PUJAAN HATI

686 80 29
                                    


"Pulang, yuk!" ajak gue pada Aya yang masih betah duduk di pinggiran tanah lapang berumput kering ini ....

Tempat yang sebenarnya jauh dari suasana romantis karna letaknya yang berdekatan dengan pemukiman kumuh. Tapi entah mengapa Aya begitu menyukai berada di tempat ini. Dia selalu ingin berlama-lama tiap kali gue mengajaknya singgah sekedar untuk menghabiskan waktu bersama.

Aya menarik kepalanya yang tadi bersandar nyaman di pundak gue.

"Bentar lagi. Aku masih mau di sini," ucapnya dengan wajah berseri. Sebagian helaian rambutnya yang tertiup angin membuatnya harus menyeka wajah berkali-kali agar pandangannya tak terhalangi.

"Kenapa kamu betah banget main di sini?" tanya gue tak paham.

"Karna ada kamu," jawabnya asal lalu kembali menyandarkan kepalanya ke pundak gue.

Tapi jujur aja, meskipun jawabannya itu terdengar asal-asalan, hati gue terasa bermekaran mendengarnya. Haha ... sebucin itu gak sih, gue sama dia?

Aroma semerbak dari rambut Aya kembali menyapa indra penciuman. Memanjakan helaan demi helaan nafas gue yang terus mengalir. Aroma yang selalu membuat gue merasa damai karna menandakan gadis kesayangan gue itu ada di dekat gue.

"Kenapa kamu buru-buru ngajak aku pulang?" Dia balik bertanya.

"Hm?" Gue menatapnya karna masih fokus pada perasaan gue sendiri yang sedang menikmati kebersamaan kami.

"Iya, kamu buru-buru ngajakin aku pulang. Kenapa? Udah bosen, ketemuan sama aku dan ngajakin aku jalan tiap hari?" Ada nada merajuk dari caranya bertanya.

Gue tersenyum saja. "Andai aja aku bisa menghentikan waktu, aku pasti sudah hentikan detik ini juga agar bisa selamanya bisa sama kamu kayak gini."

"Mau gombalin aku?" Dia menatap gue dengan kerling mata nakalnya.

"Kamu enggak tau, gimana gelisahnya aku nungguin sore tiba karna enggak sabar pengen ketemu kamu dan ngeliat wajah kamu, Ayy ...." Gue menatap jauh ke depan. Di mana matahari sudah mulai bersembunyi di balik angkuhnya gedung-gedung pencakar langit Jakarta.

"Segombal itu 'kah?" Aya masih saja menanggapi dengan selorohan.

"He-mm ... segombal itu pacar kamu ini," jawab gue sambil mengecup tangannya yang berada dalam genggaman.

Aya terdiam. Untuk beberapa lama dia menatap gue dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Tapi gue yakin dia pasti paham apa maksud perkataan gue tadi.

"Kenapa?" tanya gue akhirnya. Tak tahan melihat wajahnya yang terus mengarah ke gue apalagi dengan helaian rambut terhempas angin itu.

Rasanya greget-greget gimanaaa ... gitu. Kalo ga inget ini merupakan tempat terbuka, udah gue porak-porandain tu pipi sama bibirnya yang selalu bikin jantung gue terkempes-kempes.

Aya mengulas senyuman manis andalannya. "Kamu tau enggak?"

"Mmm ... tau enggak, ya?" jawab gue pura-pura bingung. Ya, dia emang suka nanya gajelas kayak gini ke gue. Sebuah kebiasaan yang entah mengapa selalu bikin hati gue tergelitik tiap kali mendengar Aya bertanya kayak gitu.

Aya langsung merengut mendengar candaan gue. Bibirnya meruncing seolah menantang untuk dihabisi.

Gue terkekeh ringan. "Iya, iya ... aku enggak tau kamu mau ngomong apa. Apaan sih emangnya?" Daripada terjadi perang dunia, mending gue buru-buru kibarin bendera putih buat meredam suasana.

Wajah Aya yang semula tampak jengkel kini berubah berseri, tertunduk malu-malu dengan senyum terkulum.

"Mau ngomong apa?" tanya gue lagi. Mengintip wajahnya yang masih enggan menatap gue.

"Enggak jadi, deh," hindarnya.

"Dih? Curang kamu, Ayy!"

Aya tertawa renyah. Tawa yang selalu mampu menularkan perasaan gembira ke gue. Ya, seindah itu dia di mata gue.

Tawa Aya mereda. Satu tangannya mengelus lembut satu sisi wajah gue.

"Kalo kamu selalu gelisah menunggu sore tiba buat ketemu sama aku, maka kamu enggak tau sepanjang apa malam-malam dan hari-hari yang harus aku lalui hanya untuk ngeliat kamu pas aku keluar dari gerbang sekolah ... sekurang-kerjaan itu, pacar kamu ini ...," tuturnya dengan raut wajah srius.

Kalimat Aya barusan sukses membuat gue terdiam. Bahkan gue ngerasa agak merinding melihat betapa dia tak sedang main-main kali ini.

"Maka dari itu berjanjilah! Kamu harus selalu ada di sana saat aku keluar gerbang!" sambung Aya lagi.

Hati ini bergetar, mendengar permintaan Aya yang sederhana namun menyiratkan betapa kehadiran gue begitu berarti dalam hidupnya.

"Ya, aku janji. Aku janji akan selalu berada di sana untuk menunggu kamu ...."

"Kadang kita lupa, bahwa takdir tidak selalu sepakat dengan janji-janji yang bahkan begitu sederhana sekalipun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kadang kita lupa, bahwa takdir tidak selalu sepakat dengan janji-janji yang bahkan begitu sederhana sekalipun ...."

❤️❤️❤️

Part ini untuk kalian, pembaca setia Eno 😘😘😘

3 sep 2022

TENTANG ENOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang