Jay fluff oneshoot au
© danaelions, 2022
.
.
.
.
.
.
Dongeng pengantar tidur sebelumnya belum pernah menceritakan tentang seorang perempuan paling beruntung sedunia yang dicintai ketika dirinya belum sepenuhnya mencintai diri sendiri.
Orang bilang, kita tidak bisa mencintai orang lain kalau kita belum bisa menerima diri kita sendiri seutuhnya.
Ini sudah menjadi hukum alam yang selalu terjadi pada manusia.
Jika kita ingin memberi cinta kepada orang lain, maka kita harus lebih dulu mencintai diri sendiri agar tidak hilang arah.
Tapi sepertinya kutukan tersebut tidak berlaku untukku.
Mungkin peramal cinta itu masih terlelap saat aku memutuskan untuk menjadi kekasih lelaki di hadapanku ini.
Atau mungkin, tubuhku terlalu mungil hingga dapat menyelinap tanpa diketahui bahwa aku belum benar-benar mencintai diriku sepenuhnya di saat aku mencintai orang lain.
"Cantikku," gumam Jay sambil menatapku penuh kehangatan.
Senyumnya terlihat amat tulus menyihir diriku tanpa permisi, bahkan mengetuk pun tidak. Aku mendapati diriku yang secara tidak sengaja membalas mantra senyuman itu dengan rona merah di pipi.
Pelakunya kini juga sedang menahan tawa saat aku balik menatap matanya. Tidak ada obrolan di antara kami, hanya dua pasang mata yang saling bertemu seakan sedang bercakap satu sama lain.
Pria berkulit melanin itu tidak bisa lagi membendung tawanya. Dirinya salah tingkah. Ia tiba-tiba mengambil sebuah soft cookies di meja dan memperlihatkan padaku dengan tujuan agar pandanganku beralih pada kukis bermotif beruang itu.
Tapi nihil, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku sama sekali darinya.
Kalau ada kontes manusia paling manis mungkin Jay akan menjadi kandidat utamanya dan kalau aku yang menjadi jurinya mungkin aku akan langsung memilih Jay sebagai juara pertama tanpa banyak basa-basi.
Karena apapun yang ia lakukan akan selalu terlihat manis di mataku.
"Cantikku," gumam Jay lagi, kali ini dengan intonasi yang lebih rendah.
Padahal masih banyak kosakata lain dalam kamus yang bisa dipakai, tapi dia lebih memilih menggunakan kata itu tiap kali memanggilku. Awalnya, aku selalu merasa aneh tiap kali dia memanggilku cantik, pasalnya aku sangat jauh terbalik dari kata tersebut.
Tapi kini, panggilan itu terasa seperti obat yang menenangkan. Setiap kali ia memanggilku cantik, aku selalu merasa lebih percaya diri dengan penampilanku.
Lebih tepatnya, ia selalu membuatku selangkah lebih mencintai diriku sendiri.
"Kenapa melamun? Lagi mikirin apa?" tanya pria itu sambil menopang dagunya dengan kedua tangan. Wajahnya terlihat begitu antusias untuk mendengar keluh kesahku.
"Jay, aku bingung," kali ini aku mulai membuka suara.
"Apa yang lagi dibingungin, hm?"
"Kenapa harus pilih aku? Padahal aku aja belum sayang sama diri sendiri."
"Aku malah lebih penasaran, kenapa kamu belum bisa sayang sama diri sendiri?" tanyanya balik.
Jay menghela napasnya pelan kemudian mulai menggenggam jemariku dengan lembut.
"Kamu tau nggak kenapa aku selalu panggil kamu cantikku?"
"Kenapa?"
"Ya, karena kamu cantik, lah. Masa kamu nggak sadar?"
"Ihhh, jangan bercanda mulu."
"Loh? Aku beneran kok. Ya, aku panggil kamu cantikku, ya karena kamu cantiknya aku."
Orang lain tidak pernah tahu kalau Jay punya seribu satu jurus untuk membuatku terbang ke langit ketujuh. Entah kursus apa yang ia ambil sampai-sampai aku hanya bisa terdiam sambil tersenyum luluh.
"Kamu nggak perlu jadi sempurna untuk sayangin diri sendiri sepenuhnya, cantik."
"Kamu cuma perlu biarin aku sayangin kamu, biar nanti jadi penuh, deh," lanjutnya sambil tertawa renyah.
Kalau bisa dibilang, kali ini dunia memang sedang berpihak kepadaku. Tidak pernah sekalipun terbesit dalam benakku, mendapatkan kekasih sebaik dirinya di saat aku bahkan belum bisa bersikap baik terhadap diriku sendiri.
"Tapi aku harap, kamu pelan-pelan bisa sayangin diri kamu sendiri. Aku ga akan cemburu, kok, kalau kamu lebih sayang sama diri sendiri daripada aku, ya karena emang harusnya begitu, kan?"
"Jadi sekarang jangan pernah insecure lagi ya sama diri sendiri, aku sayang kamu dan aku harap kamu juga sayang sama diri kamu juga," ujar Jay sembari mengelus kedua tanganku memberikan semangat.
Aku mengangguk mengiyakan. Energi positif yang ia bawa terasa begitu menyembuhkan. Baru kali ini aku merasa terobati hanya dengan kalimat singkat.
Mungkin benar, kita tidak akan pernah bisa merubah orang lain karena perubahan itu datang dari diri sendiri.
Tapi orang lain dapat membuat kita terketuk untuk berubah.
Dan dari sekian banyaknya hal yang kulakukan dalam perjalananku mencintai diri sendiri, mencintai pria di hadapanku adalah hal yang paling ampuh dilakukan.
Karena mencintainya adalah caraku mencintai diriku sendiri.