13. Aku Kira Kamu Mau Nembak

8.6K 1.6K 72
                                    

Note: Spoiler sudah terbit di KaryaKarsa, ya? 😳❤❤❤❤❤❤

Terima kasih Evelyn tidak memukul pantatku dengan sapu lidi. Yah dia terlalu tenggelam dalam diskusi perihal Deon Flaus dengan Samuel sih. Entah tabiat, entah cara Deon memperlakukan orang lain, dan sebagainya. Hahaha pokoknya Evelyn benar-benar berapi-api mencentang setiap kolom buruk milik Deon. Yeiy! Dia memang ibu terbaik. Semoga saja dia tidak ada rencana menggedor-gedor pintu kediaman Flaus sembari berteriak, "Sini, keluar! Berani-beraninya mengganggu putriku yang cantik jelita tiada tara!" Ups, maaf. Yang terakhir itu, aha, memang berlebihan.

Oh ya, terkait rencana mengejar Dimitri sampai sukses. Hmmm terkendala kegiatan drama dan kesibukan menyambut ulang tahun sekolah. Aku sih tidak hanya perlu pura-pura jadi pohon. Iya, aku memang jadi pohon. Hanya perlu memakai hiasan kepala dari kardus yang telah dimodifikasi tim kreatif dan mengenakan perlengkapan pendukung. Tidak ada dialog. Tidak perlu latihan vokal. Bebas.

Adapun aku perlu mendengarkan arahan sutradara dan segenap rakyat-eh, maksudku panitia drama. Adegannya pun tidak banyak. Latihan di lakukan pada jam istirahat pertama. Padahal aku ingin lekas merayu Dimitri, tapi batal. Batal, saudara-saudara.

"Dimitri, kamu ngambek, ya?" tanyaku sok iya.

Pada jam istirahat kedua, segera saja aku tancap gas mendekati Dimitri. Dia sedang merapikan peralatan tulis. "Ngambek?" Alih-alih menampilkan ekspresi sinis, si Dimitri ini, si Mr. Villain justru memamerkan senyum seksi dengan salah satu alis terangkat. "Kenapa?"

"Kok kenapa?" Aku mengusir cowok yang duduk di depan meja Dimitri. Dia, si cowok itu, hanya menggelengkan kepala, pasrah, dan menyerahkan kursinya kepadaku. "Aku, kan, jarang menemanimu. Pasti ada sedikit rasa kangen."

Oh selamat tinggal reputasi.

Ini semua demi masa depan yang cerah.

Aku pun bertopang dagu, siap memperhatikan wajah Dimitri sepuasnya. Sesekali terdengar deham dan batuk buatan dari Jessica (tentu saja aku abaikan). "Bilang 'Rere, aku rindu.' Gitu."

"Otakmu ini." Dimitri meletakkan telunjuknya ke keningku dan menekannya, tidak sampai mendorong kepalaku sampai terlihat seperti ditoyor-toyor. Hmm kalau sampai begitu akan kugigit tangannya. Waar waar grrrr! "Imajinatif sekali."

"Eheeee gitu, ya?" Sekali lagi, cengiran lucu menghiasi wajahku. "Kalau kamu yang ngomong imajinatif sih rasanya terdengar romantis. Oh tunggu, aku lupa!" Sejenak aku meninggalkan meja Dimitri, lekas merogoh kotak bekal dari ranselku (selama proses ini aku mendapat pelototan Jessica yang seolah berkata, "Re, sadar!" Hahaha abaikan saja), dan kembali duduk di dekat Dimitri. "Donat cokelat dan roti gulung isi sosis. Coba deh, aku bikinnya dengan cinta."

Makin nyaring suara batuk Jessica. Sekali lagi, abaikan saja. Dia hanya takut aku menyinggung Dimitri. Padahal teman-teman sekelas ... oh oke, mereka sepertinya ingin menarikku menjauh dari Dimitri. Berani taruhan mereka tidak sungkan mengikatku di kursi dan menjejaliku dengan ceramah.

Selama beberapa saat Dimitri memperhatikan kotak bekal yang ada di meja. Barangkali dia tengah berkontemplasi mengenai waktu yang tepat melamarku. Aduh, jadi malu. Kalau bisa sih secepatnya saja agar namaku jadi Renata Axton, bukan Renata Bloom.

"Re, kita perlu bicara."

"Di sini?" Kedua mataku berbinar-binar. "Sekarang?"

"Bukan," jawab Dimitri. "Kita perlu bicara di tempat lain."

Meski suasana hati Dimitri sepertinya tidak bagus, dia tetap menerima kotak bekal dariku. Kotak tersebut langsung ia masukkan ke dalam ransel.

Aku sempat menduga dia akan menyeretku agar lekas mengikutinya. Ternyata dia hanya berdiri dan menyuruhku lekas ikut.

"Re, jangan," Jessica memperingatkan.

"Semua baik-baik saja," kataku mencoba menenangkan Jessica. "Tunggu, oke?"

Pandangan Jessica persis anak anjing yang akan dicampakkan pemiliknya, susah payah aku mengabaikan tatapan teman-teman dan memilih mengikuti Dimitri Axton. Dia mengarahkanku melewati koridor utama dan langsung menuju area taman. Kami duduk di salah satu bangku yang berada persis di dekat kolam ikan. Semoga saja Dimitri tidak ada rencana menceburkanku ke kolam. Enggak lucu juga dong.

"Renata, apa yang sedang kamu incar dariku?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling. Tepat sasaran. JLEB. "Lebih baik jujur saja."

Sial. Kenapa Dimitri setajam ini sih?

"Aku ingin dekat denganmu," jawabku setengah jujur, setengah kebohongan.

Dimitri Axton. Karakter antagonis yang diciptakan untuk menguatkan gejolak asmara antara Diana Bloom dengan Rafael Verday. Berbeda dengan Rafael, Dimitri memiliki segalanya; kekayaan, orangtua, dan sahabat. Dia terlahir dalam kesempurnaan yang bisa membuat siapa pun iri. Aku hanya mengenal dirinya sebatas deskripsi dari novel, tidak lebih.

Kali ini Dimitri menatapku. "Apa pentingnya dekat denganku, Renata Bloom? Sedari awal kamu nggak tertarik memperbaiki nilai pelajaran mana pun. Bicara mengenai memperbaiki nilai, bukankah bersama Jessica jauh lebih nyaman daripada denganku?"

Dimitri dan radar miliknya ... hmmm memang bukan kaleng-kaleng.

"Penting," ucapku berapi-api. "Kamu itu penting bagiku." Tanpa Dimitri, maka Rafael akan menenggelamkan bisnisku. Dimitri bisa menjadi tameng dan menjauhkanku dari kematian.

"Sepenting apa?"

"Segalanya," jawabku, tegas. "Tanpa kamu masa depanku akan lenyap. Aku butuh kamu, Dimitri."

Aku tidak bisa menjelaskan mengenai keberadaan Rafael Verday. Lagi pula, aku yakin orang akan melabeliku dengan gila andai tahu bahwa mereka ternyata bagian dari cerita romansa erotis berdarah. Selain itu, aku ingin mengakhiri tugas Dimitri sebagai lelaki cadangan. Dia tidak harus menolong Diana Bloom. Tidak harus.

"Kamu aneh, Re."

"Bukan aneh," aku mengoreksi, "melainkan menawan dan gagah berani."

Sekali lagi aku mencoba menampilkan ekspresi imut dengan cara meletakkan kedua tangan di depan dan meniru kucing.

Dimitri terkekeh. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya. "Re, kamu tahu alasan anak-anak menjauhiku?"

"Karena kamu terlalu tampan?"

Ibu jari Dimitri mengusap punggung tanganku. "Karena masa laluku," katanya mencoba menjelaskan. "Dulu sewaktu duduk di bangku SMP, aku pernah terlibat perkelahian dengan kelompok anak nakal. Anggap saja itu bagian dari masa laluku yang pedih. Dulu aku nggak seperti ini. Mereka suka mengganggu dan aku melawan. Perkelahian, tonjokkan, dan ada salah satu dari mereka yang mengalami patah tulang."

"Oh Dimitri, pasti nggak enak banget dikeroyok gorila."

"Salah satu orangtua mereka anggota dewan di pemerintah," kata Dimitri, pahit. "Sekalipun nggak bisa menuntutku, tetapi mereka bisa membayar wartawan untuk menyebarkan berita mengenai diriku ke publik. Begitulah, cap buruk melekat di keningku."

Hatikuuuuuu! Tega sekali orang itu!

Memang yang paling benar Dimitri itu jadi suamiku, bukan lelaki cadangan pemuas nafsu milik Diana Bloom!

"Jessica tidak tahu saja," aku menjelaskan. "Dia baik kok. Kesalahpahaman semacam ini bisa dijelaskan dan aku yakin ketika teman-teman melihat persahabatan kita ... hmm Dimitri, jadi pacarku dong. Kan sekalian menjelaskan-aduh! Kenapa kamu cubit pipiku? Dasar Dimitri jelek! Jelek!"

"Oooh gitu?" Dimitri mulai memamerkan senyum mematikan yang berhasil membuat jantungku jumpalitan. "Katanya pengin jadi pacar?"

"Pipiku! Pipiku!" Aku menepuk-nepuk pelan tangan Dimitri, kemudian dia pun bersedia melepaskanku. "Jelek! Dimitri jelek!"

Kemudian aku kabur ketika dia mengejarku dan bermaksud mencubit pipi.

Dih nggak bisa, ya! Nggak bisa!

Selesai ditulis pada 29 Agustus 2022.

Halo, teman-teman. Semoga bab kali ini cukup memuaskan, ya?

Salam hangat,

G.C

P.S: I love you, teman-teman.

VILLAIN'S LOVER (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang