Inara 6

409 57 6
                                    

Hari Minggu pagi, Zain sudah terlihat rapi dengan celana jeans warna biru tua dan kaos oblong warna putih. Zain berdiri di depan pintu kamar Inara. Setelah berpikir beberapa detik, ia pun mengetuk pintu di depannya.

Sampai beberapa kali ketukan, tidak juga ada jawaban. Zain pun memutar gagang pintu. Matanya langsung menyipit begitu disambut oleh ruangan kamar yang gelap. Zain meraba-raba kontak lampu di samping pintu. Begitu menemukannya, laki-laki itu menekannya dan seketika ruangan kamar menjadi terang benderang. Mata Zain langsung menangkap sosok Inara yang masih bergelung di bawah selimut. Zain mendekat.

"Nara! Bangun! Papa dan Mama hari ini mau ke sini. Aku juga mau jemput kedua orang tua aku, biar hari ini pada ngumpul di sini." Zain menarik selimut Inara hingga terbuka hinggake perut. Inara membuka mata dan mengucek-nguceknya.

"Apaan sih?! Ganggu orang tidur aja." Inara menarik selimutnya kembali hingga menutup sampai ke lehernya. Lalu perempuan itu memutar tubuhnya hingga membelakangi Zain.

"Nara, tolonglah. Untuk sekali ini saja. Tolong sambut kedatangan mereka, tolong bersikap baik di hadapan mereka."

Inara menyingkirkan selimutnya dan duduk dengan kasar. Matanya menatap Zain dengan nyalang.

"Aku tidak biasa berpura-pura. Lagian mereka juga tahu, pernikahan kita seperti apa." Suara Inara terdengar begitu sinis.

Zain mengepalkan tangan menahan gejolak di dada. Bicara baik-baik pun tidak da artinya bagi perempuan di hadapannya ini.

"Mengapa hatimu begitu keras dan angkuh Inara?" Zain mendesis.

"Dari awal harusnya kamu paham aku perempuan seperti apa. Dan kalau kamu merasa tidak akan bisa menerima sifat dan sikapku, kamu harusnya menolak pernikahan ini." Inara menatap Zain dengan tatapan mengejek.

"Baiklah. Tetapi, bisakah aku meminta kamu di rumah aja hari ini?" Zain masih mencoba menyampaikan permohonan pada Inara.

"Aku ada acara. Kamu aja yang menemani mereka. toh kamu yang menginginkan mereka datang ke rumah ini." Inara turun dari ranjang dan melangkah santai menuju kamar mandi. Zain menarik napas panjang. Dengan langkah gontai laki-laki itu melangkah meninggalkan kamar Inara.

Ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya nanti kepada kedua orang tua, adik dan mertuanya. Sementara ia tidak mungkin tidak menjemput mereka semua karena telah terlanjur berjanji akan membawa mereka main ke sini.

Zain sampai di meja ruang makan dengan wajah yang masih galau. Di dapur sudah ada Bi Jum dan Amelia. Keduanya terlihat sibuk menyiapkan sarapan dan menu untuk makan siang.

"Mas Zain mau sarapan sekarang?" Bi Jum langsung menyapa begitu melihat Zain menarik kursi.

"Boleh, Bi." Zain mengangguk.

"Baik, Mas."

Bi Jum menata bihun goreng di atas piring, melengkapinya dengan telur mata sapi, timun dan tomat. Sementara Amelia menyiapkan teh hangat. Tidak berapa lama sarapan dan teh hangat telah terhidang di hadapan Zain.

"Silakan, Mas."

"Makasih, Bi."

"Kira-kira jam berapa orang tua mas Zain datang?"

Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang