"Alex!"Brillian melempar punggungnya ke kursi. Satu tangannya memijat pelipis. Dia meringis. Memikirkan pembatalan kerjasama dengan perusahaan yang kemarin menjalankan meeting dengannya, Brillian seperti terkena serangan jantung.
Dia mendesis tidak mendapati sekretarisnya. Brillian melihat ke arah pintu yang masih tertutup. Mendesah kasar, sudah tidak bisa mengontrol amarahnya. Cowok dengan kemeja putih dan berjas hitam itu kembali berteriak, "Alex!"
Hingga beberapa detik kemudian pintu terbuka kasar. Aleesha terengah-engah, segera berjalan mendekat pada sang bos. Ia mendorong kacamatanya yang nyaris melorot. Meluruskan pandangan, menelan saliva gugup ketika mendapat sorot tajam cowok di depannya. Bahu Aleesha langsung menegang.
"Di mana telinga kamu? Apa saya harus teriak-teriak kayak orang gila kalau mau manggil kamu?" Brillian menyemburkan omelan. Aleesha menipiskan bibir. Melirik telepon di sudut meja dan bel yang tersedia di sebelahnya.
"Tapi, kan, ada telepon, Pak. Ada bel juga." Aleesha menjawab pelan.
Brillian memalingkan muka, menonjolkan lidah di sebelah pipinya. Ia menggerakkan kursi memutar membelakangi Aleesha. "Suka-suka saya mau manggil kamu pake cara apa. Intinya kamu harus hadir tepat waktu. Paham?"
Aleesha mencebik dalam hati. Masih ada nada sinis dan tidak tahu diri dalam kalimat sang bos. Aleesha harus banyak-banyak bersabar. Mengalah. "Maaf, Pak. Saya pergi ke toilet sebentar tadi."
"Apa itu urusan saya?" Brillian sedikit menoleh, mendelik kesal. Aleesha makin dibuat bungkam. Ingin protes tapi itu malah akan membahayakan posisinya. "Sekarang kamu pesankan saya makan siang."
"Menunya apa, Pak?"
"Kamu gak tahu makanan kesukaan saya?" Brillian memutar kursi hingga kembali menghadap Aleesha. Ia menyedekapkan kedua tangan di depan dada.
Aleesha menggeleng. Dalam hati menjerit, Gue bukan emak lo, astaga!
"Kamu–"
Perkataan Brillian terpotong oleh dering ponselnya. Cowok itu merogoh benda pipih itu dari dalam saku. Melihat sang penelepon sejenak sebelum akhirnya menggeser tombol hijau dan menempelkan ponselnya ke telinga. Aleesha menghela lega diam-diam.
"Hm. Ada apa?"
"Tamu Anda sudah datang, Pak. Pak Evan sedang menunggu di ruang rapat." Suara seorang perempuan. Brillian agak menjauhkan ponsel dari telinga. Ia menekan pangkal hidungnya lama. Matanya terpejam. Seketika kepalanya agak berdenyut.
"Hm. Saya ke sana." Brillian mengakhiri panggilan. Dia meluruskan pandangan ke depan, memberi sorot tajam pada Aleesha. "Kenapa kamu gak ngingetin jadwal saya siang ini?"
"Saya udah ngingetin Bapak setengah jam yang lalu, Pak." Aleesha protes.
"Harusnya kamu ngingetin saya lagi."
Aleesha tidak membantah. Ia cuma memerosotkan bahu dan mengembuskan karbon dioksida panjang. Lelah berdebat. Brillian tidak mau begitu saja disalahkan. Cowok menyebalkan ini, kenapa Aleesha harus menghadapinya setiap hari? Kalau bukan karena Keandra, sang kakak, Aleesha benar-benar tidak sudi menjadi sekretaris dari bos arogan ini.
"Ngapain kamu nurunin bahu kayak gitu?" tanya Brillian, terdengar tidak suka. Aleesha buru-buru menggeleng-gelengkan kepala.
"Enggak, Pak. Gak apa-apa."
Brillian tidak mengindahkannya lagi. Ia berdiri, melengos pergi lebih dulu meninggalkan Aleesha. Aleesha berbalik 180 derajat. Meremat kedua tangan di udara seolah itu adalah muka Brillian
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)
RomansaAleesha Wijaya rela menyamar sebagai laki-laki dan menjadi sekretaris Brillian Langitra, CEO perusahaan saingan sang kakak, Keandra, untuk mengulik informasi dan menjatuhkan perusahaannya. Demi sang kakak yang selama ini membencinya, Aleesha bahkan...