7. Welcome To Paris!

6 2 1
                                    

Pesawat Air Nippon Airways yang membawa kami, mendarat mulus di bandara terbesar kedua di Eropa, Roissy Airport. Terlihat dari jendela pesawat ketika masih di atas, bandara yang nampak megah. Terdiri dari 3 terminal yang jaraknya tak kurang dari 1 km dari satu terminal ke terminal lain. Salah satu terminalnya di desain mirip gurita, dengan lorong-lorong kaca yang menghubungkan setiap titik. Rasanya aku sering melihatnya dalam film-film.

Hanya segitu pengetahuanku tentang bandara ini. Selebihnya, akan kusaksikan langsung beberapa saat lagi.

Kami mendarat di terminal 3 yang diperuntukkan sebagai tempat kedatangan dan keberangkatan para penumpang. Turun dari pesawat, aku dan Deva disambut oleh papan ucapan 'Bienvenue en France' atau 'Selamat datang di Prancis', yang terpajang pada dinding lorong-lorong panjang yang kami susuri. 

"Apa kita harus tetap berjalan?" tanyaku senang, ketika mendapati ternyata ada bantuan travelator yang berfungsi untuk mempercepat langkah. 

"Fungsi travelator ini untuk mempercepat. Kalau kamu hanya berdiri, itu sama saja dengan berjalan biasa. Unfaedah sekali jadinya," sahutnya serius.

"Aha, baik ... baik. Aku hanya bercanda. Aku tidak senorak itu, please." Aku memutar bola mata.

16 jam di pesawat bukan waktu yang sebentar. Sempat transit 1 jam di Doha, dan empat jam kemudian barulah tiba di Paris. Badan terasa pegal, meskipun Om Pras menghadiahi kami tiket premium class economy yang harga perorangnya setara satu buah mobil.

Setelah mengambil bagasi, aku dan Deva memutuskan naik menuju lantai 2, dimana terdapat beberapa resto maupun kafe. Dengan langkah limbung karena terlalu lama di udara, aku menyeret koper hitam besar berodaku. Di sebelahku, Deva melakukan hal yang sama. 

Kami memasuki sebuah kafe terkenal dan sering kudengar namanya, Brioche Dorée. Harum rotinya yang menguar membuatku semakin kelaparan.

Kami memilih duduk tepat di sebelah jendela. Bercakap-cakap sambil sesekali melempar pandang ke arah pesawat yang take off maupun landing. 

"Kamu sudah tertidur 15 jam penuh, Hani," Deva mengernyitkan keningnya melihatku menguap.

"Lumayan. Tapi nanti ketika sampai hotel, hal yang pertama akan kulakukan adalah tidur."

"Kalau cuma mau tidur tidak usah jauh-jauh ke Paris." Deva menggeleng-gelengkan kepala.

"Lalu kemana? Kasih tau aku, please," tanyaku dengan dagu bertumpu pada sebelah tangan.

Deva mendengus, "Panti jompo!"

Aku memasang wajah dongkol.

"Bagaimana mau menikmati perjalanan kalau dari awal sampai akhir kamu hanya tidur?" Ia bersidekap.

"Kamu tahu kan seharian kemarin aku sibuk menemani ibumu, menjemput Dara yang entah mengapa begitu repot mengenalkanku pada teman-teman sekolahnya. Aku sudah seperti artis saja."

Tatapannya menerawang, lalu tiba-tiba tersenyum. Mungkin membayangkan bagaimana perilaku adiknya itu.

"Belum lagi aku harus belanja bersama Miranda membeli perlengkapan, macam lingerie, baju musim dingin, syal, dan lain-lain. Aku biarkan ia yang memilih semuanya. Entah mengapa ia bahagia sekali.  

Kalau bukan ibumu yang menyuruhku, lebih baik aku nonton atau makan, daripada berkeliling 2 jam hanya untuk belanja barang-barang yang aku tak mengerti!"

"Lingerie?" Bola mata Deva tiba-tiba berbinar, senyum menggoda muncul di bibirnya. Kini sebelah tangannya menumpu dagu dan menatapku jahil. Wajah kami tepat berhadapan dalam jarak hanya sekitar 30 sentimeter.

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang