~ Part 06. Menurutlah, Bidadariku

93 26 0
                                    

- Selamat Membaca -

    ‘Kamu harus menikah sama dia, Keisya! Kamu tidak bisa menolak lagi. Kalau menolak, memangnya kamu mau kehilangan semua yang telah kamu miliki selama ini? Hidup miskin dan tidak lagi dianggap oleh teman …."

          "Nggak! Keisya memang tidak mau hidup miskin, tetapi Keisya enggan menikah sekarang-sekarang. Keisya belum siap! Nggak!!" 

          "Nggak ada yang salah dengan menikah, Keisya! Apa susahnya, sih?" kata seseorang. "Kalau sudah menikah itu, perlu kamu tahu. Suasananya beda banget, enak dan nggak ada kata kesepian lagi. Memangnya kamu mau jadi gadis jomblo seumur hidup? Didekati saja tidak mau," ledek orang itu lagi. 

"Tidak!!!!!"

             Seorang gadis cantik terbangun dari tidurnya dengan sekujur tubuh telah basah oleh keringat dinginnya, bagaimana tidak, mendadak memimpikan bahwa dirinya dipaksa menikah dengan orang asing hanya karena agar kehidupan gadis itu tak berubah, tapi ketika kesadarannya telah terkumpul. Ia menoleh ke arah samping.

Deg … 

“Mami! Aaarghhh!” 

Bug … 

“Ah, bangsat. Eh … astagfirullahaladzim, ya Allah … sssh,” keluh seseorang yang berada di samping si gadis.

         Gadis itu—-Keisya sampai menutup mulutnya tak percaya tatkala melihat seorang yang dia kenal nyuksruk di lantai—-bahkan dia juga belum menyadari jika orang itu hanya bertelanjang dada dan mengenakan celana boxer saja untuk menutupi bagian bawahnya. Keisya masih belum percaya, ia yakin ini hanyalah khayalannya saja.

       Orang itu—-Indra—-laki-laki yang telah berstatus menjadi suaminya Keisya perlahan bangkit dan seketika merasakan bokongnya sakit. Begitu Indra hendak membuka suara dengan tatapan tajamnya, sadar yang akan dia marahi itu ialah istrinya perlahan tangannya diturunkan dan ia mengusap wajahnya kasar dengan sebelah tangannya yang lain.

  ‘Seorang suami yang baik itu tidak pernah membentak istrinya, maupun ringan tangan pada istrinya. Jika merasa bahwa istrimu kelak bersikap tidak sesuai kemauanmu. Tegurlah dia dengan tutur kata yang lembut, insya Allah, dia pasti akan lebih menurutimu, Nak,’ ucap seorang Kiai—-seminggu yang lalu Indra temui.

    Saat itu sebagai balasan atas pertanyaan Indra pada Kiai itu, Indra berniat mengantarkannya ke Pesantren.

Indra mengembuskan napasnya kasar. Dalam hati, ia mengucap istigfar dan berdoa untuk dirinya tidak terlalu ambil emosi atas tingkah istri kecilnya ini.

       “Kak! Kok diem? Bukannya mau marah or mukul, ya? Nggak jadi, nih?”

Indra menoleh sekilas ke arah istrinya. “Nggak jadi. Mending sekarang buruan bangun, beresin ranjang dan siapin sarapan, siang nanti kita siap-siap ke kampus,” balas Indra, sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan hendak pergi.

    “Eh, Kak! Tunggu dulu, is, mau tanya dong,” cegah Keisya, gadis itu turun dari atas tempat tidur dengan pakaian tidurnya yang acak-acakan, lalu berdiri di hadapan Indra membuat laki-laki itu meneguk ludahnya susah payah.

Indra mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin melihat istri kecilnya dalam keadaan pakaian tidur bagian atasnya terbuka ditambah … ah, sudahlah, tidak perlu dijelaskan. Intinya Keisya Jasmine terlalu cantik untuk diabaikan, jadi Indra akan sedikit menahannya dulu sebelum nantinya ada kesepakatan bersama.

     “Tanya apa?” Indra baru bersuara setelah dia menetralkan degup jantungnya seraya berdeham pelan.

            “Pertama, ckk … bener, kita ini udah nikah dan Kakak suaminya Kei? Kedua, siapa yang gantiin pakaian Kei semalam? Ketiga, mengapa harus Kei masak, beresin ranjang, urus semuanya sedangkan pastinya ada maid dong di rumah ini, masa nggak ada, iya nggak? Nah, pertanyaan ke … berapa, ya?” Tampak gadis itu sedang berpikir keras, kemudian tersenyum menyeringai, “keempat, ya, Kak. Selama Kei sama Mami dan Papi, mereka nggak ngizinin Kei buat ke dapur loh, kok sekarang Kakak suruh-suruh? Terus, kalau Kei capek nanti? Terus, kalau emang kita baru nikah, kenapa langsung masuk kampus?” 

Tak … 

  Entah mengapa sepertinya Indra mulai menyukai menyentil kening gadisnya ini. Gemas sebab katanya bertanya, tetapi pertanyaannya tersebut melebihi batas dan bagaimana Indra menjawabnya kalau begini? Bahkan ia sendiri tak menyerapnya sungguh-sungguh, ah, tunggu, bukan Indra namanya kalau tidak mengingat-ngingatnya kembali.

     “Sssh … demen banget, sih, sentil-sentil. Jidat Kei ini mulus loh, semulus jalan tol yang baru diaspal. Jadi, plis, jangan sakiti eh—--”

“Jalan tol? Yakin, semulus itu?”

      Plak … 

“Lupain! Jawab pertanyaan Kei sebelum pagi yang buruk ini berakhir, Kak Indra!” protes Keisya sembari menghentak-hentakkan kakinya.

       “Oke, oke. But, sebelum itu … aku punya permintaan yang menarik buatmu, Baby. Bagaimana?”

“Apa? Jangan aneh-aneh!” 

      “Menurutlah setiap aku memintamu untuk melakukan sesuatu, oke?”

Keisya membalikkan badan. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Ini, yang dia tidak sukai dengan dunia pernikahan. Terlalu banyak aturan, banyak ini itu sementara Keisya anaknya suka bebas dan tidak pernah mau untuk begini bahkan begitu. Intinya Keisya peduli pada kehidupannya sendiri, kebebasannya. 

    Menikah? Boleh saja, tetapi bila usia telah matang dan pemikiran siap. Urusan finansial? Urusan laki-laki, sih, menurut Keisya. Perempuan tinggal duduk manis saja.

    Di belakang sana Indra menggigit bibirnya kuat-kuat, tidak peduli ia merasakan perih, tetapi ia lakukan guna menetralisir sesuatu yang tumbuh dalam dirinya ketika melihat punggung mulus gadisnya yang tertutup oleh blazer tembus pandang itu bahkan matanya kini tak sengaja menoleh ke arah bawah.

    Glek … 

Perlahan ia mendekat ke arah Keisya, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Keisya yang memiliki postur hanya sebatas dada Indra. Dia membisikkan sesuatu pada gadisnya. “Menurutlah, Bidadariku! Aku pun melakukan itu demi kebaikanmu, janji tidak akan memintamu aneh-aneh,” katanya, dengan suara berat dan seraknya.

        “Ya, apa?”

“Baiklah. Nanti jawabannya akan aku berikan setelah kita siap-siap, salat subuh dulu, masih ada waktu. Kita baru tertinggak lima menit saja. Ayok!”

   Menurut. Keisya melangkah memasuki kamar mandi. Saat masih sendiri dan tinggal di rumah mami dan papinya. Walau Keisya terbilang nakal dan sulit diatur serta manja, Keisya selalu menunaikan ibadah salat fardu. Hanya saja kadang kala seringnya terlambat daripada tepat waktu. 

     Kini Keisya dan Indra sudah berada di atas sajadah masing-masing. Indra menggunakan pakaian koko berwarna putih dan peci hitam menutupi sebagian kepalanya, bagian bawahnya Indra memakai sarung. Sementara, Keisya menggunakan mukena berwarna putih berbahan katun. 

      Hati kecil Keisya merasakan hangat yang luar biasa ketika dirinya akan menjalankan ibadah salat subuh dengan diimami oleh seorang laki-laki dikenal menyebalkan dan selalu dihindari itu. Pikir Keisya pasti cowok yang menjadi suaminya itu tidak mampu membaca surah-surah spesial selain beberapa surah pendek seperti surah al-falaq, al-ikhlas dan an-nas. 

Namun, nyatanya pemikirannya salah. 

        “Nuuun … walqolami wamaa yasthurun ….” 

         “Allahu … Akbar!” 

Hingga berakhirlah salat subuh dua rakaat itu dengan salam, kemudian Indra membalikkan badannya mengulurkan tangannya ke arah Keisya, tetapi malah ditanggapi hal lain?

   “Kak Indra. Tolong, jangan minta uang sama Kei, ya! Nggak punya, tabungan Kei bokek kemarin dibeliin tas branded teman-teman Kei, jadi tar aja kalau ada uang dari mam—-”

            Cup … 

Deg … 

Bersambung.

Bagaimana kisah mereka?

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang