Gelombang tinggi laut Okinawa tidak dapat menghalangi CrusDiv 51 untuk berlayar. Pagi ini, kami berlayar menuju Sasebo untuk membantu operasi Lightout. Operasi Lightout adalah operasi mengungsikan penduduk Nagasaki ke selatan. Setelah Amerika menguasai Tokyo, kekuatan mereka seperti tidak terbendung.
"Capt, massage from HQ!" kurir dari Comdep memberi ku secarik kertas. Dia menyerahkan kertas itu kepada XO yang langsung ia serahkan kepadaku.
"XO, markas mendeteksi armada US mendekat dari tenggara dan menuju Sasebo." Aku menyerahkan kertas itu padanya.
"Mereka memerintahkan kita untuk menghadang?" Dia bertanya saat menerima kertas tersebut.
"Bagaimana menurut anda?" Aku bertanya padanya.
"Akan lebih baik bila kita menahan mereka sekarang. Akan berbahaya jika nantinya konvoi pengungsi bertemu mereka." Dia memberi saran padaku.
Aku berpikir sejenak. Keberadaan armada musuh adalah ancaman serius yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun waktu kami pun tidak banyak. Pasukan US mendorong garis pertempuran semakin ke selatan. Persoalan ini, apabila aku salah mengambil langkah, besar kemungkinan akan menelan banyak korban. Sepertinya kami harus bertaruh, keselamatan para pengungsi harus diutamakan.
"Tetap pada misi awal kita. Kita menuju Sasebo secepat mungkin."
"Baik capt. Menuju Sasebo melalui jalur tercepat." XO menjawabku.
"""
Gelapnya malam tak mampu menutupi cahaya pelabuhan. Puluhan ribu hingga ratusan ribu pengungsi memadati tempat tersebut. Semua merebutkan kuota pengungsi di tiap kapal nya. Tak terlepas dari kapal perang seperti kami. Sekitar 500 pengungsi berebut naik ke atas kapal.XO dan beberapa officer lainnya sedang berada di geladak, memeriksa barang tiap pengungsi yang akan berlayar bersama kami. Pemeriksaan di kapal ini jauh lebih ketat di banding kapal lainnya. karna mau bagaimanapun,kapal tempur adalah harta yang berharga. Sangat merugikan apabila kapal ini sampai dibajak dan ditenggelamkan. Maka dari itu,semua barang pengungsi harus diperiksa, agar tidak ada penyusup yang masuk kedalam kapal ini.
Namun suara langkah kaki menarik perhatian ku. Seorang kurir dari Nav-Com memberi ku secarik kertas.
"Apa ini?" Aku menerima kertas tersebut dan membacanya.
Dugaan ku benar-benar meleset. Armada Amerika itu bergerak sangat cepat, dan kami bergerak terlalu lambat. Armada mereka kini hanya berjarak 80 KM dari pelabuhan dan menjadi ancaman serius.
"Officer, persiapkan keberangkatan."
"Aye, Capt." Dia segera mengumumkan keberangkatan.
Sirine segera berbunyi di seluruh kapal. Semua awak yang bertugas segera menuju pos nya masing masing. Tali penambat dipotong begitu sirine berbunyi.
XO yang sedang membantu pengungsi langsung mengerti dengan apa yang terjadi. Dia dibantu dengan awak lainnya segera menutup akses masuk. Beberapa pengungsi yang sudah naik ke kapal terlihat bingung dan takut, mereka segera diarahkan oleh kru household untuk menuju ruangan mereka. Pengungsi yang belum sempat naik terlihat panik, mereka berusaha untuk naik ke atas kapal namun segera dihentikan XO dan kru household.
"Captain, engine room report all boiler ready, highest speed 34 knots." Officer of the deck mengalihkan perhatianku. Dia menunggu perintah dariku.
"Dead slow ahead, starboard 15." Aku memberi aba aba langsung kepada engine room dan boatswain.
"Aye capt, dead slow ahead." Third officer yang menjaga engine telegraph segera memindahkan tuas telegraph ke dead slow ahead.
"Aye capt, starboard 15." Disaat yang bersamaan boatswain segera menggerakan kapal kearah yang kusebutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Pacific
AksiDunia sekali lagi berada dibawah peperangan. Dunia yang aman, nyaman, tentram mungkin hanya tinggal angan. Digantikan oleh dunia yang kejam, jahat dan ricuh. Sekali lagi kalian akan merasakan pahitnya perang. Dan sekali lagi aku mempertaruhkan nyawa...