Haloo! Udah mau Senin lagi, ya? Weekendnya udah mau habis. Berasa gak istirahatnya? Semoga cukup, ya.
Di sini, seperti sebelum-sebelumnya, Kinan dan Pak Bara bonding. Entah kenapa, ku sangat suka sama pasangan yang casually ngobrol berdua, bahas apapun dari yang penting sampai receh. Jadi, ku menambahkan itu di cerita ini—sangat banyak.
Oke. itu aja. Semoga suka dan selamat membaca!
🐨🐨🐨
Tebakan gua sama sekali gak meleset. Pak Bara bawa gua ke rumah dia—rumah yang katanya buat kita. Gua gak ngerti teknisnya gimana tapi itu yang dia bilang.
Di perjalanan ke sini tadi, kita sempet berhenti di supermarket untuk beli makanan dan beberapa bahan masakan. Ah gua udah ganti baju tentunya. Pake pakaian lebih nyaman.
Rumah ini masih sama kaya terakhir kali gua ke sini. Sama sekali gak ada yang berubah dan masih tetep bersih walaupun keliatannya gak ada yang tinggal di sini.
“Saya mau ajak kamu keliling rumah ini dan tunjukin proposal awal peruntukan ruangan.” Kata Pak Bara tepat saat kita masuk. “Mau makan dulu atau keliling dulu?”
“Makan dulu, boleh?” tanya gua.
“Pilihan yang tepat.” Jawabnya dengan anggukkan. Pak Bara bawa gua ke dapurnya dan suruh gua duduk di salah satu kursi. “Saya belum makan apapun hari ini,” sambungnya. Dia simpan beberapa bawaan hasil belanja tadi.
Gua lirik jam di tangan gua. Hampir setengah dua siang, kita bahkan udah shalat dzuhur di rumah gua. “Sama sekali?” tanya gua gak percaya.
Pak Bara ngangguk. Dia keluarin beberapa item dan simpan di kulkas. “Gak kepikiran sarapan. Saya terlalu gugup,” jawabnya. “Kayanya kamu juga,”
Gua geleng. “Saya makan. Sarapan nasi uduk bikinan kak Shanin.” Jawab gua. “Biar saya yang masak kali ini.” Gua berdiri dan mendekat ke pak Bara yang lagi pasang apronnya.
“Saya aja. Kamu tinggal duduk, temenin saya ngobrol,” cegahnya. Dia tunjuk kursi yang gua dudukin tadi. “Saya mau masakan pertama kamu setelah kita nikah, Kinan.” Katanya saat gua gak ikutin permintaannya.
Gua balik duduk di tempat semula. “Emang bapak yakin saya bisa masak?” tanya gua.
Pak Bara mulai dengan aksinya. Dari bahan yang kita beli tadi, menu yang akan dia bikin masakan rumahan. “Paling ngga kamu bisa masak mie.” Jawabnya. “Kamu pernah masak itu waktu kita di pantai,”
Gua ketawa kecil. Untuk masak, gua bakal bilang gua sanggup masak apapun. Iya, apapun. Asalkan ada resep yang valid lengkap sama cara membuatnya—di YouTube misalnya. Masalah gagal atau berhasil, enak atau ngga, itu bukan hal utama buat gua. Sejauh ini, masakan yang gua bikin hampir 90% enak. 10% lainnya emang agak mengecewakan tapi gak seburuk itu sampe gak bisa dimakan.
“Kinan, kamu maafin saya, kan?” tiba-tiba pak Bara nanyain ini. Dengan badan yang semula punggungin gua karena lagi siapin bahan masakan, dia balik badan dan hadap ke gua.
“Untuk?”
“Tadi.” Jawabnya. “Kalimat yang saya keluarin sama sekali gak manis dan romantis. Terkesan gak percaya diri kaya yang ayah kamu bilang dan sama sekali keliatan gak ada persiapan,”
“Bukan masalah.” Gua tarik senyum kecil. “Saya juga jawabnya sangat sangat gak baik,”
“Tapi itu tepat sasaran,” dia kembali balik badan. Gak sempurna punggungin gua, agak serong dan kalau noleh, tatapan kita langsung ketemu. “Kalau kamu bikin kalimat setelah iya, mungkin gak saya dengerin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus [END]
Teen Fiction"Kalo saya bilang, saya lamar kamu, kamu kaget ga?" Ya kaget lah anjir! batin Kinan. "Ngga, ga mungkin juga," Kinan menjawab. "Ada kemungkinan. Dan sekarang kejadiannya. Saya lamar kamu. Gimana? Jawaban kamu apa?"