Bagian - 3

1K 132 3
                                    

Esti segera masuk ke dalam apartemennya saat pintu terkuak. Melinda melotot tajam melihat tingkah asisten pribadinya yang grusa-grusu. "Gawat, Mbak! Aku diikutin sama orang suruhannya Mas Mehdi!" Lapor perempuan itu begitu sudah berhasil masuk dan pintu tertutup.

Respon Melinda langsung berlebihan saat mendengar nama mantan suami sirinya disebut. "Kamu bilang landing dari siang kenapa sekarang baru sampai? Ini jam berapa Esti, hampir tengah malem!"

"Perjuangan kali sampai sini, Mbak. Jangan marah-marah gitu dong."

Melinda berusaha untuk tenang. "Gimana kamu bisa tahu diikuti sama orangnya Mehdi? Terus kamu berhasil kabur?"

"Sensor kewaspadaan di otak aku ini udah di tingkat akut, Mbak. Tadi aku sengaja sembunyi di musala sekalian salat. Kalau aku tetap maksain lanjut jalan, bisa ketahuan apartemen ini."

"Ya, jangan! Bagus kamu sembunyi. Good job!"

"Selalu good job aku mah! Bentar, kita bicarain nanti, aku butuh asupan energi setelah banyak yang terkuras." Perempuan itu melesat ke arah dapur. "Wah, ada spaghetti! Masih anget pula! Pas banget deh lagi laper!" Dengan tidak tahu diri perempuan yang menjadi asisten pribadinya kurang lebih enam tahun lamanya itu menyantap lahap hidangan yang baru saja Melinda sajikan di atas piring. Berencana akan ia makan setelah menidurkan Kiara yang susah terlelap karena belum terbiasa di tempat baru.

"Spaghetti bikinan Madam Melinda emang paling juara! Gila, enak banget. Mana perut lagi laper, disuguhi makanan orang bule. Untung lidah jawaku sudah transmigrasi kemana-mana, jadi mau makan apa aja masuk. Tapi jujurly masakan Mbak Mel emang selalu juara. Boleh sekali-kali kita bikin konten memasak, biar nggak cuma yoga yang bikin mata penontonnya kesenengan." Esti tidak berhenti nyerocos.

"Sekarang komentar netizen yang pada julid tiap Mbak Mel posting foto seksi aku biarin gitu aja. Lama-lama capek juga hapus-hapusin terus."

Waktu terjun di dunia model, nama Melinda mulai di kenal. Pemberitahuan di akun media sosialnya berangsur ramai dengan banyaknya pengikut. Terlebih saat Melinda menambahkan profesinya sebagai presenter entertainment dan masuk dunia showbiz, tak jarang perempuan ayu ini mendapatkan pujian serta caci maki karena mempertontonkan fotonya yang hanya mengenakan bikini di feed Instagram. "Dari dulu kan aku sudah bilang biarin aja, nggak perlu kamu hapus. Tapi kamu tetap aja ngeyel."

"Habisnya aku kesel banget kalau si neti goblok itu sudah bawa-bawa agama. Dasar netizen pada munafik, coba saja mereka punya badan bagus, mulus, seksi kayak Bos aing, ya pastinya dipamerin lah. Sudah yang suka komen hate itu ibu-ibu berjilbab. Aku katain balik aja alasan dia pakai penutup kepala karena dia jarang keramas. Badannya sering ditutupin buat sembunyiin bagian yang burik."

"Kecilin suaramu, Esti! Kiara baru saja tidur!"

"Loh, Kiara ada di sini? Aku mau lihat!" Esti langsung meletakkan sendoknya dan bergerak lincah seperti monkey, tiba-tiba saja sekarang dia sudah mengendap-endap di dalam kamar Melinda. "Kiara cantik banget, ya ampuuuun. Kulitnya mulus dan pipinya gembul. God, pengin cubit akuuuu. Mirip banget sama Mbak Mel."

"Yaiyalah, bisa gawat kalau dia mirip kamu. Yuk, keluar, Es! Nanti dia keganggu."

Tangan dan mulut Esti kembali bekerja sama untuk menghabiskan isi piring. "Gimana ceritanya, Mbak? Ketemu sama mantan terindah yang sering bikin Mbak Mel menggalau dan nangis semalam suntuk."

Melinda mengambil puding di dalam kulkas. Nafsu makannya sudah raib, tapi perutnya yang belum diisi dari tadi siang tidak bisa diabaikan. "Sudah punya tunangan. Bahkan Kiara saja menganggil calon istri Papanya dengan sebutan Mama."

Tampaknya informasi barusan membuat Esti kaget. Perempuan yang sudah bertahun-tahun mengurus keperluan Melinda mulai dari hal terkecil hingga ke urusan paling krusial nyaris mengeluarkan bola matanya. Melinda tersenyum kecut, jangankan Esti, dia saja masih tidak menyangka dengan yang dialami tadi siang.

"Serius?! Terus Kiara manggil Mbak Mel apa dong kalau calon Mamanya saja dipanggil Mama? Nggak masuk akal deh."

"Bunda. Itu yang Papanya berikan. Aku nggak bisa protes dong, Es. Sudah dibolehin ketemu Kiara aja aku harusnya bersyukur. Tapi aku juga cuma manusia biasa, sebenarnya nyesek dan nggak terima banget aku."

"Bentar deh, Mbak. Duh, kan, aku ikutan pusing." Esti berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring kotornya. "Mbak Mel nggak coba ngomong pelan-pelan gitu ke Papanya Kiara. Kesannya di sini kok jadi Mbak yang Ibu sambung. Padahal dulu waktu masih bayinya Kiara aja sudah dibiasain manggil Mama kan?"

Melinda terkekeh sumbang. "Banyak yang sudah berubah dalam tujuh tahun ini, Es. Bukan salah mereka sih. Memang akunya yang pergi terlalu lama ninggalin kewajiban sebagai seorang Ibu."

"Mbak Mel ...."

"Nggak cukup sampai di situ, Es. Kiara disekolahin di tempat yang ngajarin ilmu agamanya kental banget. Tadi pas waktunya mau tidur bahkan nggak mau lepas jilbab kalau nggak aku paksa, dan Papanya sudah ngewanti-wanti aku untuk berpakaian tertutup saat sedang bersama anakku sendiri. Masuk akal sih alasannya, supaya Kiara nggak bingung. Di sini, selain disingkirkan sebagai seorang Ibu, aku juga nggak diizinin protes atas hakku."

"Ya ampun, Mbak. Keluar dari kandang buaya seperti Mas Mehdi sekarang malah mendatangi gerombolan singa. Terus reaksi Kiara tadi gimana? Pas pertama ketemu."

Melinda menyodorkan puding yang tinggal sisa separuh ke perempuan di depannya. "Kamu habisin gih!"

"Pasti nggak nafsu makan deh Bos aing kalau lagi galau gini!" Esti langsung menyambar hidangan penutup itu dengan sekali sendok habis. "Puding enak kayak gini bisa jadi pahit kalau yang mengkonsumsi lagi remuk jiwa raga."

"Perempuan itu, calon Mama sambungnya yang sudah berhasil ngebujuk Kiara buat ketemu aku." Kembali Melinda melanjutkan sesi curhatnya. Bersama Esti, tak ada lagi rahasia yang ingin ditutupi.

"What the fuck! Serius, Mbak? Sudah sedekat itu? Wah!"

Tadi sebelum tidur Kiara bercerita banyak tentang neneknya, kedua orang tua Melinda. Meski sempat bersitegang, namun hubungannya kini sudah kembali membaik. Hampir setiap hari Melinda mengontak Ibunya, sekedar menanyakan kabar dan aktivitasnya hari ini. Berbeda dengan sang Ayah yang diktator dan selalu memaksakan kehendak, itu dulu, tapi sakit hati Melinda belum juga sembuh meski sudah sejuta kali ayahnya meminta maaf dan memaksanya pulang.

"Mbak Mel sempat ngobrol apa aja sama Papanya Kiara? Baik dan pengertian sih, sudah mau ngasih kesempatan Mbak buat ketemu dan bawa Kiara ke sini. Coba kalau orang lain pasti dimaki-maki dulu baru dibolehin ketemu."

"Itulah, Es. Dia emang baik dan pengertian banget dari dulu. Dan bodohnya aku baru sadar sudah nyia-nyiain dia. Nggak ada laki-laki baik di zaman seperti ini. Mehdi baik, tapi dia peselingkuh kelas kakap. Aku benci dia, gara-gara dia aku harus kehilangan anakku!"

Seperti yang sudah-sudah Esti akan langsung mendekat dan memeluknya. "Sabar ya, Mbak. Kalau ingat itu aku juga sedih banget. Hari yang seharusnya bikin Mbak seneng karena hamil ternyata menjadi hari paling nahas. Bukan salah Mbak juga ngelabrak Mas Mehdi di hotel sama perempuan lain, tapi mungkin itu sudah jalan dari Tuhan untuk nunjukin kelakuan Mas Mehdi yang sebenarnya."

Melinda mengusap air matanya. "Kalau aku nggak lari dan jatuh dari tangga, sekarang mungkin adeknya Kiara udah umur empat tahun, Es."

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang