21. Kebodohan yang Berulang

146 21 2
                                    

Sudah lebih dari satu minggu berlalu, Daru sudah diizinkan pulang ke rumah oleh Dokter beberapa hari yang lalu. Selama anaknya sakit, Aji sudah beberapa kali ijin tidak mengajar, Fariz, kepala sekolah sudah memberikan sanksi dan mengancam tidak segan-segan memecat lelaki itu kalau masih tidak disiplin. Namun untuk kali ini, Aji  lebih memilih dikatakan tidak profesional karena dia lebih mementingkan keluarga dari pada tanggung jawabnya sebagai guru. Jika memang dia di pecat, ya sudahlah, mungkin sudah saatnya dia fokus pada usaha bengkelnya saja di Surabaya dan meneruskan beberapa usaha Ibunya.

Hari minggu ini Aji sudah bersiap ke rumah Keshwari, dia hanya berharap Bapak dan Ibunya tidak ikut karena ingin mempunyai waktu berdua dengan anaknya tanpa intimidasi dari Wijaya. Entah apa yang merasuki kakek tiga orang cucu itu sehingga terus ingin berdekatan dengan Andaru hingga membuat keberadaan Aji sedikit tersisih.

Aji  yang sedang minum kopi sambil makan pisang goreng dan bakwan udang buatan ibunya, Lestari itu iseng bertanya, "Bu, kapan pulang ke Surabaya?"

"Ndak tahu, Bapakmu masih betah di sini, apalagi kalau sudah sama Daru bisa lupa segalanya."

Aji mendesah, bukan karena tidak suka tetapi merasa aneh saja kedua orangnya betah sekali berada di kampung ini. Apalagi Wijaya, dia seakan lupa kesibukan dan rutinitasnya di Surabaya.

Saat tengah memikirkan cara agar orang tuanya tidak  ikut ke rumah Keshwari, sebuah pesan masuk ke ponsel Aji, nama 'Bu Rahayu' terlihat di sana. Tidak biasanya mantan mertuanya itu mengirim pesan. Segera Aji membukanya karena penasaran.

Bu Rahayu [Mas, Shinta sakit. Bisa ndak jenguk biar dia semangat buat sembuh. Ibu mohon]

Aji terdiam sesaat, dia masih mencoba mencerna isi pesan itu. Lelaki itu sudah akan mengirim balasan tetapi urung karena Wijaya sudah duduk di sampingnya dan langsung bertanya.

"Ji, bagaimana tawaran Bapak kemarin?"

"Yang mana, Pak?"

"Kelanjutan hubunganmu dengan Daru dan ibunya?"

"Maksud Bapak?"

"Bapak sama Ibu pingin kamu sama Keshwari menikah!"

"Itu belum Aji pikirkan, Pak?"

"Kenapa?"

"Aji bahagia karena kehadiran Daru, Pak, tetapi bukan berarti harus menikah dengan ibunya, 'kan? Lagi pula kami tidak saling mencintai."
Wijaya menatap Aji dengan tajam dan bertanya, "Apa kamu memikirkan kebahagiaan untuk Daru?"

"Tentu saja! Kebahagiaan Daru adalah yang paling utama bagi Aji, tetapi apakah harus menikah dengan ibunya?

"Setiap anak pasti ingin ibu dan bapaknya bersama! Apa kamu tidak berpikir berapa lama anakmu menginginkan hal itu?"

"Aji yakin, kebahagiaan Daru tidak melulu soal itu, Pak!"

"Kamu sudah tanya sama anakmu?" Tiba-tiba Lestari menyela, wanita itu baru saja masuk dari arah dapur.

"Pak, Bu, perasaan tidak bisa di paksakan, dulu aku dan Shinta yang saling mencintai saja nyatanya kami bercerai!"

"Itu karena Shinta memang tidak mencintai kamu sedari dulu! Jangan bilang kamu masih berharap sama dia!" Bentak Wijaya.

"Pak, aku dan Shinta tidak hanya sehari dua hari bersama, tapi sudah lebih dari sepuluh tahun, wajar jika .... "

"Sudah, cukup! Ibu tidak menyangka kamu masih memikirkan dia. Coba kamu pikirkan besar mana rasa cinta Shinta padamu dibanding Keshwari?"

Aji ingin menyela, tetapi tangan Lestari sudah terangkat, menandakan dia melarang.

"Kalau dia tidak mencintai kamu dengan tulus, tidak mungkin dia mau membesarkan anakmu seorang diri, sampai rela dibuang sama keluarganya karena lebih memilih mempertahankan Daru, apa kamu tidak sadar, hah!"

Baik Aji maupun Keshwari sudah menceritakan kisah mereka di masa lalu menurut versi mereka masing-masing kepada Wijaya dan Lestari. Itulah sebabnya mengapa kedua orang tua Aji ingin mereka menikah saja karena menganggap ibu dari Daru itu sangat mencintai sulung mereka dan juga demi kebahagiaan Andaru.

"Bu, yang terjadi antara aku dan Keshwari itu hanya kecelakaan. Kami tidak sengaja melakukan itu. Kalaupun Keshwari mempertahankan kehamilannya dulu mungkin hanya karena tidak mau menambah dosa lagi, itu saja. Jadi tolong mengerti perasaan Aji juga. Apalagi sekarang Shinta sakit dan Bu Rahayu minta Aji menjenguknya."

"Kamu masih peduli, heh! Setelah pengkhianatan yang dia lakukan?" Bentak Wijaya sekali lagi.

"Pak, bagaimanapun juga dia adalah orang penting untuk Aji, kalau tidak ada Shinta, mungkin sekarang Aji masih jadi pemabuk dan pecandu narkoba. Apa Bapak lupa?

"Walaupun dia mengkhianati dan mencampakkan?" cecar Wijaya.
Aji terdiam dan tidak bisa menjawab. Lestari ingin mengatakan sesuatu, tetapi dengan cepat Wijaya mencegah.

"Sudah, Bu. Sekali bodoh ya bakalan tetap bodoh! Mau dinasihati bagaimana juga! Biarkan saja, terserah DIA mau bagaimana! Mending kita ke rumah Daru saja."
Wijaya dan Lestari beranjak dari ruang makan mereka bermaksud keluar dan pergi ke rumah Keshwari. Namun, betapa terkejutnya ketika saat akan melangkah mereka melihat Daru dan Keshwari berdiri di antara ruang makan dan keluarga.

"D-daru .... " Lestari tergagap, sejak kapan cucunya berdiri di sana? Mengapa dia tidak melihat, apa karena terlalu emosi mendengar perkataan Aji jadi dia tidak memperhatikan sekeliling? Mungkinkah mereka mendengar pembicaraan barusan?

Keshwari segera menguasai keadaan dia berupaya tetap tersenyum walau ada sudut hatinya yang terluka, "Bu, maaf tadi kata Mba yang di depan suruh langsung masuk aja, terus udah ngasih salam tapi gak ada yang jawab, jadi kami langsung kesini."

"I-iya, nggak apa-apa, a-ayo duduk di depan." Lestari masih gemetar, dia takut Daru mendengar kata-kata ayahnya.

"Bu, kita pulang saja!" tanpa mau menoleh ke arah ayah dan kakek neneknya, Daru menarik tangan Ibunya dan berbalik.

"Daru, katanya tadi pingin main ke sini." Keshwari mencoba menahan tangan Daru tetapi sulit karena postur dan tenaga anaknya itu lebih besar walau dia baru sembuh dari sakit.

"Nggak jadi!" Suara Daru terdengar seperti orang yang menahan amarah dan dia pun terus berjalan keluar sambil  memegang tangan Ibunya. Keshwari menengok sebentar, memberikan senyum dengan maksud memohon maklum atas sikap Daru. Namun wanita itu menghindar saat tatapan matanya bertemu dengan Aji.

Wijaya dan Lestari hanya diam dan membalas senyum Keshwari yang terlihat  dipaksakan. Apa yang bisa mereka lakukan sekarang? Membujuk Andaru dan mencoba memberi pengertian? Daru yang mereka tahu saat ini sedang sangat bahagia karena bertemu dengan ayah lengkap dengan Kakek dan Neneknya tetapi setelah mendengar kata-kata Aji tadi, bagaimana perasaannya kini? Mungkin membiarkannya sendiri saat ini mungkin akan menjadi pilihan yang terbaik saat ini.

Bagaimana juga perasaan Keshwari? Terlalu bodohkah Aji hingga tidak bisa melihat binar cinta yang begitu nyata saat wanita itu menatapnya? Tidakkah lelaki itu mencoba untuk membuka hati kepada ibu dari anaknya itu? Terlalu besarkah rasa cintanya pada Shinta sehingga dia tidak bisa lagi merasakan cinta yang lain?

Wijaya berbalik dengan tangan terkepal, tanpa basa-basi sebuah pukulan tepat mendarat di wajah Aji dan membuat anaknya jatuh tersungkur karena tidak siap. Jika biasanya Lestari akan pasang badan dan menghalangi  kini wanita itu hanya diam dan memandang dengan sorot kesedihan kemudian melangkah pergi ke arah kamar yang dia tempati selama di sini disusul oleh Wijaya.

Aji meringis menahan sakit, tetapi hatinya lebih perih saat melihat Daru sama sekali tidak mau menengok ke arahnya. Dia juga merasa bersalah saat sekilas melihat sorot mata terluka milik Keshwari. Sungguh Aji tidak menyangka jika Daru dan Keshwari akan datang ke sini dan mendengar semua perdebatannya dengan Lestari dan Wijaya. Setelah ini apakah Daru masih mau bertemu dengannya?

Mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan, Sangaji segera bangkit dan berjalan keluar, dia harus mengejar  Daru dan mencoba memberi pengertian pada anaknya.

*****

Begitu sampai di rumah Daru langsung masuk ke kamarnya. Sepanjang perjalanan dia sama sekali tidak bicara apa pun. Mereka berdua mendengarkan semuanya dengan jelas. Senyum bahagia yang selama beberapa hari ini menghiasi bibir Daru tiba-tiba lenyap. Keshwari tidak tahan, akhirnya dia memutuskan masuk ke kamar anaknya.

"Daru, boleh Ibu masuk?"

"Ya, Bu!"

"Nak, bukankah dulu Ibu sudah pernah katakan, semua kemungkinan  tentang Ayahmu bisa terjadi? Misalnya, jika dia sudah punya keluarga lain atau tidak mau menerima kamu?"

Daru mengangguk, "Iya, Bu."

"Lalu, mengapa Daru bersikap seperti tadi?"

"Daru hanya kecewa saja,  tapi kalau sekarang aku pingin sendiri, boleh, Bu?’

"Baiklah, jangan bersedih apalagi kecewa. Kita sudah terbiasa berdua bukan dan semua baik-baik saja?"
Daru hanya mengangguk, kemudian Keshwari beranjak keluar kamar karena tahu anaknya butuh waktu untuk sendiri.

"Bu, Daru nggak mau ketemu siapa pun, ya."

Keshwari hanya mengangguk dan berusaha memahami perasaan kecewa anak itu. Perasaan yang sudah dia rasakan bahkan saat kembali bertemu dengan Aji untuk pertama kalinya karena lelaki itu tidak mengingat bahkan mengenal dia sama sekali. Selama ini dia berusaha mengabaikan rasa itu karena melihat Daru begitu bahagia bertemu ayahnya. Namun setelah melihat anaknya terluka dan kecewa oleh ucapan Aji jujur saja membuat hatinya sakit.

Saat akan menutup pintu dan pergi ke tempat usahanya ternyata Aji sudah berdiri di belakangnya.

"Daru di mana?" tanya Aji.

"Dia ada di kamar, tetapi sedang istirahat dan tidak mau diganggu," jawab Keshwari dingin.

"Aku mau bicara sama dia, boleh aku masuk?"

"Maaf, Pak, tadi Daru pesan tidak mau diganggu siapa pun!"

"Kala begitu, bisa kita bicara, Kesh?"

Keshwari menggeleng, "Tidak ada yang perlu dibicarakan diantara kita, Pak. Bukankah sebelumnya kita juga tidak saling mengenal, jadi lebih baik seperti sebelumnya saja."

Tanpa mau mendengar apa yang akan diucapkan oleh Aji, ibu dari Daru itu pun beranjak dari sana dan menuju tempat usaha loudry-nya.

Aji jelas mendengar nada kecewa di setiap kata yang terucap dari bibir Keshwari, apakah wanita itu terluka oleh ucapannya? Lalu bagaimana dengan Daru? Bahkan sekarang anaknya menolak bertemu padahal kemarin mereka masih bersemangat membicarakan tentang cita-cita anak itu dan merencanakan untuk naik gunung bersama atau sekedar jalan-jalan. Apa yang harus Aji lakukan sekarang?

Rencanya besok Aji akan pulang ke Surabaya karena tadi mantan ibu mertuanya itu menelepon sambil menangis tersedu-sedu menceritakan tentang  Shinta yang sakit tetapi menolak berobat karena putus asa. Aji pikir saat ini Shinta membutuhkannya seperti saat dulu dia berusaha lepas dari jerat narkoba dan butuh seseorang yang mendampingi, wanita itu selalu ada untuknya. Mungkin ini saatnya dia membela semua itu walau ada sudut hatinya yang merasa tidak rela, tetapi Aji tidak tahu mengapa.

*****

Hari ini adalah jadwal kontrol terakhir Daru sesuai anjuran dari Dokter. Ada sedikit kecewa di hati remaja laki-laki itu karena Aji ternyata tidak mengantar, hanya kakek dan neneknya saja yang datang. Kata kakek, ayahnya sedang mengulang "kebodohannya". Entah apa yang di maksud oleh sang Kakek, dia tidak tahu. Ah, mengapa dia jadi semanja ini, bukankah dulu  dia bisa mandiri? 

Kini mereka sudah tiba di rumah Keshwari, jika biasanya Daru banyak bertanya kepada kakek atau neneknya, kini remaja itu lebih banyak diam.

“Kalian jadi berangkat sore ini, Nak?" tanya Lestari.
"Iya, Bu. Semua juga sudah siap," jawab Keshwari.
"Ibu sama Bapak nitip salam aja, ya. Nanti kalau urusan Bapak sudah selesai semoga bisa menyusul ke sana."

"Tidak perlu repot-repot, Bu, mohon do'anya saja."

"Keshwa, nanti ke Bandara bareng kami saja. Bapak udah sewa mobil buat antar ke sana. Mau pakai mobilnya Aji nggak ada supir."
Walau sebenarnya enggan, tetapi wanita itu tetap mengangguk karena  demi menghargai kebaikan mereka berdua.

"Oya, untuk masalah sekolah Daru, Bapak sudah urus, kamu nggak perlu datang sendiri ke sana." Lagi, Keshwari hanya bisa mengangguk menanggapi kata-kata dari Wijaya.

"Ya sudah, kami pulang dulu, mau siap-siap. Nanti dijemput ke sini, tunggu saja ya!"
Setelah itu kedua orang tua Aji pamit pulang untuk bersiap-siap ke Bandara karena mereka akan kembali ke Surabaya juga sore nanti.

Bukan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang