"Makan ya? Mama goreng telur."
Kalimat itu terucap dari bibir Mama, agak bergetar, seperti saat kay sedang menahan tangis, berusaha keras agar suaramu tidak berubah menjadi isakan. Hm, mama memang baru saja selesai menangis. Sebenarnya aku lapar sekali sejak tadi, tapi aku takut mama akan memarahiku kalau aku merengek.
Aku mengangguk senang. Setiap hari makan telur, makanan kesukaanku. Tentu saja semua orang akan senang. Semua orang suka telur, kan? Rasanya enak!
Mama tersenyum seperti biasa, seolah-olah mata sembabnya tidak pernah ada. "Sebentar ya, jangan keluar loh."
Ia lalu beranjak. Aku memandangi punggung kecil mama. Bajunya yang terlalu besar, rambutnya yang diikat berantakan, dan senyumnya—kesukaanku. Aku selalu bertanya-tanya bagaimana ia bisa menggendongku dengan badan kecil itu, atau bagaimana senyumannya terlihat lebih cemerlang daripada matahari musim panas padahal wajahnya selalu penuh peluh.
Di ruangan 3x3 ini, dengan kasur lusuh dan sebuah kardus di sudut, aku hidup berdua saja dengan mama, dan semuanya sempurna. Kalau saja tidak ada pria itu. Pria yang membuat mama menangis setiap malam, pria yang berani-beraninya membentak dan memukuli mama.
Suatu saat, ketika aku dewasa, aku akan melindungi mama dari pria itu! Dia bukan papaku. Aku tidak begitu ingat wajah papa, tapi aku ingat dia sedikit galak. Meski begitu, aku ingat papa sangat mencintai mama, aku ingat wajahnya mirip denganku, dan pria ini bukan. Aku tidak mengerti kenapa mama mau hidup dengan pria sepertinya.
Lebih baik mama dan aku hidup berdua saja, kan? Tapi mungkin mama lelah menggendongku yang sekarang sudah mulai tinggi, atau mungkin mama lelah mencari uang. Baiklah, ketika aku dewasa, aku akan mencari uang untuk mama! Dan setelah ulang tahunku keempat, aku janji aku tidak akan minta digendong lagi!
Aku tersenyum, mengusap hidungku yang penuh ingus. Perutku berbunyi lagi, tapi aku anak yang baik, jadi aku akan menunggu mama.
Jam berdetik, lama.. lama.. aku lapar sekali! Dan aku menjadi tidak sabar. Lebih baik aku menemani mama di dapur, entahlah, meski aku tidak bisa masak. Kamar kami dan dapur terpisah. Dapur itu dipakai oleh penghuni lain juga. Namun sekarang, rumah ini kosong. Hanya ada kami. Bagus sih, karena mama bisa memakai dapur sesuka hatinya.
"Mama..."
Aku berjalan ke dapur, ke depan pintu cokelatnya. Mama berdiri di depan kompor, sebutir telur dan beberapa kembalian di meja dapur.
Tidak ada wajan, kompornya tidak menyala.
Mama bukan memegang telur; mama memegang sebilah pisau. Pisau yang matanya berada atas pergelangan tangannya.
Hatiku mencelos.
Aku.. tidak mengerti kenapa, tetapi pisau berbahaya, bukan? Pisau sangat tajam, dan berdarah itu sakit. Mata pisau itu menyentuh kulitnya.
"Ma...ma..?"
Mama tidak mendengarkanku. Ia melihat pisau dan tangannya, air mata kembali memenuhi pipinya. Dengan satu gerakan cepat, Mama me
"Mama!?"
Aku berlari ke arah mama, yang entah mengapa masih tidak mendengarku. Tiba-tiba, tangisannya pecah. Mama menangis, merengek seperti anak-anak—meneriakkan suara yang kelewat menyedihkan. Darah menetes dengan berantakan dari tangannya, tentu saja ia menangis! Luka itu pasti sakit!?
Pikiranku luar biasa kalut, aku menghambur ke arahnya, memeluk pinggangnya yang kecil—yang di balut kaos usang yang kebesaran.
Mama kenapa? Apakah aku salah? Oh, apakah aku ingin makan dan mama capek? Itulah kenapa mama marah?
Kalau begitu mama harusnya marah ke aku, bukan ke dirinya sendiri.
"Mama.. mama!"
Aku berusaha merebut pisau itu dari tangan Mama, yang kini sudah berlumuran darah.
"Mama, aku gajadi makan! Mama tidur aja, mama tidur aja gapapa! Mama!"
Ahh.. aku tidak mengerti.
"Mama! Lepasin pisaunya, mama!"
Aku berteriak dan terus berteriak, namun suaraku tidak sampai kepadanya. Aku juga tidak dapat merebut pisau itu. Tanganku merah oleh darah sekarang, entah darahku, atau darah mama. Aku tidak peduli.
"Mama!"
Aku terus berteriak, memohon. Mama, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku.
Aku janji tidak akan rewel lagi saat bangun tidur.
"Mama aku..."
Aku janji tidak akan pilih-pilih makanan lagi. Aku janji tidak akan minta gendong lagi.
"Janji.. mama..."
Semua orang ingin meninggalkanku... mungkin, mama juga. Mungkin aku menghancurkan hidupnya.
Kalau begitu, bukankah yang harusnya mati itu aku?
Mama, kau mungkin tidak pernah menginginkan kehadiranku, tapi aku menyayangimu. Aku tidak ingin kehilangan senyuman itu. Aku tidak ingin melepaskan tangan itu. Aku tidak tahu mama membuat salah apa, tapi aku akan tetap disisimu apapun yang terjadi.
Tidak cukupkah kehadiranku untuk membuatmu tetap bersamaku?
Hari itu aku sadar, aku akan melindungi mama. Aku bukan orang dewasa, jadi aku harus meminta bantuan. Aku berlari ke luar, berteriak sambil menangis dengan tangan berdarah-darah.
Siapapun, apapun, selamatkan mama. Selamatkan mama. Aku akan memberinya masa depan yang indah. Aku janji akan membuatnya selalu tersenyum. Aku janji akan melindunginya.