Dengan memercayai kekuatan tanganku dalam mengukur suhu, maka dapat kupastikan kalau demam Galih tak kunjung turun, padahal sudah kuberikan obat-obatan padanya secara berkala.
Anak itu tidur hampir sepanjang hari, karena memang aku yang memintanya. Sesekali ia kembali membuka buku bacaannya, tetapi aktivitasnya itu tak pernah dilakukan selama biasanya, mungkin karena buku-bukunya sudah Galih tamatkan berkali-kali.
Aku yang masih duduk di samping dinding semakin gelisah. Persediaan makanan kami akan habis dalam waktu dekat, padahal sudah kupotong banyak jatahku, termasuk memberikannya sebagian pada Galih, berharap anak itu dapat pulih lebih cepat. Namun, kalau keadaannya begini terus, aku dan Galih bisa kehabisan makanan, dan mau tak mau kami harus kembali bergerak dengan Galih dalam keadaan sakit.
Aku sudah mengitari lingkungan sekitar, tetapi tetap tak kudapatkan apa-apa. Jalanan tempat bermain itu sebenarnya tidak begitu jauh dari tempat kami berkemah sekarang, tetapi artinya aku harus berjalan, menjauhi gedung ini, hingga tak terlihat oleh kedua mataku, dan beberapa pertimbangan masih menyelimuti otakku mengingat hal itu.
Bagaimana kalau badai salju tiba-tiba datang, berlangsung selama beberapa hari, dan aku tak dapat kembali ke tempat ini karenanya? Namun, kalaupun aku tetap tinggal di sini, kami akan kehabisan makanan lebih dulu sebelum sempat pergi, artinya aku harus mencari makanan dalam perut kosong bersama Galih dalam keadaan sakit.
Tak ada pilihan yang mampu memantapkan hatiku. Namun, semakin lama aku berpikir, aku mencoba mencari jalan keluar terbaik, teroptimal mungkin, agar kekurangan pada kedua pilihan itu dapat kuminimalisasi.
Aku bisa menggunakan baju-baju yang ada di sini untuk memberi tanda, ke mana aku harus kembali. Namun, badai salju masih menjadi momok mengerikan yang terus terombang-ambing di dalam pikiranku. Aku harus memastikan, mencari suatu cara, agar pakaian-pakaian itu tak terbang terbawa angin, tertumpuk oleh timbunan salju, kemudian menghilang ke mana dan tetap membuatku tersesat di tengah badai salju. Jadi, aku berpikir untuk membuat patok dengan kayu panjang, sehingga bisa kubenamkan tiang kayu itu dengan baju yang berkibar—atau tidak berkibar karena membeku.
Sayangnya, aku tidak memiliki bahan untuk membuat patok kayu.
Aku tak akan membuang ide itu begitu saja, karena mungkin merupakan jalan satu-satunya untukku bisa pergi tanpa harus tersesat ketika badai salju menyerang.
Kedua bola mataku berputar seraya menemani seluruh perjalanan pohon kemungkinan yang ada di dalam otakku.
Sebenarnya ada satu hal yang kupikirkan, yang mungkin tetap mampu membuat rencanaku berjalan dengan lancar tanpa harus mencari material jauh-jauh. Aku bisa ... menyusun mayat-mayat yang ada di luar sana, membuatnya seolah terlihat berbaris pada setiap langkah yang kubuat sebelumnya. Akan memakan waktu yang lama dan mungkin sebagian besar dari mayat itu akan tertimbun di dalam badai salju setelah badai selesai. Namun, kalau aku membuat garis, yang terdiri atas mayat-mayat itu, tanpa putus, aku tinggal menggali sedikit, mencari, sampai akhirnya mampu menemukan petunjuk yang dapat kugunakan lagi.
Tidak, jangan pikirkan hal itu. Kau sudah gila, ya? Mereka adalah orang-orang yang mati dalam keadaan tak tenang, dan kau mau membuat hidup mereka lebih tak tenang lagi setelah nyawa terlepas dari raganya? Segila apa, kau, Firman?
Aku berusaha menepis pikiran itu. Benar, aku tak akan melakukannya. Terlalu gila. Namun, ketakinginanku itu berlanjut pada jalan buntu: aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Jadi, daripada diam tak melakukan apa-apa, aku akan melakukan eksplorasi yang lebih jauh, tetapi tak cukup jauh sampai aku bisa tersesat, tak dapat kembali ke tempat Galih beristirahat sekarang ini—kuharap.
Semoga badai salju tak datang.
Setelah memastikan bahwa Galih tahu aku akan pergi, aku keluar dari toko, kembali menenggelamkan diriku dalam dingin. Cuaca lumayan cerah jika kubandingkan dengan langit kelabu ketika matahari mulai terbit, tetapi tak cukup untuk menghangatkan diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Rest, the Night is Calm [SELESAI]
Science FictionDunia dilanda musim salju tanpa henti. Firman dan adiknya, Galih, berusaha bertahan hidup dari dunia yang dingin dan manusia-manusia lainnya yang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.