Gelagat Suamiku makin lama makin aneh. Entah kebetulan atau tidak, aku sering menangkap hal ganjil, terutama sikapnya terhadap Dek Aya. Suamiku sepertinya kurang suka Dek Aya. Beberapa kali Suamiku sering terpergok menghindar jika berpapasan dengan Dek Aya.
Pernah suatu waktu, di hari Minggu pagi, ketika dia sedang asyik di halaman dengan hobi berkebunnya. Seperti biasa, Suamiku selalu ceria merawat tanaman-tanaman kami. Kadang sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Suaranya memang fals, tapi aku selalu suka caranya menikmati akhir minggu. Dia terlihat lebih santai dan semeleh kata orang Jawa, dibanding hari-hari lainnya.
Namun, semua itu mendadak lenyap ketika Dek Aya datang membawa sapu. Karena Kiosnya terletak di tengah, jadi dia lah yang sering membersihkan daun-daun kersen kering yang sering mengotori teras sampingnya. Terasnya itu sejajar dengan halaman kami, dimana tanaman-tanaman tumbuh dengan subur.
Bayangkan, padahal Suamiku sedang menyirami tanaman-tanaman itu, bisa-bisanya dia langsung melepas selang air begitu saja yang sedang menyala. Lantas wajahnya sengaja dipalingkan dengan gerakan kasar dari pandangan mata Dek Aya — yang pasti juga tak sengaja menatap Suamiku. Suamiku langsung ngacir, tanpa sempat mematikan kran air, masuk ke dalam rumah dan tak keluar lagi sampai sore. Sekali.
Yang kedua saat mereka mau tak mau berpapasan lagi, pas Suamiku mau menyeberang beli sesuatu ke toko kelontong depan, dan Dek Aya juga pas mau ke belakang kios untuk mengambil peti kemas berisi bahan untuk keperluan sotonya. Suamiku tak bisa menghindar sama sekali. Waktu itu secara reflek dan hampir bersamaan, mereka saling membuang muka. Tingkah mereka benar-benar seperti anak kecil yang sedang bermusuhan.
Nah, yang ketiga, justru terjadi padaku. Waktu itu aku mau mengangkut sampah rumah, ke depan, ke tempat tong penampungan sampah. Di pinggiran tong sampah itu lah, tanpa sengaja aku temukan sobekan foto hitam putih, tapi tidak lengkap. Beberapa potongannya sudah hilang. Tahunya bahwa foto itu tak lengkap, ya, pas aku iseng menyusun kembali sobekannya itu. Kupandang berlama-lama sambil menyusun sobekan-sobekan itu. Bagian mata hanya seperempat, hidung setengah, hanya bagian bibir, pipi dan kening saja yang utuh. Semakin lama menatap foto itu, aku makin terpengaruh ucapan Dek Aya kalau foto yang disobek-sobek itu adalah foto mantannya yang mirip Suamiku. Memang mirip juga sih kalau diperhatikan. Terutama lekukan bibir, pipi dan keningnya.
"Lagi apa Mbak, kok jongkok di tempat sampah?" Suara Dek Aya langsung membangunkan aku dari aksi pengamatan ini.
"Eh ini Dek nggak sengaja lihat sobekan foto, kayaknya punya Dek Aya, deh, jadi iseng nyusun lagi gambarnya, habis penasaran," jawabku tersipu karena malu kepergok.
"Ya ampun Mbak, saya waktu itu memang sedang kacau. Jangankan suami Mbak, monyet sekalipun kalau malam itu ada, pasti saya anggap mirip mantan Suami saya," kata Dek Aya, lalu tergopoh memunguti sobekan foto itu, lalu disobeknya lagi jadi potongan kecil, kemudian semakin kecil lagi.
"Habis penasaran, Dek," kata ku masih merasa malu.
Sepeninggal Dek Aya yang kembali ke kios — ada sepasang anak muda datang, tiba-tiba rasa cemas mulai menyergapku pelan-pelan. Bagaimana kalau benar mirip? Atau, Ah, jangan-jangan Suamiku ... Dadaku langsung berdebar, apa iya? Masak sih? Bagaimana bisa? Pikiranku mendadak gaduh sendiri. Maklum, kalian tahu lah dinamika orang berumah tangga itu, meleng sedikit saja, apapun bisa terjadi. Ish, amit-amit! Astagfirullah ...
Begitu semrawutnya suasana hati, aku memutuskan menanyakan langsung pada Suamiku saat itu juga. Tidak langsung mengumbar kecurigaanku, tapi nyerempet-nyerempet dulu lah.
"Pah, kenapa sih kayak kelihatan nggak suka sama Dek Aya?"
Suamiku diam saja, matanya sedikitpun tidak beranjak dari tumpukan faktur."Pah!"
Suamiku menoleh, "Perasaan biasa aja deh, Mah, Papah cuma malas terlalu dekat sama yang sewa kios, jaga jarak aja. Nggak cuma sama dia, yang lain juga, biar saling sungkan satu sama lain," jawabnya santai, masih tanpa menoleh.
"Tapi Mamah nggak sengaja melihat potongan foto bekas mantannya Dek Aya yang disobek-sobek, dan mirip sekali wajah Papah," kataku.
Suamiku tertegun. Tangannya berhenti menekan-nekan kalkulator. Kemudian bengong, dan menatap kosong. Ekspresinya tidak bisa ku pahami.
"Pah!" panggilku.
"Iya, foto apa sih, nggak usah aneh-aneh deh," kata Suamiku. Kali ini matanya mengarah padaku. Sekilas aku melihat kertas yang dipegangnya bergetar."Ih, tuh Papah gemetar lagi, sudah berhenti, jangan ngurusin kerjaan terus, sih. Stres nanti. Sudah sini istirahat nonton tv," kataku.
Suamiku tidak membantah. Dia kemudian membereskan segala macam faktur dan mendekat ke sofa, dan duduk di sampingku.
"Mbak, assalamualaikum, di dalam nggak?" seru sebuah suara dari arah pintu dapur. Suara yang kukenali sebagai suara Dek Aya. Aku pun beranjak kesana.
"Iya, ada apa, Dek?"
"Maaf lho Mbak mengganggu, bisa pinjam sendok garpunya dua pasang saja. Saya cari bungkusan karton sendok yang baru saya beli, kok ya, nggak ketemu, pas ramai lagi," katanya dengan wajah rikuh.
"Nggak papa, pakai saja sementara punya saya, sampai punya Dek Aya ketemu."
Aku pun cepat-cepat mengambil sendok di laci, takut pelanggannya menunggu terlalu lama."Kamu tuh, ya, jangan coba-coba ganggu pabrik saya, kita sudah tak ada kerjasama lagi, urus saja urusan masing-masing!"
Suara Suamiku tiba-tiba menggelegar dari arah ruang tengah. Aku dan Dek Aya reflek menengok ke ruang tengah sampai leher kami menjulur bersamaan di balik partisi pemisah ruangan tengah dengan area dapur. Ternyata Suamiku sedang menelepon seseorang. Wajahnya kelihatan marah sekali. Itu pasti urusan genting, begitu pikirku.
"Saya pamit dulu Mbak, nggak enak sudah di tunggu yang mau makan," ujar Dek Aya terburu-buru. Aku mengangguk.
Aku masuk kembali ke ruang tengah setelah menutup pintu dapur. Suara Dek Aya yang bersanandung masih bisa kudengar jelas.
Yowis ben nanana sing galak ( biarin deh nanana tuh galak)
Yowis ben sing omongane sengak ( biarin deh omongannya sengak)
Sering nggawe aku susah (sering bikin aku susah)
Tapi aku wegah pisah ( tapi aku nggak mau pisah)Aku mengulum senyum mendengar nyanyiannya. Di sisi lain, juga merasa senang dia sudah kelihatan tegar. Hampir tak pernah ku lihat matanya berkaca-kaca lagi. Sementara itu, suamiku baru saja selesai melakukan pembicaraan lewat teleponnya. Tapi di wajahnya masih menyisakan marah. Aku jadi tak enak hati memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar foto itu.
Setelah aku pikir-pikir lagi, ngapain juga aku ngurusin sobekan wajah yang jelas-jelas tak lengkap. Hanya menduga-duga, yang aku sendiri bahkan meragukan kebenarannya. Tapi perempuan memang begitu, kadang terlalu sensitif dengan dugaan negatif. Mudah tersugesti omongan yang belum tentu kebenarannya, hanya karena kebetulan ini lah, kebetulan itu lah, iya kan? Jadi aku membiarkan saja waktu Suamiku memutuskan masuk kamar dan tak jadi menonton televisi bersama. Biar lah, dia menenangkan hatinya sendiri, setelah tadi marah-marah entah kepada siapa. Toh, sedetik kemudian aku sudah terpaku pada trailer seri terbaru di netflik Wu Assassins.
***
Ada orang gak sih, halooo, halooo...