Cerita di Balik Hujan

5 1 0
                                    

Banyak orang yang terlena akan turunnya hujan. Mereka yang menantikan hujan tak akan berpaling dengan mudah begitu saja, bahkan hanya dengan mendengar suara hujan bisa membuat mereka tenang. Damai saja rasanya, seperti istirahat sejanak dari hiruk-pikuk dunia.

Hal itu juga dirasakan oleh gadis pecinta hujan, Mega namanya. Hujan adalah kebahagiaan tersendiri bagi Mega. Gadis itu akan sangat senang jika mendengar suara hujan.

Ada masa dimana Mega dan sang ayah bermain bersama ditengah derasnya hujan. Saat itu Mega genap berusia lima tahun, dan itu adalah pengalaman pertamanya bermain dengan hujan. Terlihat Mega kecil yang berlari riang di halaman rumahnya, diikuti olah sang ayah yang mengejar Mega kecil dari belakang. Keduanya terlampau senang saat bermain bersama dibawah turunya hujan. Sampai akhirnya sang ayah berhasil menangkap Mega dalam pelukannya.

Ditengah kegembiraan putri tercintanya, sang ayah berkata "Mega tau gak kenapa ayah suka hujan?" Tanya sang ayah, tapi gadis itu hanya menggelengkan kepalanya tanda tak tahu.

"Karena hujan adalah anugerah yang harus kita terima. Bahkan jika suatu saat hujan menyakiti Mega, Mega gak boleh membenci hujan... karena itu bukanlah kesalahannya" ujar sang ayah namun saat itu Mega tak mengerti apa yang ayahnya bicarakan, gadis itu hanya mengangguk kemudian berlari kembali mengelilingi halaman rumah yang tak terlalu luas.

Dengan diiringi tawa dari keduanya, tanpa sadar mereka telah menciptakan kenangan yang takkan pernah gadis kecil itu lupakan.

Sampai suatu hari, dimana Mega dan sang ayah pergi bermain ke sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumahnya. Saat itu sang ayah hanya memperhatikan anak semata wayangnya dari kajuahan. Ada rasa senang yang hadir saat melihat Mega asik bermain bersama temannya yang lain.

Namun tak lama kemudian, langit yang awalnya cerah kini berubah menjadi gelap, bersamaan dengan suara guntur yang bergemuruh cukup keras. Sang ayah yang terlihat khawatir karena akan segera turun hujan dengan cepat menghampiri anaknya yang sedang menaiki ayunan. "Mega ayo kita pulang!" bujuk sang ayah namun mega menolak. "Tapi Mega masih mau main yah".

"Kita lanjutin mainnya di rumah ya?" sekali lagi, sang ayah berusaha mebujuk putrinya. Melihat sang ayah yang membujuknya hingga dua kali Mega pun merasa kalah dan memilih untuk mengalah.

Mega tak suka dipaksa tapi dia juga tak bisa memaksa. Mega tak mau menjadi anak durhaka hanya karena tak mengikuti perintah ayahnya. Karena itu mega dengan berat hati mengikuti ucapan sang ayah.

Belum sempat mereka berteduh hujan besar tiba-tiba saja turun dengan derasnya, menghantam Mega dan juga sang ayah yang baru saja keluar dari taman bermain.

"Ayah hujannya turun!" Seru Mega dengan senangnya sedangkan sang ayah sibuk mencari tempat untuk mereka berteduh. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah kedai yang terletak di seberang jalan. "Mega ayo kita pergi kesana" ucap sang ayah seraya menunjuk kedai tersebut.

Mega yang saat itu terlampau senang langsung berlari membelah hujan, menyeberangi jalan yang lengang. Baru saja setengah jalan sang ayah berteriak membuat Mega menghentikan langkahnya. "Mega jangan lari nak!" Mega melirik sang ayah yang tertinggal di belakang.

"Ayah ayo cepat!" ujar Mega dan tanpa dirinya sadari sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghampirinya yang kala itu sedang menunggu ayah-nya. Sang ayah yang menyadari hal itu langsung berteriak.

"Mega, awas!" Mendengar teriakan sang ayah membuat Mega terkejut bukan main, sampai akhirnya sebuah kecelakan terjadi. Sekejap kesedaran Mega hilang.

Mega yang menyadari dirinya hanya mendapat luka kecil akibat benturan langsung menatap seseorang yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan. 'Ayah'. Dengan cepat kakinya berjalan menuju tempat sang ayah berada. Meski terasa nyeri tapi ia tak peduli.

Tercium bau amis darah yang keluar dari kepala sang ayah. Darah yang terlah bercampur dengan air hujan itu semakin menggenang luas namun sekali lagi, Mega tak peduli. Dia hanya menghkawatirkan ayahnya yang tergeletak tak berdaya.

"Ayah bangun yah ... ayah bangun!" teriaknya seraya mengguncangkan tubuh sang ayah, berharap pria itu membuka matanya dan memeluk Mega yang kini tengah takut setengah mati.

"Tolong! siapa saja ... tolongin ayah Mega"

"Ayah bangun! Mega takut yah... Ayah!" lirihnya seraya memeluk sang ayah. Mega lelah, gadis itu sudah lelah karena terus berteriak meminta pertolongan.

Tak lama kemudian beberapa orang datang, mereka adalah orang yang berada di kedai. Dengan cepat mereka membawa Mega beserta sang ayah menuju rumah sakit tedekat.

Sepanjang perjalanan mega terus menangis. Ia tak peduli dengan luka yang ada di sekujur tubuhnya. Baginya melihat sang ayah yang lemah tak berdaya lebih menyakitkan dibandingkan luka yang ada pada tubuhnya.

10 tahun telah berlalu. Meski kejadian itu masih membekas dalam ingatan Mega, namun gadis itu tak pernah membeci hujan. Dia tahu kematian sang ayah tak ada hubungannya dengan hujan, namun kematian ayahnya sudah ditakdirkan di hari itu, saat hujan turun.

Jika seseorang bisa melihat sisi lain dari hujan maka mereka akan menemukan fakta bahwa hujan tak selalu menggambarkan kesedihan, hujan tak selalu menjadi lambang tangisan. Tapi hujan bisa menjadi teman saat mereka bersedih dan menangis.

Hujan bukan wujud dari kesedihan itu sendiri, melainkanobat dari kesedihan itu. Dan Mega menyadarinya. Karena hujan, kenangannyabersama sang ayah tak akan pernah terlupa, karena hujan ia bisa membuat banyakkenangan bersama sang ayah, dan karena hujan ia tak merasa sendiri saat sangayah pergi.

The End

note:

Tercetak dalam buku Antologi berjudul "Hujan dan Kenangan".

-

Dengan judul yang klise saya membawakan cerita ini dengan sangat sederhana. Tentang hubungan orang tua dan anak, dan perspektif sang tokoh tentang Hujan. bahwa hujan tak selalu menjadi wujud dari kesedihan.

Labirin HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang