11. Happiness

8 1 0
                                    

Delletha melesat kearah kiri, menghindari beberapa kuku tajam yang mengarah kearahnya. Angin yang berhembus menerbangkan beberapa helai rambutnya, membuatnya sedikit kesulitan. Rambutnya terkadang menusuk matanya, sehingga menghambat pergerakannya, harusnya dia mengikatnya tadi.

Delletha merentangkan tangan kirinya kedepan, beberapa kertas berhamburan keluar dari telapak tangannya. Jantungnya berdegup kencang, rasa lelah, senang, takut, bercampur menjadi satu.

Cello tersenyum lebar, diam-diam dia melirik kearah kuku-kukunya yang berserakan di tanah. Tangan kirinya yang semula terkena sayatan, tiba-tiba saja mengeluarkan asap kehitaman.

Dia mengangkat telapak tangan kirinya, dan—

"DELLETHA!"

"Argh ... sialan." Erangan tertahan keluar dari mulut Delletha, dia berhasil menghindar tapi tetap saja kena. Telapak tangan kanannya saja belum lepas dari benang, dan sekarang? Lengan kanannya terkena serangan Cello.

"DELLE—"

"FOKUS PADA LAWANMU, ALGARETTA!"

Cello mengangguk-anggukkan kepalanya, senyuman lebar terbentuk diwajahnya. Gadis itu bodoh, dia tidak menyadari taktik Cello. Padahal Cello sengaja tidak menyerang tepat kearah gadis itu, melainkan memilih untuk menyerang kearah asal.

Cello sebisa mungkin menyerang disekitar ilusi yang dibuat oleh Delletha, menciptakan kuku sebanyak-banyaknya. Dan di saat yang tepat, dia akan menggunakannya. Seperti tadi, dia mengendalikan kuku yang berada ditanah, untuk menyerang ilusi Delletha. Ilusi tidak akan terluka, hanya tubuh yang asli yang bisa terluka.

Cello mengangkat dagunya, menatap angkuh kearah Delletha. "Pulanglah, kau bisa mati nanti."

Delletha bergeming, tangan kirinya masih memegangi lengan kanannya. Telinganya mulai berdengung, jantungnya berdegup dengan kencang, disertai dengan peluh yang membasahi wajahnya.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir dengungan yang mengganggu indera pendengarannya.

"Tetaplah seperti itu, dan racunnya akan menyebar ke seluruh tubuhmu."

Delletha menatap lamat-lamat kearah Cello, dia tidak bisa mendengar suara laki-laki itu. Belum selesai dengan semua itu, kini kepalanya berdenyut nyeri. Pandangannya mulai memburam, apakah efek racunnya memang sehebat ini?

"Terserahlah." Cello mengedikkan bahunya, kemudian beranjak meninggalkan Delletha. Dia memanjat sebuah pohon, duduk di salah satu ranting, menikmati pertarungan Edward dan gadis berambut coklat.

"Menyerahlah, temanmu sebentar lagi mati."

Algaretta menggertakkan giginya, rahangnya mengeras. Dia ingin sekali melayangkan tinjunya kearah wajah tampan dihadapannya. Sayang sekali, jangankan melayangkan tinju, menggoresnya saja Algaretta tidak bisa.

Algaretta merentangkan kedua tangannya, membidik laki-laki berambut periwinkle yang selalu berlarian kesana kemari. Sungguh, gerakannya sangat gesit, sehingga sangat sulit untuk melukainya.

Algaretta menggigit bibir bawahnya, dia melirik kearah dimana Delletha berada. Merentangkan tangannya, dia kemudian membuat beberapa bola api. Setelah membidik targetnya, dia meluncurkan bola apinya.

Algaretta mengerang kesal, saat bola apinya ternyata sia-sia. Karena Edward menggunakan benangnya untuk melindunginya, benang menyebalkan. Bagaimanapun, benang itu tidak bisa hancur. Sudah ditebas berkali-kali menggunakan pedang, maupun dibakar menggunakan api, tapi masih saja tidak bisa hancur.

Algaretta menengadahkan tangannya, sebuah sinar oranye muncul dari telapak tangannya. Lama kelaman sinar itu membentuk sebuah benda, benda panjang nan tajam, yang diselimuti oleh api yang berkobar.

He's My Enemy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang