59.Memberi Ruang

1.3K 106 4
                                    

Malam ini hujan tiba-tiba turun dengan deras tanpa tanda mendung terlebih dahulu. Rintikan terdengar jelas dari dalam kamar Sila yang terdengar sunyi hampir tidak bersuara dan hanya terdengar dentuman jarum jam.

Entah sudah berapa lama gadis itu merenung di atas meja belajarnya, memandangi buku kimia yang tidak niat ia baca. Pikirannya terus saja berputar pada kejadian dimana ia melihat Darma berubah menjadi sosok ketua geng yang menyeramkan. Ketika ia melihat Darma dengan jaket geng motornya itu, Sila seperti melihat orang lain dalam diri Darma.

Hembusan napas Sila keluarkan dengan begitu panjang. Ia melihat jam sudah pukul 23:00 dan ia juga baru sadar jika diluar tengah hujan. Sila menatap kearah balkon yang gordennya masih terbuka. Sila beranjak hendak menutup gorden pintu balkon lalu tidur. Tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Darma berdiri di depan gerbang dalam keadaan basah kuyup.

Sila mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan jika ia tidak salah lihat. Namun sosok itu tetap tidak hilang dan masih nyata. Ya, Darma benar-benar berdiri di bawah derasnya hujan menatap kearah kamar Sila.

"Dia ngapain?"

Tak mau berpikir lama akhirnya Sila memutuskan untuk turun menghampiri Darma. Ia mengambil payung di belakang pintu dan bergegas membukakan gerbang untuk Darma.

"Kamu ngapain disini?" tanya Sila bersaut-sautan dengan suara hujan. Lelaki itu tidak bergeming. Ia masih berdiri memandangi wajah Sila.

"Aku cuma memastikan kamu pulang dengan selamat."

"Aku baik-baik aja." Sila menyerahkan satu payung yang di bawanya untuk Darma.

"Aku tau." Darma menolak payung yang di sodorkan oleh Sila dan membiarkan dirinya tetap di guyur hujan. Toh ia juga sudah basah kuyup lalu apa gunanya payung itu.

"Pakai ini biar gak kehujanan," suruh Sila kembali menyodorkan payungnya tidak tega melihat lelaki itu basah kuyup.

"Emang kalau aku pakai payung itu bisa buat baju aku kering?"

"Ck! Keras kepala banget sih. Kamu tau kan ini lagi hujan?!"

"Satpam depan komplek kamu juga tau kalau ini lagi hujan," jawab Darma santai membuat Sila mengeram kesal.

"Apaan sih nggak jelas! Kalau gak mau pakai payung ayo masuk!" Ajak Sila namun Darma menggelengkan kepalanya menolak.

"Aku kesini cuma mau memastikan kamu benar-benar pulang ke rumah. Aku takut di jalan kamu salah jalan dan menghilang."

Sila melihat tatapan Darma yang berbeda dari sebelumnya. Tatapan tajam cowok itu sama sekali tidak terlihat di matanya. Hanya ada tatapan sayu dan begitu dalam saat menatapnya.

"Kamu pikir aku anak kecil yang bakal lupa sama jalan pulang ke rumah sendiri!" sewot Sila. Darma hanya terkekeh pelan, sangat pelan dan mungkin hanya dirinya yang mendengar.

"Masuk gih disini udaranya dingin, nanti kamu bisa flu," suruh Darma perhatian.

"Harusnya kamu khawatirkan diri kamu sendiri sekarang. Lagian kayak anak kecil main hujan-hujanan!"

"Aku gak main hujan-hujanan. Aku cuma mau memastikan kamu baik-baik aja."

"Sudah aku bilang aku baik-baik aja. Kamu bisa telpon aku tanpa harus kesini hujan-hujanan. Memangnya kamu mau terlihat seperti pacar yang baik?" cerocos Sila kesal.

"Hm, saat tadi kamu pulang aku melihat kamu seperti marah. Jadi aku memutuskan untuk mendatangi kamu aja," ucap Darma sangat tenang. Sedangkan Sila, gadis itu merasakan jantungnya berdetak lebih keras.

"Y--ya aku memang marah! Kecewa! Kesal sama kamu!"

"Terus kenapa mau turun temuin aku? Padahal aku gak minta dan nyuruh."

Skakmat. Sila tidak bisa menjawab ucapan Darma yang satu ini. Iya juga, ya, kenapa Sila turun begitu saja menghampiri Darma setelah melihat cowok itu hujan-hujanan di depan rumahnya.

"Ya... karena kalau aku gak turun kamu bakal tetap di sini sampai besok!" jawabnya asal.

"Kata siapa?"

Sila merutuki ucapannya yang asal keluar begitu saja. Ia lupa untuk apa Darma berdiri di depan rumahnya semalaman hanya karena Sila tidak mau menemui cowok itu. Ingat Sila, kamu tidak se spesial itu.

"Kata aku lah!" ucap Sila dengan sangat percaya diri.

"Sudahlah, sana masuk aku mau pulang."

"Eh, tunggu!" Tanpa sadar Sila menahan tangan Darma. Ia melangkah lebih dekat berdiri dalam satu payung.

"Tapi ini masih hujan."

Darma mengangkat alisnya sebelah.

"Terus?"

"Gak mau neduh dulu? Nanti kamu sakit," ujar Sila membuat Darma terkikik.

"Neduh apaan? Aku udah basah kuyup gini baru di ajak neduh."

"Ya, aku cuma takut kamu sakit," ujar Sila malu. Ia menundukkan pandangannya ke bawah.

Darma tertawa kecil bahkan terdengar jelas di telinga Sila. Sila mendongak menatap Darma tidak mengerti. Kenapa dia tertawa? Memang ada yang lucu dari ucapannya?

"Kok ketawa?"

"Aku gak akan sakit perkara hujan doang. Udah sana masuk jangan dekat-dekat aku nanti kamu ikutan basah." Darma mendorong Sila agar tidak terlalu dekat dengannya dan membuat Sila ikutan basah.

"Sana masuk aku mau pulang," suruh Darma lagi namun Sila enggan untuk menurut.

"Beneran mau pulang sekarang? Tapi kan lagi hujan." Sila masih khawatir dengan Darma yang mau mengendarai motornya di bawah hujan.

"Hujan doang Sila bukan tsunami."

Sila berdecak sebal.

"Ck, yaudah! Kalau sampai sakit aku gak mau jengukin kamu!" Sila berbalik badan hendak masuk ke dalam rumah. Namun baru beberapa langkah ia berhenti karena panggilan Darma.

"Sila!" Sila berbalik kembali menatap Darma.

"Apa lagi? Katanya mau pulang."

"Kamu boleh marah sama aku, boleh kecewa sama aku, boleh menghindari aku. Tapi jangan lama-lama ya? Nanti kalau udah gak marah kasih tau aku."

"Kamu mau aku menghindari kamu?" tanya Sila. Darma menggelengkan kepalanya cepat.

"Aku hanya memberimu ruang untuk meredam segala kekesalan dan kekecewaan kamu ke aku karena aku gak mau berhenti jadi ketua geng motor."

"Jadi kamu gak akan pernah mau berhenti?"

"Iya."

"Masih mau balas dendam?"

"Harus."

"Sepenting itu balas dendam kamu?"

"Iya."

DARMASILA (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang