Cerita ini sebagai selingan sebelum saya meneruskan BET (Bila Esok Tiba) yang akan saya garap serius.
Dek Aya adalah file bank lama banget, ketika saya belum banyak pengetahuan menulis, masih seenak udel, jadi mohon maaf jika banyak ketidaknyamanan nantinya. Saya ingin menyimpan dan membaginya di sini walau menggelikkan, ha ha. Itung2 sebagai jejak dan kenang2an. Tapi saya berharap membuat kalian banyak senyum-senyum geli seperti reaksi pembaca sebelum di Wattpad. Dulu, setiap bab yang saya unggah setidaknya 1000 pembaca menikmatinya. Aku tidak berharap di sini sebanyak itu, aku cuma ingin kalian bisa ketawa-ketiwi sebelum saya bawa ke cerita Suspense berikutnya.
Selamat menikmati, semoga suka.
***SATU
Aku ingat sore itu pukul 15.55 wib. Seorang perempuan muda turun dari motor matic-nya, persis saat aku baru selesai menyapu halaman. Cuaca sedang bagus dan cerah. Hanya saja kemarau kali ini, angin terlalu banyak, membuat semuanya jadi cepat sekali berdebu. Aku juga ingat warna helm yang dikenakannya — begitu eye shocking, kata anak jaman sekarang. Kuning cetar. Kontras dengan raut wajahnya yang lembut nan anggun.
Perempuan itu berjalan gemulai menghampiriku yang berdiri di bawah pohon kersen dengan pulasan lengkung alis berwarna coklat tua yang sudah memudar. Biasalah, kalau sudah sore begini, satu per satu riasan wajah akan perlahan luntur, entah kena keringat atau kena gesekan benda lain. Meski begitu, tak sedikit pun mengurangi kecantikan wajahnya. Ia mirip model iklan sampo yang kerudungnya menarinari lembut ditiup angin. Entah bagaimana, aku sering mengira kerudungnya lah, yang dikeramasi produk sampo itu, sementara rambutnya sendiri, sudah keramas atau belum, tak ada yang tahu."Kiosnya dikontrakin ya, Mbak?" tanyanya seraya menjabat tanganku dengan genggaman hangat.
Aku tersenyum, mengangguk dan menyambut uluran tangannya. "Ya."
Dalam hati aku tersenyum geli, pada kenyataan; orang-orang yang datang, selalu bertanya untuk sesuatu yang tak perlu dijawab. Seperti pertanyaan template usang. Jelas-jelas kiosku tertera tulisan "Dikontrakan" dengan huruf besar-besar, toh tetap saja pertanyaan itu muncul. Mungkin untuk alasan semacam inilah basa-basi terpaksa diciptakan. Ah, siapa peduli, yang penting semoga saja kali ini kiosku laku.
"Boleh saya lihat dalamnya."
"Tentu saja."Aku meletakkan sapu lidi di batang pohon dengan tumpukan daun kering di bawahnya, dan bersiap mendampinginya melihat-lihat kios yang sudah dua bulan ini kosong. Ia sempat kikuk ingin membuka sepatunya ketika masuk kios.
"Pakai saja, Dik, debunya banyak."
Dari samping, aku melihat matanya tampak berkaca-kaca. Kupikir, mungkin karena ia mengendarai sepeda motor. Biasalah, kena debu atau angin yang terlalu kencang. Kasihan, perempuan semampai berparas cantik ini beberapa kali sampai harus mengusap mata dengan ujung kerudung biru lautnya. Aku jadi khawatir, jangan-jangan, pas di jalan tadi, matanya kena serangga atau apalah begitu. Aku pernah mengalaminya, dan percayalah, itu perih sekali.
"Adek kena serangga ya? Matanya sampai merah, berair gitu, mau cuci muka dulu barangkali?"
Lah, kok, perempuan ini malah makin mengusap matanya, dan terus mengusap, karena air matanya tak bisa dibendung. Mengalir terus. Saat itu juga aku langsung tahu, sebenarnya perempuan ini bukan terkena serangga, tapi sungguh-sungguh menangis. Atau, jangan-jangan dia berhenti dan bertanya tentang kios untuk alasan saja, hanya karena ingin menumpahkan air matanya di sini, mungkin saking tak kuat menahan perasaan sedih sambil berkendara di jalan. Akan aneh, berkendara sambil menangis. Melihat situasi ini tentu saja aku jadi bingung harus bersikap bagaimana. Mau bertanya kok sungkan, tidak bertanya, kok, canggung. Alhasil aku diam, tapi canggung.
"Maafkan saya Mbak, saya nggak bisa tahan ini. Saya juga nggak tahu, malah nangis gini," katanya.
"Saya ngerti Dek. Kalau gitu biar saya tinggalkan adek sendiri dulu, biar lega," kataku mencoba mengerti dengan memberinya ruang.
"Jangan Mbak, saya memang sungguh-sungguh tertarik kios ini. Saya ini baru dicerai suami. Saya mau bangkit dan mulai hidup baru. Saya mau usaha kecilkecilan. Mudah-mudahan rezeki saya, bisa berjodoh dengan kios ini. Saya cuma masih merasa sedih saja, jadi maafkan, Mbak harus melihat saya menangis," urainya.
Sebenarnya aku masih merasa canggung menentukan sikap, aku tidak mengenal perempuan ini dan kaget juga ia bicara blak-blakkan tentang masalahnya, tetapi sebagai sesama perempuan, aku jatuh iba padanya. Ia melakukannya, pasti saking tidak kuat menanggung kesedihan. Ia benar-benar sedang sedih, tapi harus segera menata hidup dan move on. Aku bisa merasakan bagaimana beratnya membangun puing-puing yang hancur dari awal.
"Saya akan senang kalau bisa jadi jembatan rezeki Adek. Biar saya ambil minum untukmu, sambil Adek melihat-lihat."
"Terimakasih Mbak, saya memang haus," sahutnya berusaha tersenyum, tapi malah kelihatan tersipu malu.
Aku masuk kedalam membuatkan secangkir teh hangat, juga membawa beberapa persediaan camilan. Perempuan itu kelihatan senang aku bawakan teh hangat, dan tampak lebih tenang setelah minum beberapa sesap. Kemudian kami mengobrol seputar kios, juga melakukan tawar menawar harga. Kelihatan sekali perempuan ini sungguh-sungguh tertarik, karena kami tak terlalu alot bernegosiasi. Lagi pula dia seperti bukan tipe perempuan yang ngotot. Perangainya terlihat lembut dan anggun. Bodoh sekali laki-laki yang menyia-nyiakannya. bisikku dalam hati.
"Mah, kunci mobil ditaruh di mana, sih, tadi abis pakai, kan?" Terdengar suamiku berseru dari luar.
Aku merogoh saku pakaian, "Iya, Pah sama aku."
Terdengar suara langkah khasnya menuju ke mari. Langkah dengan suara sandal yang diseret.
Menyebalkan, tetapi jutaan protesku sia-sia, ia tak bisa mengubah kebiasaannya itu. Suamiku malah balik protes dengan mengatakan, protesku salah tempat dan waktu, seharusnya aku protes ketika ia masih kecil. Mana bisa mengubah kebiasaan yang berurat-akar sejak bocah. Aku malas berdebat, sebab ia pasti akan menyerang balik; pada cara bicaraku yang terlalu cepat, atau ...
"Mana, Mah?" kata Suamiku, kepalanya menyembul dari balik tembok dinding rolling door.
Praaaangg!Tiba-tiba cangkir yang dipegang perempuan itu jatuh. Aku refleks melompat oleh pecahannya yang terlempar dekat ke kaki ku. Matanya yang sembab tampak tertegun. Eh bukan, lebih tepatnya terbelalak kaget menatap Suamiku. Kutengok Suamiku juga begitu. Dia pun sama kagetnya. Mulutnya separuh menganga. Mereka berdua seperti sedang melihat sosok hantu satu sama lain. Perlahan raut wajah suami ku berubah.
***