Pertemuan Singkat

59 6 4
                                    

"Aku minta udahan."

Dika memutuskan hubungan kami. Entah apa alasannya aku tak tahu. Padahal, hubungan kami baik-baik saja meskipun baru satu bulan ini kami menjalani hubungan jarak jauh karena ia melanjutkan pendidikannya di Riau.

"Udah yakin?"

Aku tahu dia juga tak mau hubungan ini selesai. Tapi, aku tak bisa memaksa apapun yang sudah jadi kehendaknya. Hanya saja sekarang aku ingin memastikan sekali lagi apakah ia yakin dengan keputusannya.

"Iya, aku udah yakin banget."

1 menit.. 2 menit..

Aku terdiam, memandangi layar handphone berisi pesan menyakitkan itu. Satu per satu huruf kurangkai menjadi kata-kata. Namun kuurungkan niatku dan hanya kalimat tanya yang tersampaikan.

"Cia salah apa sama Dika?"

"It's not your fault, Cia. Kita baik-baik aja yaa? Aku juga punya janji sama kamu buat kasih kamu kado. Aku bakal tepatin janji itu nanti."

Air mataku jatuh bersamaan dengan hatiku yang patah. Malam itu rasanya hampa seperti tak ada celah untuk bahagia.

Untuk kesekian kalinya, gagal lagi.

Setiap orang pasti merasakan hal yang sama sepertiku. Bangun di pagi hari dengan keadaan sembab, mengecek handphone lalu menyadari bahwa semuanya tak lagi sama.

Pagi setelahnya, tak ada lagi notifikasi dari Dika. Lenyap sudah seluruh harapanku malam itu. Harusnya aku tak berpikir dia akan menghubungiku lagi dan berusaha memperbaiki hubungan.

Sejak saat itu, aku menjalani hari-hariku tanpa Dika. Rasanya ingin sekali bertukar cerita atau sekedar mengirimkan foto kegiatanku setiap saat seperti biasanya. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis.

"Cia?"

Revan menyadarkanku yang tengah melamun sambil mengaduk-aduk mangkuk berisi sup kentang. Ia memandangku dengan tatapan kesal seperti biasanya.

"Udah 2 minggu, Cia. Jangan kayak gini. Masih banyak cowok lain diluar sana, bukan cuma Dika."

Aku hanya terdiam, aku tahu Revan akan banyak bicara dan memutuskan untuk menunggunya selesai.

"Lagipula apa yang lo harapkan dari Dika? Sebelum kalian LDR-an aja, dia nggak pernah ada waktu buat lo. Gua sebagai cowok tahu kalo dari awal dia nggak ada niatan serius sama lo."

Aku memasukkan suapan demi suapan sup kentang hangat itu ke dalam mulut, mengunyahnya lembut sambil mendengarkan celotehan Revan. Semua yang ia katakan memang ada benarnya, aku tak akan menyalahkannya untuk itu.

"Van, bukan masalah dia jarang ada waktu sama gue atau nggak, tapi ini tentang hal yang udah biasa terjadi sehari-hari dan sekarang? Hati gue sakit banget. Rasanya ada yang hilang, hampa, kosong."

Revan terdiam untuk waktu yang lama. Aku menatapnya sejenak. Ia memberi isyarat padaku untuk menghabiskan dulu sup kentang dihadapanku.

"Gue bakal tetep jadi pendengar yang baik buat lo Cia. Udah lebih dari 5 tahun, dari SMP bahkan. Lo mau nangis, nangis depan gue, jangan ditahan. Kalo ada apa-apa, kabarin gue."

Aku hanya membalas dengan senyuman. Revan pun pamit dan mematikan Video Call nya. Sementara aku masih berdiam diri dengan sup yang sudah mulai dingin, tak sehangat waktu baru dihidangkan.

Revan Bagaskara. Kami kenal karena satu ekstrakurikuler di SMP, dan sekarang berpisah karena beda SMA. Selama itu, kami selalu berkomunikasi. Tak jarang juga kami lost contact, lalu berkomunikasi kembali.

Revan adalah sosok yang paling berpengaruh dalam hidupku. Ia teman yang paling baik, tempat menumpahkan segala isi hati dan bertukar pikiran. Revan terkadang mengajakku untuk berpikir logis, dan itu hal yang kusukai darinya. Aku bisa melihat dari sudut pandangnya setiap kali aku meminta solusi dan itu cukup membantu terhadap setiap permasalahan yang kuhadapi.

Banyak orang yang bisa kujadikan tempat ternyaman untuk berbagi cerita. Namun, tidak ada rasa kepercayaan sebesar ini terkecuali pada Revan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi, tapi kutegaskan kembali bahwa Revan adalah teman terbaikku walaupun komunikasi kami sekarang sebatas Chatting atau Video Call.

2 bulan telah berlalu. Aku merasa sedikit lebih tenang. Sekarang, aku bisa menjalani hari-hariku seperti biasa. Senyumku terpampang kembali. Aku bangga pada diriku sendiri karena bisa melewati masa-masa itu dengan singkat.

Aku mengirimkan pesan pada Joan agar kami pulang bersama. Dia adalah teman satu ekstrakurikuler di Klub Bahasa Perancis. Biasa kupanggil "Joe". Kami berteman sejak masuk ke sekolah ini sampai sekarang walaupun berbeda kelas.

Sama halnya dengan Revan, dia adalah pendengar yang baik. Dia kujuluki King of Roasting karena dengan ilmu roasting nya tiap kali aku bercerita, bisa dibilang cukup menghibur untuk aku yang nggak baperan.

Pada saat pulang sekolah, Joe datang ke kelasku. Kami pulang bersama dengan tujuan yang sama; saling berbagi cerita. Entah itu cerita Joe atau aku. Aku menaiki motor tua klasik milik Joe dan berencana untuk mampir ke kedai mie ayam untuk sekedar bertukar cerita.

"Joe, gue lagi dideketin seseorang."

Joe tertawa. Spontan aku memukul tangannya sambil tertawa juga. Bukan tanpa alasan, aku tertawa karena gelak tawa Joe yang menular.

"Lu mah udah nggak aneh cuy. Baru 2 bulan putus sama si bocil no effort itu, udah ada yang deketin aja."

Nah kan, jiwa roasting nya muncul.

"Baru kemarin sih dia deketin gue. Dia curhat juga sama gue katanya sering disakitin sama cewek. Gila, nggak nyangka gue cowok cakep juga bisa di sia-siain." Ujarku sambil sesekali meneguk es teh manis.

"Hati-hati, cowok jaman sekarang banyak yang playing victim. Di sosmed doang keliatan seleb, aslinya mah nggak sesuai ekspetasi lu." Ucap Joe. Namun kali ini aku menyadari bahwa kata-katanya serius. Aku tak menanggapinya lagi. Namun, Joe melanjutkan kalimatnya.

"Cia, jangan karena dia cakep lu terima dia aja. Lu harus tau seluk beluknya gimana, sifat dia gimana. Gua ngomong gini sama lu karena lu tuh ketika ada yang nembak main terima aja anying. Ntar keulang lagi yang dulu dulu nangess. Eh btw, namanya siape?"

"Namanya Aksa." Jawabku singkat. Perbincangan pun ditunda karena dihadapan kami sudah ada Mie Ayam yang aromanya cukup menggugah selera, siapapun tak bisa menolaknya.

Aksa Reviano, seorang laki-laki yang baru saja mendekatiku kemarin malam. Kami dekat hanya sebatas chattingan, bahkan belum membahas lebih dalam tentang diri masing-masing. Hanya sekedar curhat dan saling bertukar cerita tentang masa lalu yang sama-sama menyakitkan.

"Oiya mau nanya. Kalo cowok ada masalah suka dilampiasin ke apa?"

Aku bertanya pada Aksa malam itu. Fyi, kami sedang berbincang lewat telfon. Aku sedikit penasaran karena Dika selalu melampiaskan dengan cara mabuk-mabukan dan aku tak suka itu. Membuatku berpikir apakah Aksa atau laki-laki lain pun sama?

"Kalo Aksa lebih suka sendirian gitu main ke tempat yang sepi. Kalo nggak, ngelampiasin ke motor sampe limit. Kalo nggak kek ngerokok gitu, Aksa nggak sampe mabuk."

Aksa sedikit badboy ternyata, pikirku. Tapi syukurlah, ia tak pernah melampiaskan masalahnya sampai meminum minuman haram itu.

Aku tak tahu wajahnya seperti apa karena kami tak pernah bertemu sebelumnya, hanya memandang lewat foto saja. Namun, ketika mendengar suaranya lewat telfon. Terdengar begitu lembut, membuat suasana hatiku sedikit lebih tenang.

Hingga pada akhirnya, percakapan intens telah berakhir. Namun, tak kusangka malam itu juga, Ia mengatakan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya, terlalu singkat pula untuk ia ucapkan.

"Cia, will u be mine?"

AKSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang