkan itu.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang