Zain duduk sendirian di meja makan. Di hadapannya telah terhidang teh hangat yang menguarkan harum melati. Zain meminumnya beberapa teguk. Rasa hangat menjalari kerongkongannya lalu turun hingga ke dada. Nikmat sekali.
“Ini sarapannya, Mas.” Amelia meletakkan sepiring mie goreng di hadapan Zain. Zain mengangkat wajah dan menatap Amelia. Gadis itu terlihat begitu manis dalam balutan jilbab berwarna peach.
“Makasih, ya.” Zain tersenyum. Amelia membalasnya dengan anggukan.
“Saya pamit ke kampus, Mas.”
“Masih ada kuliah?” Zain yang sudah akan menyendok mie gorengnya kembali mengangkat wajah dan menatap Amelia.
“Tinggal skripsi, Mas. Pagi ini ada janji dengan dosen pembimbing.”
“Oh, sama dengan Inara berarti, ya. Sama-sama sudah skrispsi.”
“Iya, Mas.”
“Oke, hati-hati, ya.”
“Makasih, Mas.”
Amelia pun berlalu dari hadapan Zain. Sebelum meninggalkan rumah, gadis itu pamit kepada emaknya, Bi Jum.
Sementara Zain menikmati sarapannya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sudah hampir tiga minggu ia dan Inara menikah, tetapi, belum pernah sekalipun mereka duduk bersama di meja makan. Inara baru akan turun jika Zain telah berangkat ke kantor. Begitu juga ketika makan malam, dia baru akan makan jika Zain telah selesai makan. Dan yang lebih sering, Inara baru pulang ke rumah setelah Zain masuk ke kamar tidur.
Malam ini, Zain benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Setelah selesai makan, Zain duduk di ruang tamu. Ia ingin menunggu Inara pulang.
Sampai azan isya berkumandang, Inara belum juga pulang. Zain bangkit dan melangkah menuju kamarnya untuk melaksanakan shalat isya.
Begitu mengucapkan salam, Zain mendengar suara pintu kamar di sebelahnya dibuka. Zain menarik napas dalam berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. zain melanjutkan ibadah shalat isyanya denga zikir dan doa. Selesai dengan ibadahnya, laki-laki itu pun bangkit dan ke luar kamar. ia mengetuk pintu kamar Inara sebelum membuka gagang pintu.
Matanya langsung menangkap sosok Inara yang sedang membuka pakaiannya. Kini perempuan itu hanya memakai tang top berwarna hitam. Kulitnya yang putih snagat kontras dengan warna pakaian yang membalut tubuhnya yang sudah mulai terlihat berisi. Terutama di bagian perut.
“Aku mau bicara.” Zain masuk tanpa melihat ke arah Inara. Meski mereka telah sah menjadi suami istri, Zain masih merasa canggung berduaan seperti ini di dalam kamar. Apalagi dengan kondisi Inara yang berpakaian seminim itu.
“Ada apa?” Inara melirik pada Zain dengan perasaan tidak suka.
“Kamu tahu, setiap rumah dan setiap keluarga punya aturan sendiri untuk masing-masing anggotanya. Begitu juga rumah ini dan kita.”
“Aku bukan anak kecil yang bisa diatur-atur. Sejak awal aku sudah katakan, jika kita punya kehidupan masing-masing. Lagian aku keluar juga ke kampus. Buaknnya ke mana-mana.” Inara membalas tatapan Zain dengan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta Inara
FanfictionKarena kesalahan yang dilakukannya, Inara harus menikah dengan Zain, laki-laki pilihan papanya. Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena mereka sama-sama menyerah. Inara yang masih dengan sikap bebasnya, dan Zain yang merasa gagal mendid...