Bagian - 5

976 132 11
                                    

Hari ini Melinda akan mengunjungi kantor tempat mantan suaminya bekerja. Setelah beberapa hari ia hanya bisa menangis dan menerima nasib panggilan teleponnya yang selalu diabaikan oleh lelaki itu. Baiklah, Melinda memang salah karena tidak bisa mengendalikan emosi. Kiara masih anak-anak, dan betapa menyedihkan memiliki seorang ibu yang tega menuntut bocah itu untuk mengerti. Meski tidak secara langsung disampaikan, namun sikap kasar Melinda jelas menunjukkan protes.

"Aku ikut ya, Mbak? Nanti aku bisa nunggu di mobil. Aku janji nggak akan bikin ulah. Please, izinin aku ikut, Bos."

Sudah tidak diragukan lagi kesetiaan Esti padanya, untuk itu Melinda sangat bersyukur memiliki asisten sekaligus bisa dijadikan teman hidup. Tapi penyakit was-was dan berlebihan yang merongrong di diri perempuan ini benar-benar mengganggunya.

"Aku takut Mbak Mel dikasarin."

"Heh, sembarangan! Yang lagi kamu omongin itu lelaki baik-baik. Nggak mungkin dia berbuat kasar. Semua ini salahku, Es. Memang sudah seharusnya aku yang nyamperin dia buat minta maaf. Biar diizinin ketemu lagi sama Kiara."

"Tapi kemarin buktinya orangnya bisa marah juga sama Mbak. Bisa neriakin Mbak Mel."

"Aku sudah bikin anaknya nangis. Semua bapak pasti juga akan marah saat anaknya dibikin nangis sama orang."

"Apa nggak mending nunggu aja, Mbak. Dengan orangnya nggak mau angkat telepon itu aja sudah kelihatan nggak pengin berurusan lagi sama Mbak kan?"

Melinda memutar tubuhnya untuk menghadap perempuan yang berdiri di belakangnya, sedari tadi sengaja menungguinya selesai make up. Dibuang napas pelan sebelum berujar, "Aku nggak bisa nunggu lagi, Es. Aku nggak mau kehilangan Kiara untuk selamanya. Cuma Kiara satu-satunya harapanku. Selain itu aku nggak punya alasan hidup di bumi. Aku capek banget, Es."

"Mbak ...."

Melinda mengembalikan posisinya menghadap cermin untuk menyelesaikan tahap riasan yang terakhir yaitu mengenakan lipstik.

"Boleh ya, Mbak? Aku mau ikut kemanapun perginya Bos aing. Please ...."

"Kamu itu memang bandel. Yaudah buruan ganti baju kalau mau ikut." Melinda melangkah menuju rak aksesoris. Dua buah Love Bracelet Cartier menjadi pilihannya, dipadukan dengan cincin berlian solitaire.

"Look! Bos aing ini cantiknya kebangetan, belum pernah nemu gue cewek secantik dan seseksi bos aing. Tapi kenapa kisah cintanya selalu tragis banget sih, Bos?"

"Es, bisa diem nggak? Kebiasaan banget monolog hiperbola gitu!" Melinda sudah berada di balik kemudi, siap untuk melajukan kendaraan keluar basemen usai memasang sabuk pengaman.

"Kamu cukup jadi asisten yang ngintil di pantatku, nggak usah ikut campur. Terus, kita sekarang tinggal di Malang, nggak usah pakai lo gue." Lanjut Melinda.

"Mbak Mel itu kaya. Banget. Kerjaan bagus. Kenapa nggak menetap aja sih di Jakarta? Nanti kalau Kiara sudah besar juga pasti nyariin Mamanya."

"Itu teori kamu yang belum pernah jadi Ibu. Kiara nggak bakalan nyari aku kalau aku nggak pernah nongol sama sekali. Terlebih sekarang dia sudah punya Mama baru, yang bikin dia nyaman. Dia punya Papa yang sayang banget sama dia. Kiara sama sekali nggak kekurangan kasih sayang meskipun nggak diurus ibu kandungnya. Posisi aku semakin jauh dan dilupakan di memori anak itu. No, Es! Aku mending mati saja kalau itu terjadi."

"Kalau Bos aing mati, aku juga bakalan ikut. Dunia ini terlalu keras buatku tanpa Mbak Mel."

"Goblok! Masih bocah. Nggak pernah punya masalah. Frustasimu kebangetan banget, Es!"

"Tadinya aku berpikir Mbak Mel akan rujuk sama Papanya Kiara. Nggak kebayang loh kalau ternyata Papanya Kiara sudah punya tunangan. Mana bentukannya macam ustazah gitu, pakai kerudung."

Melinda memilih diam. Terakhir mengingat perempuan itu yang menggendong Kiara seolah pernah mengandung dan melahirkan anaknya membuat dada Melinda langsung panas.

"Jauh banget kalau dibandingin sama Bos Aing. Kok jadi downgrade gitu Papanya Kiara!"

"Sembarangan ngomong! Calonnya itu dokter gigi tahu!" Mohon maaf saja, Melinda tidak bisa menyembunyikan nada sinisnya.

"Terus? Aturan perawan kayak dia nyari suami yang masih bujang emang sesusah itu sampai harus frustasi nerima duda? Punya anak pula! Pakai jilbab kok ganjen."

"Es, sudah. Nggak ada habisnya ya kamu ngatain orang. Suka kebangetan pula. Yang dipilih Papanya Kiara jelas perempuan baik-baik. Dia sudah punya pengalaman sama perempuan nggak bener sebelumnya."

"Mbak Mel punya alasan ngelakuin itu. Kalau aku di posisi Mbak pasti juga berontak. Yang Mbak Mel lakukan dulu nggak salah, semua akumulasi dari kekeliruan orang tua yang nggak ngerestui Mbak Mel sama Mas Mehdi."

"Tapi andai aku bisa menahan diri dan nggak kemana-mana, Kiara masih akan menganggapku Ibunya, Es. Itu penyesalan yang paling nggak bisa aku terima sampai detik ini."

"Mbak Melinda minggat dari rumah dan memilih pergi sama Mas Mehdi karena orang yang nikahi Mbak Mel nggak cukup secara finansial. Sementara sebelumnya Mbak Mel hidup dengan bergelimang harta. Nggak mudah, Mbak, straggle dari yang awalnya serba ada dan harus irit. Terlebih, perasaan Mbak Mel masih sepenuhnya ke masa lalu, yaitu Mas Mehdi. Meskipun waktu itu Mbak Mel sudah punya Kiara. Meskipun hidup sama lelaki baik seperti Papanya Kiara challenging banget. Tapi kalau saat itu nggak ada cinta di dalamnya, gimana dong?"

Perkataan Esti melempar ingatan Melinda pada malam pengantin tujuh tahun yang lalu. Melinda tidak memilih perasaan canggung. Hatinya sudah mati rasa saat kedua orang tuanya memutuskan untuk menjodohkan dirinya dengan lelaki yang tidak diingini. Namun itu tidak berlaku untuk Mangku, berulangkali mantan suaminya itu mengungkapkan perasaan hatinya di beberapa kesempatan. Seperti misalnya saat Melinda tengah memasak di dapur, saat mereka selesai berhubungan intim, atau saat Melinda sedang marah-marah tak jelas. Stok kesabaran yang akhirnya habis digerus oleh sikap Melinda yang tidak pernah luluh.

"Harusnya aku cukup mempertimbangkan cinta dia ke aku, Es. Toh, laki-laki yang aku pengin bisanya malah nyakitin doang. Kan mending dicintai daripada mencintai."

"Ya nggak bisa gitu, Mbak. Gimana kita bisa ngerasain seneng kalau hidup sama laki-laki yang nggak kita cintai? Hambar yang ada!"

"Buktinya sekarang aku yang nyesel. Setelah berpikir panjang, Papanya Kiara itu juga bukan orang yang susah disukai kok. Dia ganteng. Kalem. Ngemong banget. Dulu kalau suasana hatiku lagi baik, aku ngerasa nyaman juga berdekatan sama dia."

"Memang laki-laki sama saja! Semudah itu move on!"

"Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, Esmiralda! Mending diem deh. Sudah mau nyampe ini. Duh, kok deg-degan gini ya?!" Sedan hitam metalik itu berhenti di tempat parkir khusus roda empat gedung Kantor Pertanahan.

"Oke, mari kita hadapi bapak-bapak PNS berseragam." Ujar Esti yang mendapat lirikan tajam dari sang bos.

Di Karyakarsa sampai bab 8 🥰

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang